Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6 ]

	2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM                       (2/6)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Ilmu   ini  tidak  seharusnya  akan  menghentikan  orang  dari
	memikirkan hari kemudian mereka serta berusaha  sekuat  tenaga
	mengikuti  jalan  yang benar dan menghindarkan diri dari jalan
	yang sesat. Ilmu Allah itu  buat  mereka  masih  gaib.  Tetapi
	akhirnya  mereka  akan  sampai juga kepada kebenaran sekalipun
	agak lambat. Tuhan telah menetapkan  sifat  kasih  sayang  itu
	dalam  DiriNya.  Ia  selalu menerima taubat hamba-Nya yang mau
	bertaubat dan  sudah  banyak  dosa  yang  diampuniNya.  Selama
	rahmat  Tuhan  itu  meliputi  segalanya,  manusia  tidak perlu
	berputus asa akan memperoleh jalan yang  benar,  asal  ia  mau
	merenungkan dan memikirkan alam semesta ini. Orang tidak perlu
	berputus asa dari rahmat Tuhan kalau renungannya itu  akhirnya
	akan mengantarkannya ke jalan Allah. Manusia yang celaka ialah
	yang tidak mengakui sifat manusianya, dan merasa dirinya sudah
	terlampau  besar untuk memikirkan dan merenungkan hal-hal yang
	akan mengantarkan dirinya kepada petunjuk Tuhan. Mereka itulah
	orang-orang  yang  hendak  menentang Tuhan, bukan mengharapkan
	beroleh rahmat Tuhan. Jantung mereka oleh Tuhan sudah ditutup,
	mereka  yang  akan menjadi penghuni neraka, yang akan mendapat
	tempat yang paling celaka.
 
	Apakah Orientalis-orientalis itu sudah melihat  arti  jabariah
	Islam  yang  begitu  tinggi,  begitu luas jangkauannya? Apakah
	mereka melihat bahwa anggapan mereka itu memang sangat  lemah,
	yang  menduga bahwa jabariah Islam itu menyuruh orang berpeluk
	lutut tanpa usaha  atau  mau  menerima  hidup  hina  atau  mau
	menyerah  begitu  saja?  Disamping semua itu ajaran ini selalu
	memberikan harapan,  bahwa  pintu  rahmat  dan  taubat  selalu
	terbuka  bagi  barangsiapa yang mau bertaubat. Apa yang mereka
	duga bahwa ajaran ini menyuruh tiap Muslim  menganggap  setiap
	keuntungan  dan malapetaka yang menimpa dirinya sebagai takdir
	yang sudah ditentukan Tuhan dan oleh karenanya ia  harus  diam
	saja,  menerima  segala bencana dan kehinaan itu dengan sabar,
	maka semua itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya dari ajaran
	jabariah  ini,  yang mengajar orang supaya selalu berjuang dan
	berusaha untuk memperoleh kerelaan Allah, untuk selalu berhati
	teguh  sebelum  tawakal  kepada  Allah.  Apabila  orang  belum
	berhasil mendapat sukses sekarang, hendaknya terus ia berusaha
	kalau-kalau  besok  ia  berhasil.  Harapannya yang selalu pada
	Tuhan agar langkahnya mendapat bimbingan ke arah  yang  benar,
	agar  mendapat  pengampunan dari segala dosa, adalah pendorong
	yang paling utama untuk berpikir  dan  berusaha  terus-menerus
	dalam  mencapai  tujuan  menurut  kehendak Allah. KepadaNya ia
	menyembah dan kepadaNya pula ia  meminta  pertolongan.  Tempat
	orang  mengharapkan petunjuk batin, dan ke sana pula segalanya
	akan kembali.
 
	Sungguh besar kekuatan  yang  dibangkitkan  oleh  ajaran  yang
	tinggi  ini  kedalam  jiwa  manusia!  Sungguh  luas  jangkauan
	harapan yang dibukakan itu. Kita  terbimbing  kepada  kebaikan
	selama  apa yang kita kerjakan memang karena Allah. Kalau kita
	sampai disesatkan oleh setan, taubat kita  pun  akan  diterima
	selama  pikiran  kita dapat mengalahkan nafsu kita dan membawa
	kita kembali ke  jalan  yang  lurus.  Jalan  lurus  ini  ialah
	undang-undang  Tuhan dalam ciptaanNya, undang-undang yang akan
	menjadi penyuluh kita dengan segenap hati  dan  pikiran  kita,
	serta  dengan  permenungan  kita  akan  segala yang diciptakan
	Tuhan. Dan kita pun mulai berusaha mengenal semua rahasia alam
	itu.
 
	Akan  tetapi,  apabila  sesudah itu masih ada orang yang sesat
	dan mempersekutukan Tuhan, masih ada orang yang mau  melakukan
	kerusakan  di  muka  bumi ini, masih ada yang mau menutup mata
	dari segala arti persaudaraan, maka  itu  adalah  contoh  yang
	diberikan  Tuhan  kepada manusia guna memperlihatkan kekuasaan
	Tuhan sehingga yang demikian itu kelak menjadi  suatu  teladan
	buat  mereka.  Inilah keadilan dan rahmat Tuhan kepada seluruh
	umat  manusia.  Orang  tidak  akan  mencegah  atau   membatasi
	melakukan  semua  itu.  Tetapi  hukuman  yang akan diterimanya
	sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
 
	Akan tetapi, buat apa  manusia  berpikir,  buat  apa  bekerja,
	kalau maut itu memang selalu mengintai mereka! Bila ajal sudah
	sampai sesaat pun tak dapat diundurkan  atau  dimajukan.  Buat
	apa  manusia  berpikir  dan  buat apa pula bekerja kalau orang
	yang bahagia sudah ditentukan lebih dulu  akan  jadi  bahagia,
	dan yang sengsara akan jadi sengsara?
 
	Ini   adalah   pertanyaan   ulangan  sengaja  jawabannya  kita
	kemukakan supaya dapat kita lihat masalah ketentuan  ajal  ini
	dari  segi  lain:  Apa  yang sudah ditentukan Tuhan lebih dulu
	ialah undang-undang alam sejak sebelum alam itu diciptakan dan
	sebelum  difirmankan  kepadanya  'Jadilah'! maka ia pun jadi.'
	Dalam melukiskan ini tak ada  yang  lebih  tepat  dari  firman
	Allah  ini "Tuhan kamu telah menetapkan sifat kasih sayang itu
	dalam DiriNya." Ini  berarti  bahwa  kasih  sayang  itu  sudah
	menjadi  sifat  Tuhan  dan menjadi salah satu undang-undangNya
	dalam alam semesta. Tak ada suatu  kewajiban  yang  diharuskan
	terhadap  DiriNya.  Kewajiban memang tidak seharusnya ada atas
	Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini Allah berfirman:
 
	"Kami tiada akan menjatuhkan  siksaan  sebelum  Kami  mengutus
	seorang rasul."
 
	Apabila  ada suatu golongan yang sesat dan kepada mereka Tuhan
	tidak mengutus seorang rasul, maka undang-undang Tuhan  disini
	berlaku  -  tiada  seorang  dari mereka akan dijatuhi siksaan.
	Buat setiap orang yang beriman,  tanda-tanda  kebesaran  Tuhan
	dalam  alam  ini  sudah  wajar  sekali,  bahwa  Tuhanlah  yang
	menciptakan alam. Apabila Tuhan sudah mengutus  seorang  rasul
	kepada   suatu  golongan,  kemudian  berlaku  hukum  alam  dan
	kehendak Tuhan atas golongan itu, yaitu bahwa  setelah  diberi
	petunjuk  ada  orang  dari  golongan tersebut yang masih tetap
	mempertahankan kesesatannya, maka orang yang telah  menganiaya
	dirinya sendiri itu akan menjadi contoh buat orang lain.

	Sungguh  naive  sekali untuk mengatakan bahwa orang yang telah
	sesat  ini  diperlakukan  tidak  adil  karena  telah  dijatuhi
	hukuman  atas  kesesatannya, padahal kesesatan demikian memang
	sudah termaktub lebih dulu (ditentukan) terhadap dirinya. Kita
	mengatakan  naive  untuk  tidak  mengatakan merendahkan Tuhan,
	sebab jalan pikiran yang paling tepat akan  mengatakan  kepada
	kita,  bahwa  barangsiapa  yang  sesat,  ia  telah  menganiaya
	dirinya, bukan Tuhan yang menganiayanya.
 
	Untuk menjelaskan ini  cukup  kiranya  kita  mengambil  contoh
	seorang  ayah  yang  penuh kasih sayang mendekatkan api kepada
	anaknya   yang   masih   bayi.   Kalau   sianak   memegangnya,
	dijauhkannya  api  itu  seraya  memberi isyarat, bahwa api itu
	panas. Kemudian secara berulang-ulang  api  itu  didekatkannya
	lagi  kepada sibayi, tidak apa juga kalau jari bayi itu sampai
	terbakar sedikit supaya dialami sendiri  dalam  kenyataan  apa
	yang  sudah  diperingatkan  kepadanya  itu  dan  supaya selalu
	diingat selama hidupnya. Tetapi  bilamana  sesudah  dewasa  ia
	masih  mau  memegang  api  atau menceburkan diri ke dalam api,
	maka apa yang sudah menimpanya itulah ganjarannya, dan  jangan
	ayahnya  yang  disalahkan,  jangan  ada yang minta supaya sang
	ayah mengalanginya dari perbuatan itu.  Begitu  juga  misalnya
	seorang  ayah  yang sudah memberi petunjuk tentang bahaya judi
	atau minuman keras kepada anaknya. Maka  bilamana  sianak  itu
	kelak  sudah  dewasa  dan  dia  melanggar  juga apa yang sudah
	dilarang oleh ayahnya lalu karenanya ia mendapat bencana, maka
	bukanlah sang ayah yang kejam menganiayanya, sekalipun ia akan
	mampu mencegah dari berbuat demikian. Sang  ayah  sama  sekali
	bukan  kejam kalau membiarkan sianak sampai melanggar apa yang
	sudah menjadi larangan, dan ini merupakan contoh buat keluarga
	dan  saudara-saudaranya  yang  lain.  Begitu juga keluarga dan
	saudara-saudara yang  sampai  ratusan  atau  ribuan  jumlahnya
	dalam sebuah kota yang memang banyak godaannya karena pengaruh
	keadaan. Sudah  cukup  baik  dan  adil  sekali  kiranya  kalau
	konsekwensi  yang tak dapat dihindarkan menimpa mereka sebagai
	ganjaran terhadap perbuatan mereka  sendiri.  Itu  akan  dapat
	memperbaiki keadaan anggota masyarakat yang lain, meskipun apa
	yang telah menimpa anak-anak negeri  yang  aniaya  itu  sangat
	disesalkan.  Inilah  contoh keadilan yang paling sederhana dan
	berimbang  sehubungan  dengan  masyarakat  manusia  kita  ini,
	seperti  yang  sudah  kita  lukiskan  tadi.  Apalagi bila kita
	membayangkan dan membandingkan  dengan  alam  semesta,  dengan
	makhluk-makhluk yang berjuta-juta banyaknya dalam luasan ruang
	dan waktu yang tak terbatas! Apa yang sudah  menimpa  individu
	dan  masyarakat  -  karena perbuatannya sendiri - dalam bentuk
	yang sudah tidak mampu lagi khayal kita membayangkannya, semua
	itu  baru  merupakan  contoh  keadilan atau keseimbangan dalam
	bentuknya yang sangat sederhana.

	Kalau adanya kekejaman itu kita alamatkan  kepada  sang  ayah,
	karena  dia  membiarkan  anaknya yang sesat itu harus menerima
	ganjaran kesesatannya, pada hal  kesesatan  itu  memang  sudah
	termaktub  atas  dirinya, maka juga beralasan sekali kekejaman
	demikian itu kita alamatkan kepada diri kita sebab kita  telah
	membunuh  seekor kutu yang sangat mengganggu, dikuatirkan akan
	membawa  penularan  kepada  kita,  yang   ada   kalanya   akan
	menimbulkan bencana kepada masyarakat kalau ini sampai menular
	kepada orang lain. Atau karena kita membuang batu  dari  dalam
	kandung empedu atau ginjal kita sebab takut mengakibatkan rasa
	sakit atau penderitaan, atau kita memotong salah  satu  bagian
	anggota  tubuh  kita  karena dikuatirkan bagian yang rusak itu
	akan menjalar  ke  seluruh  badan  dan  akibatnya  akan  fatal
	sekali.  Kalau  semua  itu  tidak  kita lakukan, karena memang
	sudah termaktub atas diri kita, kemudian kita  menderita  atau
	sampai  mati  karenanya,  maka  yang  harus  disalahkan akibat
	bencana itu hanyalah diri  kita  sendiri,  sebab  Tuhan  sudah
	membukakan  pintu  penderitaan  buat  kita, sama halnya dengan
	pintu taubat yang  terbuka  buat  orang  yang  berdosa.  Hanya
	orang-orang  bodoh  sajalah  yang  rela  menerima  penderitaan
	demikian itu dengan anggapan bahwa itu memang sudah  termaktub
	atas dirinya. Ini karena kedunguan dan ketololan mereka saja.
 
	Sementara  kita  melihat  kutu yang dibunuh, batu yang dibuang
	dan dicabutnya anggota tubuh yang sakit sungguh adil sekali  -
	meskipun  dalam  hukum  alam  sudah termaktub, bahwa kutu akan
	mengganggu dan akan membawa penularan penyakit kepada manusia,
	batu  dan  anggota tubuh yang sakit akan mendesak bagian tubuh
	yang lain sehingga dapat membinasakan - dengan  melihat  semua
	ini  bagaimana  kita  tidak akan menganggapnya suatu kebodohan
	yang naive sekali, yang tak dapat diterima akal selain pikiran
	egoistis  yang  sempit,  yang  melihat keadilan itu hanya dari
	segi kita yang  subyektif  saja,  dan  tidak  menghubungkannya
	kepada   seluruh  masyarakat  insani,  atau  lebih  dari  itu,
	menghubungkannya kepada alam semesta?!
 
	Apa artinya kutu, batu dan manusia  dibandingkan  dengan  alam
	ini?  Bahkan  apa  artinya  seluruh  umat manusia dibandingkan
	dengan alam? Dengan khayal kita  yang  sempit,  kita  berusaha
	hendak  membayangkan  batas-batas alam yang luas, dengan ruang
	dan waktu, dengan awal dan akhir, dan dengan segala  kata-kata
	yang semacam itu. Sudah tak ada jalan lain lagi buat kita akan
	dapat membayangkan bentuk alam ini selain itu,  karena  memang
	sangat  terbatas  sekali,  sesuai  dengan pengetahuan yang ada
	pada kita, yang juga terbatas, dan masih sedikit  sekali.  Dan
	yang  sedikit ini sudah cukup memperlihatkan kepada kita bahwa
	undang-undang  Tuhan  dalam  alam  ialah  undang-undang   yang
	teratur    dan    seimbang,    yang   tak   berubah-ubah   dan
	bertukar-tukar.  Kita  sampai  mengetahui  undang-undang   ini
	karena   Tuhan   menganugerahkan   kepada   kita  pendengaran,
	penglihatan dan jantung, supaya kita melihat segala  keindahan
	ciptaanNya    ini,   dapat   memahami   alam   sesuai   dengan
	undang-undangNya itu. Maka  kita  pun  mengagungkan  kemuliaan
	Tuhan,  kita  berbuat  baik menurut yang diperintahkanNya. Dan
	berbuat baik atas dasar iman, buat mereka yang mengerti  ialah
	suatu manifestasi ibadat yang paling tinggi kepada Tuhan.

	Maut  ialah  akhir  hidup dan permulaan hidup. Oleh karena itu
	yang merasa takut mati hanya mereka yang menolak adanya  hidup
	akhirat   dan  merasa  takut  pada  kehidupan  akhirat  karena
	perbuatan mereka yang buruk selama dalam dunia.  Mereka  tidak
	ingin  mati  mengingat adanya perbuatan tangan mereka sendiri.
	Akan tetapi mereka yang  memang  sudah  bersedia  mati,  ialah
	orang-orang  yang  benar-benar beriman dan mereka yang berbuat
	kebaikan selama hidup di dunia. Seperti dalam firman Allah:
 
	"Dia Yang telah menciptakan Mati dan Hidup untuk menguji  kamu
	siapa  diantara  kamu  yang  lebih baik perbuatannya. Dia Maha
	Kuasa, Maha Pengampun." (Qur'an, 67: 2)
 
	Dan firmanNya lagi yang ditujukan kepada Nabi:
 
	"Kami tidak pernah menjadikan manusia sebelum engkau itu kekal
	selamanya.  Kalau engkau mati, apakah mereka akan hidup kekal?
	Setiap jiwa akan merasakan mati dan kamu akan Kami uji  dengan
	yang  buruk dan yang baik sebagai suatu cobaan, dan kamu kelak
	pun akan kembali kepada Kami." (Qur'an, 21: 34 - 35)
 
	"Perumpamaan  mereka  yang  dibebani  membawa  Kitab   Taurat,
	kemudian  tidak mereka bawa, sama seperti keledai yang membawa
	kitab-kitab besar. Buruk sekali perumpamaan  orang-orang  yang
	mendustakan  ayat-ayat  Tuhan  itu;  dan  Tuhan  tidak memberi
	petunjuk kepada orang-orang  yang  zalim.  Katakanlah:  'Wahai
	orang-orang yang menganut agama Yahudi, kalau kamu mendakwakan
	bahwa  kamu   sahabat-sahabat   Tuhan   diluar   orang   lain,
	nyatakanlah  keinginanmu  akan mati itu -jika benar-benar kamu
	jujur. Tetapi kamu tidak akan  pernah  menyatakan  keinginanmu
	itu,  karena perbuatan tangan mereka sendiri yang telah mereka
	lakukan. Tuhan Maha Mengetahui  akan  orang-orang  yang  zalim
	itu." (Qur'an, 62 :5 - 7)
 
	"Dialah  Yang  telah  mengambil jiwamu pada malam hari dan Dia
	mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang harinya. Kemudian
	kamu   dibangkitkan   kembali   supaya  waktu  tertentu  dapat
	dipenuhi. Sesudah itu  kepadaNya  juga  tempat  kamu  kembali.
	Kemudian   kepadamu   diberitahukanNya  apa  yang  telah  kamu
	kerjakan." (Qur'an, 6: 60)
 
	Inilah beberapa ayat yang sudah jelas sekali menolak apa  yang
	dikatakan  orang  bahwa  jabariah  Islam  itu  mengajar  orang
	bertopang dagu dan enggan berusaha. Tuhan menciptakan maut dan
	hidup  untuk  menguji  manusia,  siapa  daripada  mereka  yang
	melakukan perbuatan baik. Perbuatan dalam dunia dan balasannya
	sesudah  mati.  Mereka  yang tidak berusaha, tidak berjuang di
	muka bumi ini, tidak mencari  nafkah  sebagai  karunia  Tuhan;
	kalau  mereka tidak mau menafkahkan harta mereka; kalau mereka
	tidak mau  mengutamakan  sahabatnya  meskipun  mereka  sendiri
	dalam kekurangan, mereka telah melanggar perintah Tuhan.
 
	Sebaliknya,  bilamana  semua  itu  mereka lakukan dengan baik,
	perbuatan mereka akan diterima baik oleh Allah dan  pada  hari
	kemudian  mendapat  pahala  dan  balasan yang baik. Tuhan akan
	menguji kita dalam hidup kita ini dengan yang  baik  dan  yang
	buruk  sebagai  suatu cobaan. Dengan otak kita, kita juga yang
	dapat  membedakan  mana  yang  baik  dan  mana   yang   buruk.
	Barangsiapa  berbuat  baik  seberat  atom pun akan dilihatnya,
	barangsiapa  berbuat  keburukan   seberat   atom   juga   akan
	dilihatnya. Kalau apa yang sudah menimpa kita itu bukan karena
	sudah ditentukan Tuhan terhadap diri kita,  niscaya  itu  akan
	membuat  kita  lebih  tekun  melakukan  kebaikan untuk melihat
	hasil yang baik pula. Sesudah itu sama saja buat kita:  adakah
	Tuhan  akan menjadikan kita manusia yang kuat, yang masih giat
	bekerja, atau akan dikembalikan ke usia yang sudah pikun, yang
	sudah  tidak  dapat  kita  ketahui lagi apa yang dulunya sudah
	pernah kita ketahui. Kriterium  atau  ukuran  hidup  seseorang
	bukanlah  dari  jumlah tahun yang sudah ditempuhnya, melainkan
	dari perbuatan-perbuatan  baik  apa  yang  sudah  dilakukannya
	selama  itu, dan yang akan menjadi peninggalannya. Mereka yang
	sudah meninggal di jalan Tuhan (dalam berbuat kebaikan), dalam
	pandangan  Tuhan  mereka  hidup,  di  tengah-tengah  kita juga
	kenangan mereka tetap  hidup.  Berapa  banyak  nama-nama  yang
	tetap  kekal selama berabad-abad karena orang-osrang itu telah
	mengabdikan diri dan  segala  daya  upayanya  untuk  kebaikan,
	mereka  itu  berada  di  tengah-tengah  kita yang masih hidup,
	sungguh pun mereka telah berpulang sejak  ratusan  tahun  yang
	lalu.
 
	"Apabila sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan
	atau memajukannya barang sedikit pun juga."
 
	Inilah yang benar. Hanya ini yang sesuai  dengan  hukum  alam.
	Manusia   sudah   mempunyai  batas  waktu  yang  takkan  dapat
	dilampauinya. Sama halnya dengan  matahari  dan  bulan,  sudah
	mempunyai  waktu-waktu  gerhana  yang  tidak berubah-ubah, tak
	dapat dimajukan atau diundurkan. Waktu yang  sudah  ditentukan
	ini   lebih  mendorong  orang  untuk  berusaha  dan  melakukan
	perbuatan-perbuatan yang baik. Ia akan berusaha sekuat tenaga.
 
	Ia tidak tahu kapan ia akan menemui ajalnya. Bilamana ajal itu
	sampai  maka  balasannya  apa  yang  sudah  dikerjakannya.  Di
	hadapan kita setiap hari sudah ada  buktinya  bahwa  ajal  itu
	takdir  yang  tak  dapat dielakkan. Ada orang yang mati dengan
	tiba-tiba dan orang tidak tahu apa sakitnya.  Ada  orang  yang
	sakit,  yang  sudah  sekian puluh tahun menderita dan merintih
	melawan  penyakitnya  itu  sampai  ia  tua  serta  sudah   tak
	bertenaga  lagi.  Dari kalangan kedokteran dewasa ini ada yang
	berpendapat  bahwa  manusia  itu   dilahirkan   dalam   proses
	pembentukannya sudah ada benih yang menentukan hidupnya. Jarak
	waktu  yang  akan  ditempuh  oleh  benih  itu  untuk  mencapai
	tujuannya   yang  terakhir  dapat  pula  diketahui  asal  saja
	benihnya sendiri dapat kita ketahui. Tetapi  untuk  mengetahui
	benih  ini  bukan  soal yang begitu mudah. Adakalanya ia dalam
	bentuk fisik, tersembunyi dalam salah satu bagian dalam  tubuh
	-  bagian  yang  penting atau tidak penting - adakalanya dalam
	bentuk  psychis   dalam   pikiran   kita,   bertalian   dengan
	lapisan-lapisan   otak   yang   akan   mendorong   pihak  yang
	bersangkutan hidup berpetualang  dan  mau  menghadapi  bahaya,
	atau sebagai pemberani. Allah mengetahui belaka semua itu. Dia
	yang mengetahui saat kematian setiap manusia  itu  akan  tiba,
	menurut hukum alam, tanpa dapat diubah dan ditukar-tukar.

	Sebagai  tanda  kasih  sayang Tuhan, Ia tidak akan menjatuhkan
	siksaan sebelum mengutus seorang rasul  yang  akan  memberikan
	bimbingan   kepada  manusia  dalam  mencapai  Kebenaran  serta
	menjelaskan  pula  jalan  kebaikan  yang  harus   ditempuhnya.
	Sekiranya Tuhan akan menghukum manusia karena perbuatan mereka
	yang salah, niscaya takkan ada makhluk hidup di muka bumi  ini
	yang  akan ketinggalan. Tuhan menunda mereka sampai pada waktu
	tertentu sampai mereka dapat  mendengarkan  dan  mau  menerima
	ajakan  para rasul itu dan tidak sampai benar mereka terpesona
	oleh godaan hidup duniawi. Tuhan tidak mengutus para rasul itu
	dari   kalangan   raja-raja,   orang-orang  kaya,  orang-orang
	berpangkat atau dari  kalangan  orang  cerdik  pandai.  Mereka
	diutus  dari kalangan rakyat jelata. Nabi Ibrahim tukang kayu,
	ayahnya  pun  tukang  kayu.  Nabi  Isa  juga  tukang  kayu  di
	Nazareth.  Juga  tidak sedikit dari nabi-nabi itu yang tadinya
	penggembala   kambing,   termasuk   Nabi   penutup    Muhammad
	'alaihissalam.  Tuhan  mengutus  para rasul dari rakyat jelata
	itu untuk memperlihatkan bahwa  Kebenaran  itu  bukan  menjadi
	milik  orang-orang  kaya atau orang-orang kuat melainkan milik
	orang yang mencari Kebenaran demi kebenaran semata.  Kebenaran
	yang azali, yang abadi, ialah orang yang baru sempurna imannya
	apabila ia sudah dapat mencintai saudaranya seperti  mencintai
	dirinya sendiri.
	                                    			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1