Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6  | Bag. 7 | Bag. 8 | Bag. 9 ]

	Characters: 18451
	Lines: 341
	Words: 2410
	Sentences: 313
	Paragraphs: 256
 
	                    PENGANTAR CETAKAN KEDUA            (8/9)

	CERITA-CERITA TIDAK MASUK AKAL DAN TIDAK ILMIAH
 
	Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang diceritakan oleh
	Ibn   'Asakir   dari   Abu   Sa'd   Isma'il   bin   Muthanna
	al-Astrabadhi.  Tatkala  ia  sedang  berkhutbah  di Damsyik,
	salah seorang yang hadir bertanya tentang  hadis  Nabi  yang
	berbunyi: "Saya gudang ilmu dan Ali pintunya" Ismail menekur
	sebentar, lalu diangkatnya kepalanya  seraya  katanya:  "Ya,
	tak  ada  yang  mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang
	hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi  Nabi  berkata:
	"Saya  gudang  ilmu,  Abu  Bakr fondasinya, Umar dindingnya,
	Usman  atapnya  dan  Ali  pintunya."  Dengan  demikian  para
	hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya
	menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali  karena  memang
	tidak mampu.
 
	Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada
	maksud  politik  atau  kemauan-kemauan  insidentil  lainnya.
	Demikian  banyaknya  hadis-hadis  palsu  itu  sehingga  kaum
	Muslimin kemudian terkejut sekali,  karena  ternyata  banyak
	pula  yang  tidak  cocok  dengan  yang ada dalam Kitabullah.
	Usaha hendak menghentikannyapun sudah banyak pula dikerahkan
	pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.
 
	Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia, dan Ma'mun yang
	berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan  atau
	ratusan ribu hadis-hadis maudzu' (buatan) itu sudah tersebar
	- diantaranya terdapat banyak  yang  lemah  dan  kontradiksi
	sekali,  yang  tidak  diduga  semula. Pada waktu itulah para
	penghimpun hadis  dan  penulis-penulis  biografi  Nabi  juga
	menuliskan   biografinya.   Al-Waqidi,   'Ibn   Hisyam   dan
	Al-Mada'ini hidup dan menuliskan  buku-buku  itu  pada  masa
	Ma'mun.  Baik  mereka  ini  atau  yang  lain pada waktu itu,
	karena takut akibatnya,  tidak  ada  yang  berani  menentang
	pendapat  Khalifah.  Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang
	harus mendapat penelitian mana kriterium yang menurut  suatu
	sumber  berasal  dari Nabi a.s., yakni dengan mencocokkannya
	kepada Qur'an sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi,
	yaitu: mana-mana yang cocok dengan Qur'an, adalah dari Rasul
	dan yang tidak, bukan dari Rasul.
 
	Sekiranya   kriterium   itu   dipakai   dengan    penelitian
	sebagaimana   mestinya,   segala  yang  sudah  ditulis  oleh
	tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah  menurut
	metoda  modern sama sekali tidak berbeda dari kriterium ini.
	Akan  tetapi  situasi  masa  itu  mengharuskan   tokoh-tokoh
	tersebut  menyesuaikan  kriterium  mereka  itu untuk sesuatu
	golongan, sedang untuk golongan lain  tidak  pula  demikian.
	Cara-cara  ini  dalam  penulisan  sejarah  hidup  Nabi  oleh
	penulis-penulis   kemudian   telah   diwarisi   juga    dari
	orang-orang  dahulu,  dengan  pertimbangan-pertimbangan yang
	lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang  mau  berlaku
	jujur  terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu
	dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam  garis  besar,  maupun
	dalam  perinciannya,  tanpa  mengecualikan sumber lain, yang
	tidak cocok dengan yang ada dalam Qur'an.  Mana  yang  tidak
	sejalan  dengan  hukum  alam  dan  tidak tersebut pula dalam
	Kitabullah tidak perlu  mereka  catat.  Yang  tidak  sejalan
	dengan  hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah
	itu baru diperkuat dengan yang  ada  pada  mereka,  disertai
	pembuktian  yang  positif,  dan  mana-mana  yang  tak  dapat
	dibuktikan seharusnya ditinggalkan.
 
	Pendapat cara ini telah dijadikan  pegangan  oleh  imam-imam
	terkemuka  dari  kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam
	lainpun mengikuti mereka sampai  sekarang.  Syaikh  Muhammad
	Mustafa   al-Maraghi   dalam   kata   perkenalan   buku  ini
	menyebutkan:  "Kekuatan  mujizat  Muhammad  s.a.w.  hanyalah
	dalam Qur'an, dan mujizat ini sungguh rasional adanya. Sajak
	Bushiri berikut ini memang indah sekali:
 
	"Tidak juga sampai kita dicoba  Yang  akan  meletihkan  akal
	karenanya  Karena  sayangnya  kepada  kita Kitapun tak ragu,
	kitapun tak sangsi."
 
	Almarhum  Sayid  Muhammad  Rasyid  Ridza,  Redaktur  majalah
	Al-Manar  dalam  menjawab  kritik  orang yang menentang buku
	kita ini, menulis: "Kalangan Al-Azhar dan  pengikut-pengikut
	tarekat yang paling keberatan terhadap Haekal sebagian besar
	mengenai mujizat-mujizat dan  hal-hal  yang  ajaib-ajaib  di
	luar  kebiasaan.  Pada pasal dua bahagian dua dan pasal lima
	dalam  buku  Al-Wahy'l-Muhammadi,  dari  segala   segi   dan
	persoalannya  mengenai  hal ini, ada saya tulis, bahwa hanya
	Qur'anlah satu-satunya pembuktian Tuhan yang positif  khusus
	tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para nabi yang
	lain. Ciri-ciri mereka zaman kita  sekarang  ini  tak  dapat
	dibuktikan tanpa kenyataan tersebut.
 
	"Masalah-masalah    alam    gaib    (supernatural)    adalah
	masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian  yang
	meyakinkan  menurut  para  ahli.  Hal tersebut terdapat juga
	pada zaman kita ini, dan terdapat juga  pada  setiap  zaman.
	Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah
	orang-orang yang suka pada  takhayul  yang  memang  terdapat
	pada  setiap  aliran  kepercayaan. Saya terangkan juga sebab
	timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang
	umumnya  termasuk  hukum  alam, hukum rohani dan lain-lain."
	[Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935].
 
	Syaikh Muhammad Abduh pada bahagian  pertama  buku  Al-Islam
	wan-Nashrania  ("Islam  dan  Kristen")  menyebutkan: "Dengan
	adanya ajaran dan tuntutan terhadap  keimanan  kepada  Allah
	dan  keesaanNya,  Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain
	pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan
	ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal
	yang   gaib,   tidak    perlu    menutup    mata    terhadap
	kejadian-kejadian  yang  tidak  biasa,  tidak  perlu membisu
	karena ada ledakan dari langit; dan pikiran  kitapun  jangan
	terputus  karena  pekikan  yang  membawa  suara  suci.  Kaum
	Muslimin sudah  sepakat  -  kecuali  sejumlah  kecil  dengan
	pendapat yang tidak berarti - bahwa kepercayaan kepada Allah
	adalah  mendahului  kepercayaan  kepada   nabi-nabi.   Tidak
	mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman
	kepada Allah; sedang beriman  kepada  Allah  melalui  ucapan
	para  rasul atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan.
	Sungguh tidak masuk akal orang akan  percaya  kepada  adanya
	kitab  yang  diturunkan  Allah,  jika sebelum itu kita tidak
	percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan
	kitab dan mengutus rasul."
 
	Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan
	lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak karena
	situasi  pada  masa  mereka  dahulu  dan  kalau tidak karena
	dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan  menyebutkan
	peristiwa-peristiwa  gaib  dan  mujizat-mujizat  yang  tidak
	terdapat dalam Qur'an  itu  akan  menanamkan  rasa  keimanan
	dalam  hati  orang  lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka
	menduga pula, bahwa dengan menyebutkan  mujizat-mujizat  itu
	akan  berguna  sekali,  dan  tidak akan merugikan. Sekiranya
	mereka hidup pada masa kita  sekarang  ini  dan  menyaksikan
	betapa  musuh-musuh  Islam itu mempergunakan apa yang mereka
	sebutkan itu sebagai argumen  mereka  menghantam  Islam  dan
	umat  Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada
	dalam Qur'an, mereka  akan  berkata  seperti  Imam  Ghazali,
	Muhammad  'Abduh,  Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup
	teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang  ini,
	dan    menyaksikan   betapa   cerita-cerita   demikian   itu
	menyesatkan hati dan kepercayaan orang -  bukan  sebaliknya,
	menanamkan  dan  menguatkan  iman  - niscaya cukuplah mereka
	menyebutkan saja ayat-ayat Qur'an yang begitu  jelas  dengan
	dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.
 
	Adapun  dari  segi  yang  merugikan cerita-cerita yang tidak
	diterima oleh akal dan tidak  pula  ilmiah  itu  sudah  jadi
	jelas   sekali:   bagi   setiap  orang  yang  mau  menggarap
	masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu  berpegang  pada
	segi  ketelitian  ilmiah  dalam  mengadakan  pengujian, demi
	pengabdiannya kepada  kebenaran,  kepada  Islam  dan  kepada
	sejarah  Nabi.  Kebenaran-kebenaran  yang  diungkapkan  oleh
	hasil penyelidikan dalam  sejarah  yang  besar  ini,  adalah
	sebagai  penyuluh  yang  akan  membawa  umat  manusia kepada
	peradaban yang sebenarnya.

	QUR'AN DAN MUJIZAT
 
	Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam buku-buku sejarah
	hidup  Nabi  dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan
	apa yang terdapat dalam Qur'an, tentu  tak  bisa  lain  kita
	akan menerima pendapat-pendapat para imam yang sangat teliti
	itu.  Pada  waktu  itu  penduduk  Mekah  minta  kepada  Nabi
	berbangsa  Arab  itu supaya Tuhan menurunkan mujizat-mujizat
	kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka
	Qur'an  datang  menyebutkan  apa  yang  mereka minta itu dan
	menolaknya dengan beberapa argumen: "Dan kata mereka:  'Kami
	takkan percaya kepadamu, sebelum kaupancarkan mata air untuk
	kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma
	dan  anggur,  dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai
	yang deras mengalir. Atau seperti kauterangkan  kepada  kami
	kaujatuhkan langit berkeping-keping. Atau kaudatangkan Tuhan
	dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan dengan kami. Atau
	engkau  mempunyai  sebuah  mahligai  berhiaskan  emas.  Atau
	engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu  tidak  akan  kami
	percayai,  sebelum  kaubawakan sebuah kitab kepada kami yang
	akan kami baca' Ya, katakan: Maha suci Tuhanku. Bukankah aku
	hanya seorang manusia yang diutus?" (Qur'an 17:90-93)
 
	"Mereka  bersumpah  sungguh-sungguh  demi  Allah, bahwa jika
	sebuah tanda (mujizat)  dibuktikan  kepada  mereka,  niscaya
	mereka  akan  mempercayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya
	ada pada Allah. Tapi,  sadarkah  kamu,  bahwa  kalaupun  itu
	dibuktikan,  mereka  tidak juga akan percaya? Juga akan Kami
	balikkan jantung dan pandangan  mata  mereka;  karena  tidak
	mempercayainya  pada  pertama  kali.  Dan  akan kami biarkan
	mereka mengembara membawa durhaka.  Kalaupun  Kami  kirimkan
	malaikat-malaikat  kepada mereka dan mayat-mayatpun mengajak
	mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan hidung
	mereka,  tidak  juga  mereka  akan mau beriman; kecuali bila
	Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti."
	(Qur'an 6:109-111)
 
	Di  dalam  Qur'an  tidak ada disebutkan sesuatu mujizat yang
	oleh Allah dimaksudkan  supaya  segenap  manusia  -  menurut
	zamannya  masing-masing  -  mempercayai  kerasulan Muhammad,
	selain daripada Qur'an. Padahal, beberapa mujizat disebutkan
	dengan  ijin  Allah  terhadap para rasul yang datang sebelum
	Muhammad sama halnya seperti apa  yang  telah  dianugerahkan
	Tuhan  kepada  Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan
	kepadanya. Apa yang tersebut dalam Qur'an tentang  Muhammad,
	samasekali tidak bertentangan dengan hukum alam.
 
	Kalau  memang  sudah  itu  yang  digariskan  oleh Qur'an dan
	begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa  lagi
	yang  mendorong  setengah  kaum  Muslimin  -  baik pada masa
	dahulu ataupun sekarang - menerapkan mujizat-mujizat  kepada
	Nabi? Mereka terdorong demikian, karena mereka membaca dalam
	Qur'an  adanya  mujizat-mujizat  pada  para  rasul   sebelum
	Muhammad.      Lalu      mereka      berkeyakinan,     bahwa
	keajaiban-keajaiban  materi  (mujizat-mujizat)  semacam  itu
	perlu   juga  melengkapi  kerasulan  Muhammad.  Mereka  lalu
	percaya tentang itu sekalipun dalam Qur'an tidak disebutkan.
	Merekapun menduga, bahwa makin banyak jumlah mujizat-mujizat
	itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan Nabi, akan  makin
	besar  pula  merangsang  orang beriman kepada kerasulan itu.
	Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada
	perbedaannya.  Muhammad  adalah  Nabi  dan  Rasul  terakhir.
	Sekalipun begitu  dia  adalah  Rasul  pertama  diutus  Allah
	kepada  seluruh  umat  manusia-  bukan  diutus  hanya kepada
	bangsanya saja - supaya memberi penerangan.

	MUJIZAT TERBESAR
 
	Oleh karena itu Allah menghendaki  supaya  mujizat  Muhammad
	itu  adalah  mujizat  insani yang rasional, yang masuk akal,
	yang takkan dapat ditiru,  baik  oleh  manusia  maupun  jin,
	sekalipun mereka satu sama lain saling membantu. Mujizat itu
	ialah  Qur'an.  Ini  adalah  mujizat  terbesar  yang  pernah
	diberikan   Allah.   Dengan   itu   Tuhan  menghendaki  akan
	memperkuat kerasulan NabiNya itu dengan argumen  yang  jelas
	dan  dalil  yang tak dapat dibantah. Ia menghendaki - dengan
	itu - agar agama ini mendapat  kemenangan  pada  masa  hidup
	Rasul,   supaya   dalam   kemenangan   itu   orang   melihat
	kemahakuasaanNya. Kalau  Tuhan  menghendaki  adanya  mujizat
	yang  akan  membuat  mereka yang hidup pada masa Nabi merasa
	puas, tentu itu akan disebutkan dalam Qur'an. Tapi ada orang
	yang  tidak  mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal.
	Karena itu maka  ayat  yang  akan  meyakinkan  seluruh  umat
	manusia  akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat sekali
	hubungannya dengan jantung dan pikiran  mereka.  Maka  Allah
	telah   memperlihatkan  itu  dalam  bentuk  Qur'an,  sebagai
	argumen yang paling nyata dan sebagai mujizat kepada  mereka
	dari  Nabi yang ummi itu. Ia memperlihatkan kemenangan agama
	dan kekuatan iman kepadanya itu  dengan  melalui  dalil  dan
	keyakinan  yang  positif.  Agama  yang  dibangun  atas dasar
	inilah yang lebih kuat menanamkan iman ke  dalam  hati  umat
	manusia  sepanjang  zaman,  kepada pelbagai bangsa dan aneka
	macam bahasa.
 
	Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman
	kepada  agama ini sekarsng, dan sebagai argumennya supaya ia
	yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mujizat  lain  daripada
	Qur'an,  niscaya  itu  tidak  akan  mengurangi imannya, juga
	tidak akan pula kurang Islamnya.  Selama  wahyu  itu  memang
	bukan  bertugas membawa mujizat-mujizat semacam itu, tak ada
	salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada  Allah  dan
	kepada  RasulNya  itu rnau menguji lagi segala yang mengenai
	mujizat, yang ada hubungannya dengan wahyu  itu.  Mana  yang
	dapat  dibuktikan dengan alasan positif dapat saja diterima;
	dan  mana   yang   tak   dapat.dibuktikan,   terserah   pada
	pendapatnya sendiri. Iapun tidak salah. Beriman kepada Allah
	yang  tunggal  tiada  bersekutu  memang   memerlukan   suatu
	mujizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam semesta
	yang telah diciptakan  Allah.  Begitu  juga,  sebagai  bukti
	kerasulan  Muhammad,  yang  dengan  perintah  Tuhan mengajak
	manusia  beriman  serta  menyelamatkan  mereka  agar  jangan
	berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu mujizat selain
	Qur'an: tidak diperlukan  lebih  daripada  membacakan  Kitab
	Suci yang telah diwahyukan Allah kepadanya itu.

	Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman
	kepada agama ini sekarang, dan untuk  meyakinkan  itu  tidak
	diperlukan  sesuatu  mujizat  lain  daripada Qur'an, niscaya
	orang yang pernah beriman itu akan terdiri dari  dua  macam:
	pertama  orang  yang  sudah  tidak tergoyahkan lagi hatinya;
	sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya sudah terbuka
	menerima  iman, seperti halnya yang terjadi dengan Abu Bakr.
	Ia berimam dan percaya tanpa  ragu-ragu  lagi.  Yang  kedua,
	orang  yang untuk imannya itu sudah tidak perlu lagi mencari
	mujizat-mujizat  lain  dari  balik  hukum  alam,   melainkan
	dicarinya  di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan
	persepsi kita terbatas sekali. Perbatasan  alam  dalam  arti
	ruang dan waktu, tak dapat kita tangkap. Sungguhpun demikian
	ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut  hukum  yang  tidak
	berubah-ubah   dan   tidak   pula   bertukar-tukar.  Melalui
	undang-undang  Tuhan  yang  ada  dalam  alam  itu  ia   akan
	terbimbing sampai kepada Penciptanya.
 
	Buat  dua  macam golongan ini sama saja: baik dengan mujizat
	atau tidak. Bahkan keduanya tak  pernah  memikirkan  tentang
	mujizat-mujizat  itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti
	karunia  Tuhan.  Iman  yang  semacam  inilah  yang   menurut
	pendapat   bilangan  besar  pemuka-pemuka  Muslimin  sebagai
	bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi  berpendapat,
	bahwa sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut
	kepada  siksa  Allah  atau  karena  mengharapkan  pahalaNya,
	melainkan harus iman itu semata-mata karena Allah serta fana
	total ke dalam Ego Tuhan. KepadaNyalah semua  persoalan  itu
	akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya pula
	kita kembali.

	ORANG-ORANG MUKMIN PADA MASA NABI
 
	Orang-orang sekarang  yang  sudah  beriman,  mereka  beriman
	kepada   Allah   dan   Rasul   tanpa  didorong  oleh  adanya
	mujizat-mujizat, sama halnya  seperti  mereka  yang  beriman
	kepada  Allah  dan  Rasul  itu pada masa hidup Nabi. Sejarah
	tidak menyebutkan, bahwa mujizat-mujizat itu pernah  membuat
	orang  jadi beriman Malah bukti mujizat Tuhan terbesar ialah
	wahyu yang diturunkan melalui NabiNya, dan peri  hidup  Nabi
	sendiri  dengan  akhlaknya  yang  begitu tinggi, itulah yang
	mengajak orang jadi beriman.  Semua  buku  sejarah  hidupnya
	menyebutkan  bahwa  ada  segolongan orang yang sudah beriman
	kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra,  telah  jadi  murtad
	dari  imannya  tatkala  Nabi  menyebutkan, bahwa Tuhan telah
	memperjalankannya pada malam haji dari Mesjid Suci ke Mesjid
	Aqsha.  Tatkala  mengejar  Muhammad  yang  sedang  hijrah ke
	Medinah, dengan maksud supaya membawanya kembali  ke  Mekah,
	hidup  atau  mati, dengan harapan akan mendapat hadiah uang,
	Suraqa b. Ju'syum  tidak  juga  beriman  meskipun  buku-buku
	riwayat   hidup   Nabi  menceritakan  adanya  mujizat  Tuhan
	sehubungan dengan peristiwa Suraqa  dan  kudanya  itu.  Juga
	sejarah  tidak  pernah  menyebutkan  bahwa ada orang musyrik
	yang beriman kepada kerasulan Muhammad  hanya  karena  salah
	satu   mujizat,  seperti  tukang-tukang  sihir  Firaun  yang
	beriman setelah melihat  tongkat  Musa  menelan  semua  yang
	telah mereka buat itu.
 
	                                   (bersambung ke bagian 9)
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1