Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6 ]

	2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM                       (6/6)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Itu  juga sebabnya, meskipun bangsa-bangsa yang menganut Islam
	secara silih berganti ditaklukkan, dikuasai dan  dijaJah  oleh
	bangsa-bangsa  lain,  namun keislaman mereka tak pernah goyah,
	keimanan mereka tak pernah  berubah.  Sampai  saat  ini  Eropa
	masih  tetap  menguasai  bangsa-bangsa  beragama Islam. Tetapi
	mereka takkan mampu mengubah iman  bangsa  itu  kepada  Tuhan.
	Sebaliknya,  mereka  yang  dewasa ini mempergunakan pedang dan
	menaklukkan umat Islam, maka nasib merekapun  -  supaya  cocok
	dengan  kata-kata  dalam  Injil itu binasa oleh pedang sebagai
	balasan yang sesuai pula.
 
	Para penguasa dan raja-raja itu oleh Nabi  telah  dikembalikan
	kepada  kekuasaan  mereka masing-masing. Negeri Arab yang pada
	akhir zaman Nabi itu merupakan suatu kesatuan beberapa  bangsa
	Arab yang beragama Islam, tak ada sebuah negara pun yang dalam
	status jajahan tunduk kepada Mekah atau Medinah.  Dengan  iman
	mereka  yang  begitu  teguh semua golongan Arab pada waktu itu
	merasa sama  rata  di  hadapan  Allah.  Mereka  semua  sejalan
	seiring  dalam menghadap pihak yang hendak melanda mereka atau
	hendak  membujuk  mereka  dari  agamanya.  Sampai  pada  waktu
	sesudah  itu,  pada  waktu  Pax  Islamica  atau  liga kesatuan
	bangsa-bangsa Islam mulai goyah, pusat kediaman khalifah tetap
	menjadi  pusat  liga  itu.  Kekuasaan  Khalifah  tidak  pernah
	mendakwakan sebagai pemegang monopoli  masalah-masalah  rohani
	atau  monopoli  dalam  kebudayaan.  Bahkan  semua  bangsa yang
	menganut Islam tidak mengenal adanya  suatu  kekuasaan  rohani
	diluar  kekuasaan  Tuhan.  Semua pusat kawasan Islam waktu itu
	adalah juga pusat pengembangan seni, ilmu dan teknologi.  Yang
	demikian  ini  berjalan  terus, sampai datang waktunya keadaan
	kaum Muslimin terpisah dari Islam. Ajaran  Islam  yang  begitu
	gemilang  sudah  tidak  mereka  kenal  lagi,  persaudaraan  di
	kalangan sesama mukmin sudah mereka lupakan,  seseorang  tidak
	sempurna  imannya  sebelum  ia  mencintai  saudaranya  seperti
	mencintai diri sendiri sudah mereka lupakan pula.  Yang  mulai
	berlaku  kemudian  ialah mementingkan diri sendiri, yang mulai
	memegang  peranan  kemudian  ialah  politik  destruktif.  Maka
	pedang  itulah  yang dijadikan juru selamat. Terjadilah mereka
	yang mempergunakan pedang akan binasa oleh pedang.
 
	Berhubung dengan itu, sejak abad  ke-15  Kristen  Eropa  mulai
	bangkit  dengan  jiwa  baru,  yang  barangkali  akan  ada juga
	gunanya buat dunia kalau  tidak  segera  mengalami  kehancuran
	yang    sudah   menjadi   suatu   keharusan   sebagai   akibat
	pecah-belahnya ajaran Kristen menjadi sekte-sekte. Dalam  pada
	itu,  bersamaan dengan masa kebangkitan itu pula bangsa-bangsa
	Islam yang sudah melupakan Islam itu pun mulai pula dihadapkan
	pada  kekerasan  pedang dan akan tetap dihadapkan pada pedang.
	Dan pedang itu  jugalah  yang  dijadikan  juru  selamat  dalam
	berhadapan  dengan  bangsa-bangsa Islam. Dalam hal ini apabila
	pedang yang berbicara, maka segala pikiran, ilmu  pengetahuan,
	segala  kebaikan,  cinta kasih, iman bahkan kemanusiaan, sudah
	tak ada gunanya lagi.
 
	Dikuasainya dunia dewasa ini oleh pedang, ialah karena  adanya
	krisis  rohani  dan psikologi yang telah melandanya dan sampai
	manusia menderita karenanya. Beberapa negara besar yang  telah
	menguasai  dunia  dengan  pedang selama Perang Dunia Pertama -
	yakni duapuluh tahun yang lalu -  mereka  sudah  yakin  sekali
	akan  kenyataan  ini,  dan  lalu  bermaksud  hendak mengadakan
	perdamaian  di  dunia.  Maka   untuk   mencapai   tujuan   ini
	dibangunlah  Liga  Bangsa-bangsa  dan  tugas  liga  ini  ialah
	seperti dalam firman Tuhan:
 
	"Dan apabila ada dua golongan orang-orang  beriman  berkelahi,
	maka  damaikanlah  keduanya  itu.  Tetapi jika salah satu dari
	keduanya membangkang terhadap yang lain,  maka  lawanlah  yang
	membangkang  itu sampai ia kembali kepada perintah Allah. Bila
	mereka kembali, damaikanlah  keduanya  itu  dengan  cara  yang
	adil. Hendaklah berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang beriman
	itu bersaudara. Demikianlah kedua golongan saudara  kamu  itu.
	Berbaktilah  kamu  kepada  Allah supaya kamu mendapat rahmat."
	(Qur'an, 49: 9-10)

	Akan tetapi jiwa perdamaian itu belum lagi merata  ke  seluruh
	dunia,  karena  dasar  kebudayaan  yang  kini  berkuasa  ialah
	kebudayaan imperialisma, imperialisma yang  didasarkan  kepada
	nasionalisma dengan segala pertentangannya, dengan segala daya
	upayanya,   setiap   negara   yang   kuat   hendak    mengisap
	negara-negara  kecil  lainnya,  maka  sudah menjadi hak setiap
	bangsa yang masih  dijajah,  bahkan  harus  menjadi  kewajiban
	pertama,  berusaha  menghancurkan  belenggu  si  penjajah itu,
	sebab  penjajahan  itulah  bibit  segala   pemberontakan   dan
	peperangan.   Selama  masih  ada  penjajahan,  perdamaian  tak
	mungkin  terwujud,  peperangan  takkan  berkesudahan,  kecuali
	dalam  bentuk  formalitas  saja. Setiap bangsa, satu sama lain
	akan tetap memandang dengan saling  curiga-mencurigai,  dengan
	hati-hati  dan  menunggu-nunggu  kesempatan  hendak mengadakan
	pembunuhan gelap. Dimana mungkin  ada  perdamaian  kalau  jiwa
	semacam  ini  masih  tetap  berakar!  Perdamaian itu baru ada,
	apabila orang dari pelbagai bangsa dapat mengubah diri. Mereka
	harus benar-benar percaya akan arti perdamaian, memegang teguh
	segala ajaran  yang  didasarkan  pada  perdamaian  dan  dengan
	ikhlas  pula  bersepakat  menghadapi  setiap usaha yang hendak
	mengeruhkannya.
 
	Hal ini baru akan terjadi apabila imperialisma itu sudah tidak
	lagi  menjadi  dasar  kebudayaan dunia, apabila semua orang di
	segenap pelosok bumi ini  sudah  menyadari  kewajibannya  yang
	pokok,  yaitu  yang  kuat  membantu  yang  lemah,  yang  besar
	mengasihi yang kecil, yang  pandai  mau  mendidik  yang  belum
	pandai,  dengan  menyebarkan  sinar  panji ilmu pengetahuan ke
	segenap penjuru bumi, dengan hasrat hendak memberi kebahagiaan
	kepada  umat  manusia,  bukan  hendak mempergunakannya sebagai
	alat memeras bangsa-bangsa lain atas  nama  ilmu  pengetahuan,
	atas nama perkembangan teknologi.

	Apabila  dunia semua sudah memegang prinsip ini, apabila orang
	semua sudah merasa, bahwa dunia semua tanah airnya, dan  bahwa
	mereka  semua  bersaudara,  satu  sama  lain  saling mencintai
	seperti mencintai diri sendiri - ketika itu akan ada toleransi
	antara  sesama  manusia, akan ada keakraban; ketika itu mereka
	akan berdialog dengan bahasa yang tidak lagi seperti sekarang.
	Mereka     akan    saling    percaya-mempercayai,    sekalipun
	masing-masing berjauhan  tempat.  Mereka  semua  akan  bekerja
	untuk kebaikan demi Allah. Ketika itulah segala permusuhan dan
	kebencian akan  terhapus.  Dengan  rahmat  Tuhan  kepada  umat
	manusia,  dan  kerelaan  manusia kepada Tuhan, hanya kebenaran
	yang akan ada, hanya perdamaian yang akan merata.
 
	"Orang-orang  yang  beriman  dan   pengikut-pengikut   Yahudi,
	Nasrani dan orang-orang Shabi'un yang percaya kepada Allah dan
	Hari Kemudian serta mengerjakan perbuatan  yang  baik,  mereka
	akan  mendapat  ganjaran dari Tuhan. Mereka tidak perlu takut,
	tidak usah bersedih hati." (Qur'an, 2: 62)
 
	Adakah dalam hal ini toleransi yang lebih luas dari ini! Orang
	yang  beriman  kepada Allah, kepada Hari Kemudian lalu berbuat
	kebaikan, mereka  akan  mendapat  ganjaran  dari  Tuhan.  Pada
	dasarnya  tiada  perbedaan antara orang-orang yang beriman itu
	dengan mereka yang belum mendapat ajakan Islam,  baik  Yahudi,
	Nasrani  atau  Shabi'un10  (atau Sabian) yang belum dipalsukan
	itu.
 
	Tuhan berfirman:
 
	"Dan ada sebagian Ahli Kitab itu yang beriman kepada Allah dan
	kepada   apa  yang  sudah  diturunkan  kepada  kamu  dan  yang
	diturunkan kepada mereka. Mereka sangat berendah  hati  kepada
	Tuhan,  tidak  menjual  ayat-ayat  Allah  dengan  harga murah.
	Mereka itulah yang akan mendapat ganjaran  dari  Tuhan,  sebab
	Allah sangat cepat memperhitungkan." (Qur'an, 3: 199)
 
	Mana  pula semua itu bila dibandingkan dengan kebudayaan Barat
	yang  kini  menguasai  dunia  dengan  segala  chauvinisma  dan
	fanatisma agamanya serta segala peperangan dan kehancuran yang
	timbul sebagai akibat fanatisma itu!
 
	Inilah semangat jiwa yang begitu tinggi memberikan  toleransi,
	semangat   yang  harus  merata  menguasai  dunia  bila  memang
	dikehendaki supaya perdamaian  itu  bertakhta  di  dunia  demi
	kebahagiaan  umat  manusia. Semangat inilah yang telah membuat
	setiap studi tentang sejarah hidup orang yang  telah  menerima
	wahyu Allah dengan firman ini, menjadi suatu studi ilmiah yang
	benar-benar bersih demi ilmu semata. Masalah-masalah psikologi
	dan  spirituil  yang  hendak  mengantarkan  manusia  ke  jalan
	kebudayaan baru yang selama ini  dicarinya,  seharusnya  sudah
	dapat  diungkapkan  oleh  ilmu  pengetahuan.  Dengan mendalami
	studi demikian ini akan banyak sekali hal-hal yang akan  dapat
	diungkapkan,  yang  sejak  sekian  lama  orang  menduga  tidak
	mungkin  akan  dapat   dianalisa   secara   ilmiah.   Ternyata
	pembahasan-pembahasan  ilmu  jiwa  kemudian  dapat menerangkan
	dengan jelas sekali, terutama  bagi  mereka  yang  memang  mau
	memahaminya.

	Seperti  sudah  kita  lihat,  keluhuran  hidup Muhammad adalah
	hidup manusia yang sudah  begitu  tinggi  sejauh  yang  pernah
	dicapai  oleh  umat  manusia.  Hidup yang penuh dengan teladan
	yang luhur dan indah bagi setiap  insan  yang  sudah  mendapat
	bimbingan  hati  nurani,  yang hendak berusaha mencapai kodrat
	manusia yang lebih sempurna dengan jalan  iman  dan  perbuatan
	yang  baik.  Dimana  pulakah ada suatu keagungan dan keluhuran
	dalam hidup seperti yang terdapat  dalam  diri  Muhammad  ini,
	yang  dalam  hidup  sebelum  kerasulannya  sudah  menjadi suri
	teladan pula sebagai lambang kejujuran, lambang harga diri dan
	tempat   kepercayaan   orang.   Demikian   juga  sesudah  masa
	kerasulannya, hidupnya penuh pengorbanan, untuk  Allah,  untuk
	kebenaran,  dan  untuk itu pula Allah telah mengutusnya. Suatu
	pengorbanan  yang  sudah  berkali-kali  menghadapkan  nyawanya
	kepada  maut. Tetapi, bujukan masyarakatnya sendiri pun - yang
	dalam gengsi dan keturunan ia sederajat dengan mereka  -  yang
	baik  dengan  harta,  kedudukan atau dengan godaan-godaan lain
	-mereka tidak dapat merintanginya.
 
	Kehidupan insani yang begitu luhur dan cemerlang itu belum ada
	dalam   kehidupan   manusia   lain  yang  pernah  mencapainya,
	keluhuran yang sudah meliputi segala segi  kehidupan.  Apalagi
	yang  kita  lihat  suatu  kehidupan manusia yang sudah bersatu
	dengan kehidupan  alam  semesta  sejak  dunia  ini  berkembang
	sampai  akhir  zaman,  berhubungan dengan Pencipta alam dengan
	segala karunia dan pengampunanNya. Kalau tidak  karena  adanya
	kesungguhan dan kejujuran Muhammad menyampaikan risalah Tuhan,
	niscaya  kehidupan  yang  kita  lihat  ini  lambat  laun  akan
	menghilangkan apa yang telah diajarkannya itu.
 
	Tetapi,  seribu  tigaratus  limapuluh  tahun ini sudah lampau,
	namun amanat Tuhan  yang  disampaikan  Muhammad,  masih  tetap
	menjadi  saksi  kebenaran dan bimbingan hidup. Untuk itu cukup
	satu saja kiranya kita kemukakan  sebagai  contoh,  yaitu  apa
	yang  diwahyukan  Allah  kepada  Muhammad,  bahwa  dia  adalah
	penutup para nabi dan para rasul. Empat belas abad sudah lalu,
	tiada  seorang  juga sementara itu yang mendakwakan diri bahwa
	dia seorang nabi atau rasul Tuhan lalu  orang  mempercayainya.
	Sementara  dalam  abad-abad itu memang sudah lahir tokoh-tokoh
	di dunia yang sudah mencapai  kebesaran  begitu  tinggi  dalam
	pelbagai bidang kehidupan, namun anugerah sebagai kenabian dan
	kerasulan tidak sampai kepada mereka. Sebelum Muhammad  memang
	sudah  ada  para  nabi  dan  rasul yang datang silih berganti.
	Mereka semua sudah  memberi  peringatan  kepada  masyarakatnya
	masing-masing  bahwa  mereka  itu  sesat, dan diajaknya mereka
	kepada agama yang benar. Namun tiada seorang  diantara  mereka
	itu  yang  menyebutkan,  bahwa  dia diutus kepada seluruh umat
	manusia, atau bahwa dia adalah  penutup  para  nabi  dan  para
	rasul. Sebaliknya Muhammad, ia mengatakan itu, dan sejarah pun
	sepanjang abad membenarkan kata-katanya. Dan itu  bukan  suatu
	cerita  yang  dibuat-buat, tetapi memang hendak memperkuat apa
	yang sudah ada, serta menjelaskan sesuatunya, sebagai petunjuk
	dan rahmat bagi mereka yang beriman.
 
	Tujuan  pokok  yang  saya harapkan ialah, semoga apa yang saya
	maksudkan  dengan  pembahasan  ini  sudah  akan  memadai  juga
	hendaknya,  dan semoga dengan ini saya sudah merambah jalan ke
	arah  adanya  pembahasan-pembahasan  yang  lebih   dalam   dan
	menyeluruh  dalam  bidangnya.  Saya  sudah berusaha kearah itu
	sekuat kemampuan  saya,  dan  Tuhan  juga  kiranya  yang  akan
	memberi keringanan kepada saya.
 
	"Tuhan  tidak  akan  memaksa seseorang di luar kesanggupannya.
	Segala usaha baik yang dikerjakannya adalah untuk dirinya, dan
	yang sebaliknya pun untuk dirinya pula. 'Ya Allah, jangan kami
	dianggap bersalah, bila  kami  lupa  atau  keliru.  Ya  Allah,
	janganlah  Kaupikulkan  kepada  kami beban seperti yang pernah
	Kaupikulkan kepada mereka yang sebelum kami. Ya Allah,  jangan
	hendaknya  Kaupikulkan  kepada  kami beban yang kiranya takkan
	sanggup kami pikul. Beri  maaflah  kami,  ampunilah  kami  dan
	berilah  kami  rahmat.  Engkau jugalah Pelindung kami terhadap
	mereka yang tiada beriman itu." (Qur'an, 2: 286)
 
	Catatan kaki:
 
	 1 Paham jabariyah ini mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
	   manusia dengan perbuatannya, sehingga manusia tak dapat
	   berbuat lain daripada yang sudah ditakdirkan Tuhan (lihat
	   catatan di bawah). Paham ini sering disamakan dengan
	   'fatalisma' dan 'predestination.' Sebaliknya dari paham
	   ini ialah qadariyah yang berpendapat bahwa Tuhan hanya
	   menciptakan manusia tapi tidak menciptakan perbuatannya.
	   Kedua aliran paham ini timbul sekitar abad ke-8 M.
	   Menurut Qur'an (2: 177) rukun iman ada lima, yang keenam,
	   yaitu jabariyah tidak ada. Paham ini didasarkan kepada
	   hadis, yang menurut beberapa ahli sanadnya tidak begitu
	   kuat dan dianggap bertentangan dengan Qur'an (A).
	   
	 2 Yang dimaksud dengan 'papan abadi' tentunya ialah
	   'al-lauh'l-mahfuz' yang secara harfiah 'papan tulis yang
	   terjaga' dan secara awam kadang diartikan, bahwa segala
	   perbuatan nasib manusia sudah ditakdirkan dan tertulis
	   lebih dulu dalam 'papan' ini, sehingga manusia sudah tak
	   dapat mengelak lagi. Padahal arti 'lauh mafhuz' yang
	   sebenarnya ialah Qur'an (85: 21-22) yang terjaga, yang
	   takkan pernah dapat dipalsu atau diubah oleh tangan
	   manusia (15: 9). Juga tidak sekali-kali dalam arti materi
	   terbuat dari batu, kayu dan sebagainya (A).
	   
	 3 Ikhtiar disini berarti kemauan bebas atau free will,
	   atau sengaja, sebaliknya daripada jabariyah atau
	   fatalisma (A).
	   
	 4 Tawakal atau tawakkal berarti mempercayakan diri kepada
	   Allah setelah segala usaha dan daya upaya dilakukan, atau
	   seperti kata pepatah 'habis akal barulah tawakal' (A).
	   
	 5 Determinisma ilmiah, 'dunia sebagai kemauan dan
	   pikiran' dan 'evolusi kreatif' ialah beberapa mazhab
	   filsafat Barat. Yang pertama menurut pendapat kaum
	   Positivist, yang kedua menurut Schopenhauer dan yang
	   ketiga menurut Bergson. Di sini tempatnya sangat terbatas
	   untuk dapat menguraikan semua ini.
	   
	 6 Sekedar gambaran, jarak matahari dari bumi 93.000.000
	   mil jauhnya. Kecepatan tertinggi yang dapat dicatat oleh
	   ilmu pengetahuan sampai sekarang ialah cahaya, yakni
	   186.000 mil per detik. Ada beberapa bintang yang demikian
	   jauh sehingga cahayanya baru sampai ke bumi sesudah lebil
	   dari 2.000.000 tahun (A).
	   
	 7 Al-Islam wan-Nashrania, p. 122 - 125.
 
	 8 Stoa ialah suatu ajaran filsafat Yunani dibangun oleh
	   Zeno (336? - 264? sebelum Masehi). Kaum Stoa percaya
	   bahwa segala kejadian harus diterima dengan tenang dan
	   sabar dan bebas dari segala perasaan benci dan suka,
	   sedih dan gembira (A).
	   
	 9 Kaum Parisi ialah suatu sekte agama Yahudi dahulu kala
	   yang memisahkan diri, sangat kaku sekali mempertahankan
	   undang-undang agama, baik yang tertulis (Taurat), lisan
	   ataupun adat kebiasaan. Lawan sekte Saduki (A).
	   
	10 Dalam menafsirkan ayat ini At-Tabari menyebutkan,
	   bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman itu
	   ialah mereka yang percaya kepada Rasulullah;
	   pengikut-pengikut Yahudi ialah orang-orang (yang menganut
	   agama) Yahudi. Mereka ini disebut Yahudi karena kata-kata
	   mereka juga: inna hudna ilaika - 'kami kembali kepadaMu'
	   atau 'kami bertaubat.' Orang-orang Nasrani ialah
	   pengikut-pengikut Kristus. Dinamakan Nasrani, satu
	   pendapat mengatakan nama itu dinisbatkan kepada Nazareth,
	   yaitu nama desa di Palestina tempat Isa dilahirkan, yang
	   lain berpendapat, ialah karena ucapan Isa yang mengatakan
	   'man anshari ila'llah' ('siapakah penolong-penolongku ke
	   jalan Allah'), maka penolong-penolong itu diberi sebutan
	   'Nashara' (bentuk jamak 'Nashrani); Shabi'un (atau
	   Sabian) menurut satu pendapat ialah mereka yang menyembah
	   malaikat. Pendapat lain mengatakan, bahwa mereka ini
	   percaya kepada: keesaan Tuhan, tetapi tidak mempunyai
	   kitab suci, tak ada nabi dan tidak mengamalkan sesuatu
	   selain percaya bahwa tak ada tuhan selain Allah. Pendapat
	   ketiga mengatakan, bahwa kaum Shabi'un ini orang-orang
	   tidak beragama (Lihat juga catatan bawah halaman 33). Ibn
	   Jarir menafsirkan ayat dalam firman Tuhan: "Orang yang
	   beriman kepada Allah dan Hari Kemudian" ialah orang yang
	   percaya akan hari kebangkitan sesudah mati pada hari
	   kiamat, orang berbuat kebaikan dan taat kepada perintah
	   Allah, mereka itulah yang akan mendapat ganjaran dari
	   Tuhan, yakni mereka akan mendapat pahala dari Tuhan
	   karena perbuatan-perbuatan yang baik. Sedang firman
	   "mereka tidak perlu takut, tidak usah berduka cita,"
	   ialah bahwa mereka tidak perlu takut dalam menghadapi
	   hari kebangkitan, juga mereka tidak usah bersedih hati
	   akan kehidupan dunia yang ditinggalkannya dalam
	   menghadapi pahala dan kenikmatan abadi dari Tuhan. Dalam
	   hal ini selanjutnya Ibn Jarir mengatakan, bahwa ayat ini
	   ditujukan kepada orang Nasrani yang telah mengajak Salman
	   al-Farisi menganut agama mereka. Salah seorang dari
	   mereka juga mengatakan kepada Salman bahwa kelak akan
	   muncul nabi di negeri Arab dengan menunjukkan sekali akan
	   tanda-tanda kenabiannya itu. Dinasehatinya bahwa kalau
	   nanti sampai ia mengalami supaya dia pun menjadi
	   pengikutnya. Setelah Salman masuk Islam dan hal ini
	   disampaikannya kepada Nabi, Nabi berkata: "Salman, mereka
	   itu penghuni neraka." Hal ini sangat berkesan sekali pada
	   Salman. Maka turunlah ayat ini "Orang-orang yang berirnan
	   dari pengikut-pengikut Yahudi," dan seterusnya. Ada lagi
	   yang berpendapat bahwa Tuhan telah menghapus ayat
	   tersebut dengan firmanNya: "Barangsiapa menerima agama
	   selain Islam ia tidak akan diterima." Tetapi Ibn Jarir
	   menambahkan: "Apa yang kita sebutkan menurut penafsiran
	   yang pertama itu lebih mirip dengan keadaan wahyu menurut
	   lahirnya saja, sebab Tuhan tidak mengkhususkan ganjaran
	   itu atas perbuatan baik, dengan yang sebagian beriman dan
	   yang lain tidak. Predikat dengan kata-kata 'Orang yang
	   beriman kepada Allah dan hari kemudian' meliputi semua
	   yang disebutkan dalam ayat pertama itu. Barangkali dapat
	   juga disebutkan - untuk memperkuat pendapat Ibn Jarir
	   mengenai ulasan ayat "Barangsiapa menerima agama selain
	   Islam, ia tidak akan diterima," - bahwa itu ditujukan
	   kepada orang-orang Islam yang memilih agama lain setelah
	   mereka dilahirkan secara Islam atau sesudah beriman
	   kepada ajaran Islam. Sebaliknya yang dilahirkan tidak
	   sebagai Muslim, ajakan dan ajaran Islam tidak sampai
	   kepadanya seperti apa adanya, maka halnya sama dengan
	   mereka yang sebelum datangnya kerasulan Muhammad atau
	   yang semasa dengan itu tapi belum mengetahui tentang
	   ajaran itu dengan sebenarnya. [Lihat tafsir at-Tabarr
	   (Jami'l Bayan) Jilid Satu hal. 253 - 257].
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1