Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6  | Bag. 7 | Bag. 8 | Bag. 9 ]

	
	                    PENGANTAR CETAKAN KEDUA            (3/9)

	QUR'AN TIDAK DIUBAH-UBAH
 
	Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada pendapat
	mereka. Memang ada segolongan  Orientalis  yang  beranggapan
	seperti  yang  dikutipnya  itu.  Tetapi  anggapan mereka ini
	menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh maksud-maksud  yang
	tak  ada  hubumgannya dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sudah
	bukan rahasia lagi. Sebagai bukti,  cukup  apa  yang  mereka
	katakan,  bahwa  versi  "Dan  membawa  berita gembira dengan
	kedatangan seorang rasul  sesudahku,  namanya  Ahmad,"  yang
	tersebut   dalam   Surah  "Ash-Shaf"  (61)  ayat  6,  adalah
	ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk  dijadikan  bukti  atas
	kenabian  Muhammad  dan  Risalahnya  dari  Kitab-kitab  Suci
	sebelum Qur'an.
 
	Andaikata  yang  berpendapat  demikian  ini  dari   kalangan
	Orientalis  yang  benar-benar  jujur  demi ilmu pengetahuan,
	tentu tidak perlu mereka bersandar  kepada  argumen  semacam
	itu,  yang  bagi  mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang
	kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk
	ilmu,  tentu  akan  mereka samakan Qur'an dengan kitab-kitab
	suci sebelum itu, yakni  menganggapnya  sebagai  kitab  suci
	juga  dengan  menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah
	dikenal  orang  sebelumnya  adalah  wajar,  tak  perlu  lagi
	dibantah,  atau  menganggap  kitab-kitab suci itu semua sama
	juga dengan anggapannya terhadap Qur'an.  Terhadap  keduanya
	itu  pendapat merekapun tentu akan serupa, dengan menentukan
	bahwa itu diadakan untuk maksud-maksud  agama  atau  politik
	tertentu  juga.  Andaikata  memang ini pendapat mereka, maka
	selesailah  sudah  logika  demikian  itu.  Pendirian  mereka
	tentang  adanya  perubahan dalam Qur'an untuk maksud politik
	dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur pula.
 
	Bagi kaum Muslimin  tidak  perlu  lagi  mencari  bukti  dari
	kitab-kitab  suci  itu sesudah raja-raja mereka dan imperium
	Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya
	dan   sesudah  orang-orang  Kristen  sendiri  beramai-ramai,
	bahkan  bangsa-bangsa  secara  keseluruhan,  menganut  agama
	Islam.  Inilah  logika  yang  berlaku bagi penyelidikan yang
	murni ilmiah.
 
	Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab suci
	dan  menolak sifat demikian pada Qur'an, maka ini adalah hal
	yang tak diterima oleh  ilmu  pengetahuan.  Sedang  pendapat
	yang  mengatakan  adanya perubahan dalam Qur'an karena bukti
	dari Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong,  tidak  pula
	diterima oleh logika.
 
	Dari  kalangan  Orientalis  yang  paling  fanatik sekalipun,
	sedikit sekali  yang  beranggapan  seburuk  itu.  Sebaliknya
	sebagian  besar  mereka sepakat, bahwa Qur'an yang kita baca
	sekarang  ini,  itu  jugalah  Qur'an  yang  dibacakan   oleh
	Muhammad  kepada  kaum Muslimin semasa hidupnya, tanpa suatu
	cacat  atau   perubahan   apapun.-   Mereka   ingin   sekali
	menyebutkan  hal  ini,  sekalipun  -  dalam  bentuk kritik -
	mereka kaitkan dengan cara pengumpulan Qur'an dan penyusunan
	Surah-surah  yang  pembahasannya  tentu di luar bidang studi
	ini.
 
	Kalangan   Muslimin   sendiri   yang    sudah    mencurahkan
	perhatiannya  dalam  seluk-beluk  ilmu Qur'an telah menerima
	bermacam-macam kritik dan sudah mereka tangkis pula.  Adapun
	yang   mengenai  masalah  yang  kita  hadapi  sekarang  ini,
	cukuplah kalau kita mengutip  apa  yang  dikatakan  kalangan
	Orientalis  sendiri  dalam  hal  ini,  kalau-kalau si Muslim
	Mesir yang kita bicarakan artikelnya itu akan  merasa  puas,
	demikian  juga  mereka  yang masih berpikir semacam dia akan
	turut merasa puas pula.

	PENDAPAT MUIR
 
	Sebenarnya apa yang diterangkan kaum  Orientalis  dalam  hal
	ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh
	Sir William Muir dalam The Life of  Mohammad  supaya  mereka
	yang  sangat  berlebih-lebihan  dalam  memandang sejarah dan
	dalam memandang diri mereka yang  biasanya  menerima  begitu
	saja   apa   yang  dikatakan  orang  tentang  pemalsuan  dan
	perubahan Qur'an itu, dapat  melihat  sendiri.  Muir  adalah
	seorang  penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah
	untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan  setiap
	kesempatan  melakukan  kritik  terhadap Nabi dan Qur'an, dan
	berusaha memperkuat kritiknya.
 
	Ketika bicara tentang  Qur'an  dan  akurasinya  yang  sampai
	kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:
 
	"Wahyu  Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa
	ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang
	bersifat  umum  atau  khusus. Melakukan pembacaan ini adalah
	wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik
	yang  akan  mendapat  pahala  bagi yang melakukannya. Inilah
	sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan  itu  pula
	yang  telah  diberitakan  oleh  wahyu.  Oleh karena itu yang
	hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu  banyak
	sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka
	pada awal masa kekuasaan Islam itu ada  yang  dapat  membaca
	sampai  pada  ciri-cirinya  yang  khas.  Tradisi  Arab telah
	membantu pula mempermudah pekerjaan  ini.  Kecintaan  mereka
	luar  biasa  besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang
	datang  dari  para  penyairnya  tidak  mudah  dicapai,  maka
	seperti  dalam  mencatat  segala  sesuatu  yang  berhubungan
	dengan nasab keturunan  dan  kabilah-kabilah  mereka,  sudah
	biasa  pula  mereka  mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran
	hati mereka sendiri. Oleh karena  itu  daya  ingat  (memori)
	mereka  tumbuh  dengan  subur. Kemudian pada masa itu mereka
	menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.
	Begitu  kuatnya  daya  ingat  sahabat-sahabat Nabi, disertai
	pula  dengan  kemauan  yang  luar  biasa  hendak  nnenghafal
	Qur'an,  sehingga  mereka,  bersama-sama  dengan  Nabi dapat
	mengulang kembali dengan ketelitian yang  meyakinkan  sekali
	segala  yang  diketahui  dari  pada  Nabi  sampai pada waktu
	mereka membacanya itu."
 
	"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas  daya
	ingatnya   itu,  kita  juga  bebas  untuk  tidak  melepaskan
	kepercayaan kita  bahwa  kumpulan  itu  adalah  satu-satunya
	sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin,
	bahwa sahabat-sahabat Nabi  menulis  beberapa  macam  naskah
	selama  masa  hidupnya  dari  berbagai  macam  bagian  dalam
	Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
	itu  ditulis.  Pada  umumnya  tulis-menulis  di  Mekah sudah
	dikenal orang jauh sebelum masa  kerasulan  Muhammad.  Tidak
	hanya  seorang  saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
	kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan  perang  Badr  yang
	dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang
	jauh sebelum masa kerasulan Muhammad.  Tidak  hanya  seorang
	saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
	surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat  mengajarkan
	tulis-menulis   kepada   kaum  Anshar  di  Medinah,  sebagai
	imbalannya  mereka  dibebaskan.  Meskipun  penduduk  Medinah
	dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
	juga  di  antara  mereka  yang  pandai  tulis-menulis  sejak
	sebelum  Islam.  Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah
	saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa  ayat-ayat
	yang  dihafal  menurut  ingatan  yang sangat teliti itu, itu
	juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."
 
	"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah  mengutus
	seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah
	menganut Islam,  supaya  mengajarkan  Qur'an  dan  mendalami
	agama.  Sering  pula  kita  membaca, bahwa ada utusan-utusan
	yang    pergi    membawa    perintah    tertulis    mengenai
	masalah-masalah  agama  itu.  Sudah tentu mereka membawa apa
	yang  diturunkan  oleh  wahyu,  khususnya  yang  berhubungan
	dengan  upacara-upacara  dan peraturan-peraturan Islam serta
	apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."

	PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI
 
	"Qur'an  sendiripun  menentukan  adanya  itu  dalam   bentuk
	tulisan.  Begitu  juga  buku-buku  sejarah  sudah menentukan
	demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar,  tentang
	adanya   sebuah   naskah  Surat  ke-20  [Surah  Taha]  milik
	saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk  Islam
	tiga  atau  empat  tahun  sebelum  Hijrah.  Kalau  pada masa
	permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling  dipertukarkan,
	tatkala  jumlah  kaum  Muslimin  masih sedikit dan mengalami
	pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan  sekali,
	bahwa  naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan
	sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
	kekuasaannya  dan  kitab  itu  sudah  menjadi  undang-undang
	seluruh bangsa Arab."

	BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI
 
	"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan  demikian
	juga  halnya  kemudian  sesudah  Nabi wafat; tetap tercantum
	dalam kalbu kaum  mukmin.  Berbagai  macam  bagiannya  sudah
	tercatat  belaka  dalam  naskah-naskah yang makin hari makin
	bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu  sudah  seharusnya
	benar-benar  cocok.  Pada  waktu itu pun Qur'an sudah sangat
	dilindungi sekali, meskipun  pada  masa  Nabi  masih  hidup,
	dengan  keyakinan  yang  luarbiasa  bahwa  itu  adalah kalam
	Allah. Oleh karena  itu  setiap  ada  perselisihan  mengenai
	isinya,  untuk  menghindarkan  adanya  perselisihan demikian
	itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam  hal  ini  ada
	beberapa  contoh  pada  kita:  'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin
	Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi  wafat,  bila
	ada  perselisihan,  selalu  kembali  kepada  teks yang sudah
	tertulis  dan  kepada  ingatan  sahabat-sahabat  Nabi   yang
	terdekat serta penulis-penulis wahyu."

	PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA
 
	"Sesudah  selesai  menghadapi  peristiwa  Musailima  - dalam
	perang Ridda - penyembelihan Yamama telah  menyebabkan  kaum
	Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka
	yang telah menghafal Qur'an dengan  baik.  Ketika  itu  Umar
	merasa  kuatir  akan  nasib  Qur'an dan teksnya itu; mungkin
	nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka  yang
	telah  menyimpannya  dalam  ingatan itu, mengalami suatu hal
	lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah
	Abu  Bakr  dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan
	terhadap mereka yang sudah hafal  Qur'an  itu  akan  terjadi
	lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
	lagi dari mereka  yang  akan  hilang.  Menurut  hemat  saya,
	cepat-cepatlah    kita    bertindak   dengan   memerintahkan
	pengumpulan Qur'an."
 
	"Abu Bakr segera  menyetujui  pendapat  itu.  Dengan  maksud
	tersebut  ia  berkata  kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
	Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang  cerdas  dan
	saya  tidak  meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada
	Rasulullah  s.a.w.  dan  kau  mengikuti  Qur'an  itu;   maka
	sekarang kumpulkanlah."
 
	"Oleh  karena  pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar
	dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali.  Ia  masih  meragukan
	gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
	melakukannya. Akan tetapi akhirnya  ia  mengalah  juga  pada
	kehendak  Abu  Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai
	berusaha  sungguh-sungguh   mengumpulkan   surah-surah   dan
	bagian-bagiannya  dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia
	mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas  batu
	putih,   dan   yang  dihafal  orang.  Setengahnya  ada  yang
	menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya  dari  yang  ada
	pada  lembaran-lembaran,  tulang-tulang  bahu dan rusuk unta
	dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."
 
	"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun  terus-menerus,
	mengumpulkan   semua   bahan-bahan  serta  menyusun  kembali
	seperti yang ada sekarang ini, atau seperti  yang  dilakukan
	Zaid  sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian
	orang mengatakan. Sesudah  naskah  pertama  lengkap  adanya,
	oleh  Umar  itu  dipercayakan  penyimpanannya kepada Hafsha,
	puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang  sudah  dihimpun  oleh
	Zaid  ini  tetap  berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks
	yang otentik dan sah.
 
	"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca,
	yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau
	karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah  itu
	yang  disalin  dari  naskah  Zaid.  Dunia Islam cemas sekali
	melihat hal ini. Wahyu  yang  didatangkan  dari  langit  itu
	"satu,"  lalu  dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang
	pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan,  juga  melihat
	adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
 
 
	                                   			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1