Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6  | Bag. 7 | Bag. 8 | Bag. 9 ]

	Characters: 12359
	Lines: 236
	Words: 1589
	Sentences: 281
	Paragraphs: 211
 
	                    PENGANTAR CETAKAN KEDUA            (5/9)

	FITNAH SEKITAR AYAN
 
	Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan  terakhir
	dalam  sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa
	hasil penyelidikan kaum Orientalis  itu  menunjukkan,  bahwa
	Nabi  menderita  penyakit  ayan.  Gejala-gejala demikian itu
	tampak padanya ketika ia tidak  sadarkan  diri,  keringatnya
	mengucur dengan disertai kekejangan-kekejangan dan busa yang
	keluar dari mulutnya. Apabila ia  sudah  sadar  kembali,  ia
	lalu  membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya
	itu - kepada orang-orang yang mempercayainya.  Padahal  yang
	dikatakan    wahyu    itu    tidak    lain    ialah   akibat
	serangan-serangan ayan tersebut.

	KEMBALI KEPADA ILMU PENGETAHUAN
 
	Menggambarkan apa yang  terjadi  pada  Muhammad  pada  waktu
	datangnya  wahyu  dengan  cara  yang demikian itu, dari segi
	ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak
	akan  meninggalkan  sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si
	penderita selama masa  terjadinya  itu.  Bahkan  sesudah  ia
	sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi
	selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa  yang  terjadi
	dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala
	pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi  lumpuh  total.
	Inilah   gejala-gejala   ayan   yang  dibuktikan  oleh  ilmu
	pengetahuan. Jadi bukan yang dialami  Nabi  Muhammad  selama
	menerima  wahyu.  Bahkan  selama itu inteleknya sedang dalam
	puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti  sekali  ia  ingat
	semua  yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali
	kepada sahabat-sahabatnya.
 
	Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia  tidak
	dibarengi  oleh  ketidaksadaran  jasmani.  Bahkan sebaliknya
	yang terjadi,  pada  waktu  itu  Nabi  sedang  dalam  puncak
	kesadarannya  yang biasa. Cukuplah kalau kita tunjukkan saja
	pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini tentang  turunnya
	Sarah  al-Fath  (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari
	Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.
 
	Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa Muhammad
	dihinggapi  penyakit  ayan.  Yang  mengatakan  demikian dari
	kalangan Orientalispun hanya  sebagian  kecil  saja.  Mereka
	itulah  yang  mengatakan  bahwa  Qur'an sudah diubah. Mereka
	mengatakan begitu  bukan  karena  ingin  mencari  kebenaran,
	melainkan  menurut  dugaan mereka dengan demikian mereka mau
	merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum  Muslimin.
	Ataukah  dengan  kata-kata  itu mereka mengira, bahwa mereka
	telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu  yang  diturunkan
	kepada  Muhammad, sebab turunnya itu -menurut dugaan mereka-
	waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau memang begitu,
	ini  adalah suatu kesalahan besar pada mereka, seperti sudah
	kita sebutkan. Pendapat mereka  inilah  yang  secara  ilmiah
	telah samasekali tertolak.
 
	Kalau  yang  dipakai  pedoman olelm kaum Orientalis demikian
	itu adalah  tujuan  yang  murni,  tentu  mereka  tidak  akan
	membawa-bawa  ilmu  yang  bertentangan  dengan  itu.  Mereka
	melakukan  itu  mau  mengelabui   orang-orang   yang   belum
	penguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka
	yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas
	dengan  apa  yang  telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu,
	tanpa mau bertanya-tanya  kepada  para  ahli  dari  kalangan
	kedokteran  atau  mau  membaca  buku-buku tentang itu. Kalau
	saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak  sulit  buat
	mereka  untuk  menemukan  kesalahan  kaum  Orientalis  itu -
	disengaja atau tidak disengaja. Mereka  akan  melihat  bahwa
	kegiatan   rohani  dan  intelek  manusia  akan  sama  sekali
	tertutup selama terjadi krisis ayan.  Sipenderita  dibiarkan
	dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum
	mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya  itu
	sudah  bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain.
	Dalam pada itu, diapun  kehilangan  kesadarannya.  Ia  tidak
	sadar  apa  yang  diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap
	dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan
	gerak-geriknya  sendiri. Bila itu sudah berlalu, iapun tidak
	ingat apa-apa lagi.

	KADANG ILMU YANG TIDAK CUKUP
 
	Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani  yang  begitu
	kuat membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran
	dan suasana intelek yang  meyakinkan.  Apa  yang  diwahyukan
	kepadanya  itu,  kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan,
	melumpuhkan seluruh  kesadaran  manusia.  Ia  membawa  orang
	berada  dalam  tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan
	kesadarannya menjadi hilang. Tidak  demikian  halnya  dengan
	wahyu,  yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus
	diberikan   Tuhan   kepada   para   nabi.   Kepada    mereka
	kenyataan-kenyataan   alam   positif   yang   tertinggi  itu
	diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat  manusia.
	Kadang   ilmu  pengetahuan  sampai  juga  memahami  beberapa
	kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan  dan
	rahasianya  -  sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa
	abad.   Kadang   juga   ilmu   pengetahuan    belum    dapat
	menjangkaunya.   Sungguhpun   begitu  itu  adalah  kenyataan
	positif,  yang  dapat  dimasuki  hanya  oleh   hati   nurani
	orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam
	pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat  dan  tidak
	mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.
 
	Kita  dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata,
	bahwa wahyu ialah suatu gejala  psikologi  tersendiri  dalam
	penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga
	saat sekarang. Jadi, adalah hal  yang  tidak  mungkin  dapat
	ditafsirkan  dengan  cara  ilmu.  Tetapi  bagaimanapun  juga
	pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan  kita  -  dengan
	ruang  lingkupnya  yang  luas  -  masih merasa terbatas akan
	menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan
	psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat,
	juga bukan  hal  yang  aneh.  Ilmu  pengetahuan  kita  masih
	terbatas  dalam  menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat
	pada  kita.   Kodrat   matahari,   bulan,   bintang-bintang,
	tata-surya   dan   lainnya  dalam  ilmu  pengetahuan,  masih
	merupakan hipotesa-hipotesa penemuan. Semua benda  cakrawala
	ini   sebagian   ada  yang  dapat  kita  lihat  dengan  mata
	telanjang, dan tidak sedikit pula  yang  masih  tersembunyi,
	yang  baru  akan  dapat  kita  lihat  bila  menggunakan alat
	peneropong.   Sampai   abad   yang   lalu   banyak    sekali
	penemuan-penemuan  yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan
	khayal belaka, tak ada jalan  akan  dapat  dijelmakan  depan
	mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan.
	Malah kita menganggap sebagai hal yang  mudah  saja.  Adanya
	gejala-gejala  spiritual  dan  psikologis  sekarang  menjadi
	sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat
	dikuasai  oleh ilmu, dan hukumnya yang positifpun juga belum
	ditemukan.
 
	Sering kita membaca  tentang  beberapa  masalah  yang  sudah
	diketahui  oleh  para  sarjana  dan  sudah  diterima. Tetapi
	kemudian  ternyata  bahwa  dalam  hukum  alam  yang  berlaku
	menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan
	arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya,  dalam  menghadapi
	beberapa  masalah,  secara  umum masih belum mempunyai hukum
	yang pasti. Kalau ini terjadi dalam  kehidupan  biasa,  maka
	langkah  cepat-cepat  mau  menafsirkan gejala-gejala seluruh
	hidup dengan cara ilmiah  adalah  suatu  usaha  yang  memang
	sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.

	MENYERANG MUHAMMAD KARENA GAGAL MENYERANG AJARANNYA
 
	Datangnya  wahyu  yang  pernah disaksikan oleh beberapa kaum
	Muslimin selama masa hidup Muhammad - demikian juga Qur'an -
	setiap  dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan
	iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi
	dan  Nasrani.  Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan
	Nabi, kemudian merekapun mempercayai.  Sekitar  risalah  dan
	masalah  waktu  itu  tak  ada  yang mereka tolak. Memang ada
	segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu
	sebagai  perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian merekapun
	mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula  orang
	gila.  Merekapun  lalu  jadi  pengikutnya  dan  beriman atas
	ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.
 
	Jadi  sekarang  yang  tak  dapat  diterima  oleh  ilmu,  dan
	bertentangan  dengan  kaidah-kaidah  yang ilmiah ialah sikap
	mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang  yang
	menerimanya  disertai  kecaman  dengan pelbagai rupa. Inilah
	yang justru bertentangan dengan ilmu.
 
	Seorang  sarjana  yang  sungguh-sungguh  bertujuan   mencari
	kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan
	bahwa apa yang telah dicapai oleh  ilmu  pengetahuan  sampai
	sekarang,  masih  terbatas  sekali,  belum dapat menguraikan
	wahyu itu dengan  cara  ilmiah.  Akan  tetapi,  begaimanapun
	juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu,
	seperti  yang  dilukiskan  oleh  sahabat-sahabat  Nabi   dan
	penulis-penulis  lain  pada  permulaan  sejarah  Islam  itu.
	Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari  dalih
	dengan  menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan
	sikap  keras  kepala.  Sikap  keras   kepala   dengan   ilmu
	sebenarnya takkan pernah bertemu.
 
	Kalau  sikap  yang  menyedihkan  ini  harus  menjurus kepada
	sesuatu maka sesuatu  itu  ialah  nafsu  mereka  yang  keras
	hendak  menanamkan  syak  ke dalam hati orang tentang Islam.
	Agama ini sendiri tidak dapat mereka  serang.  Mereka  telah
	menyaksikan,  betapa  kuat  dan  luhurnya  agama ini, dengan
	sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru  menjadi
	dasar kekuatannya.
 
	Oleh  karena  itu,  mereka  lalu menggunakan cara orang yang
	lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang  sungguh  besar
	itu,  mereka  lalu  menyerang  orang yang meninggalkan jejak
	itu. Ini adalah  kelemahan  yang  tidak  seharusnya  menjadi
	pegangan   seorang   sarjana.   Dalam   pada   itu  ia  juga
	bertentangan dengan  hukum  kodrat  insani.  Kodrat  manusia
	ialah   memperhatikan  jejak  itu  sendiri  saja,  menikmati
	buahnya  tanpa  ia   harus   bersusah   payah   mencari-cari
	asal-usulnya  atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu
	terjadi atau tumbuh.  Dengan  demikian  mereka  tidak  perlu
	menyusahkan  diri  mencari-cari  asalnya  pohon  yang  telah
	menghasilkan buah-buahan yang disukainya itu,  atau  tentang
	pupuk  yang  menyebabkan  pohon  tersebut jadi subur, selama
	tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih
	enak buahnya.
 
	Ketika  orang  mengadakan  pembahasan tentang filsafat Plato
	atau tentang  drama  Shakespeare  atau  karya-karya  Raphael
	misalnya,  orang  tidak  perlu mencari bahan kecamannya pada
	kehidupan orang-orang  besar  itu  -  yang  menjadi  lambang
	kemegahan   dan   kebanggaan  umat  manusia  -  kalau  dalam
	karya-karyanya itu tak  ada  yang  dapat  dijadikan  sasaran
	kecamannya.  Kalau  mereka  mencari bahan kecaman yang tidak
	punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai  tujuan.
	Kalau  niat  jahat  atau  rasa  dengki  itu juga yang mereka
	perlihatkan, argumentasi  mereka  akan  jatuh  dan  orangpun
	takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan
	menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat  dengki
	itu  tidak  pernah  mengenal  kebenaran.  Menyedihkan sekali
	tentunya bila perasaan dengki itu juga yang  menjadi  sumber
	kebenaran.  Inilah  dasar  kecaman Orientalis-orientalis itu
	terhadap Nabi, Rasul penutup  itu.  Tetapi  dengan  demikian
	kecaman mereka itupun jadi gugur samasekali.
 
	Sekarang  saya  sudahi  sanggahan saya ini terhadap pendapat
	Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim  orang  Mesir  itu
	dijadikan  pegangan  dalam  penulisan artikelnya. Sudah saya
	kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.
 
 
	                                    (bersambung ke bagian 6)
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1