Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6 ]

2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM  

Tantangan pihak Orientalis - 692; Irving dan jabariah - 693; Qur'an dan takdir - 695; Yang sesat merugikan diri sendiri - 703; Contoh dalam kehidupan pribadi - 704; Maut, akhir dan awal hidup - 705; Rasul-rasul Tuhan dari anak negerinya - 708; Pengertian filosofis dalam jabariah Islam - 710; Yang baik dan yang jahat - 713; Pintu taubat - 715; Evolusi rohani dalam kehidupan - 716; Mulanya, adalah kekerasan dan fanatisma - 718; Rasio dan iman tentang mujizat - 720; Harta dan anak-anak keturunan serta perbuatan baik yang kekal - 724; Muslimin berpikir jadi terbalik. Bagaimana? - 725; Pendapat Syaikh Muhammad Abduh - 725; Pandangan Muslimin yang kemudian - 729; Islam-Kristen dan jalan tengah - 730; Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang - 731; Islam tidak menggunakan pedang - 731; Sebuah Liga umat Islam - 733; Jiwa perdamaian di dunia - 735; Toleransi yang tinggi dasar perdamaian - 736; Keluhuran hidup Muhammad - 738.

	                   
 
	WASHINGTON IRVING  sebagai  penulis  terkemuka  telah  menjadi
	kebanggaan  Amerika  Serikat terhadap bangsa-bangsa lain dalam
	abad ke-19. Dia telah menulis buku tentang sejarah hidup Nabi.
	Dalam   buku  ini  dibentangkannya  sejarah  Nabi  itu  dengan
	kemampuan retorika yang cukup  besar  sehingga  tidak  sedikit
	bagian-bagian  yang  dapat  memikat hati pembacanya. Disamping
	kemampuannya  itu  kadang  terlihat  juga  kejujurannya,  tapi
	kadang tampak pula tidak toleran dan penuh prasangka. Buku ini
	disudahi dengan sebuah penutup  yang  menjelaskan  pokok-pokok
	ajaran  rukun  Islam,  serta  apa yang dikiranya sumber-sumber
	yang berdasarkan sejarah yang telah dijadikan landasan  ajaran
	itu,  didahului dengan soal keimanan kepada Tuhan, kepada para
	malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kemudian.  Kemudian
	katanya:
 
	"Rukun  keenam dan terakhir daripada rukun akidah Islam (rukun
	iman) ialah  jabariah.1  Sebagian  besar  kemenangan  Muhammad
	dalam  perang  didasarkan  kepada ajaran ini. Segala peristiwa
	yang terjadi dalam hidup  sudah  ditentukan  lebih  dulu  oleh
	takdir  Tuhan,  sudah  tertulis  dalam  'Papan Abadi'2 sebelum
	Tuhan menciptakan alam ini, dan bahwa nasib dan  ajal  manusia
	semua sudah ditentukan, sudah tak dapat dielakkan lagi. Dengan
	cara apa pun menurut  kemampuan  usaha  dan  pikiran  manusia,
	sudah  tak  dapat  dimajukan  lagi.  Dengan keyakinan ini kaum
	Muslimin terjun  ke  medan  perang  tanpa  merasa  takut  sama
	sekali.  Kalau mati dalam pertempuran demikian ini sama dengan
	mati syahid yang akan langsung masuk surga, maka mereka  yakin
	salah satu ini pasti akan mereka capai -syahid atau menang.

	"Ajaran  yang  menentukan,  bahwa manusia tidak berdaya dengan
	kemauannya yang bebas itu untuk menghindari dosa atau  selamat
	dari  siksa, sebagian kaum Muslimin menganggapnya bertentangan
	dengan keadilan dan rahmat Tuhan.  Beberapa  golongan  timbul.
	Mereka  berusaha  dan  terus  berusaha  hendak meringankan dan
	memberi penjelasan mengenai  ajaran  yang  membingungkan  ini.
	Tetapi jumlah yang masih sangsi tidak banyak. Mereka ini tidak
	termasuk golongan Sunnah (orthodoks).
 
	"Muhammad mendapat inspirasi tentang  ajaran  ini  tepat  pada
	waktunya.  Memang ini ilham yang luar biasa terjadi pada waktu
	yang tepat sekali. Kejadian ini  persis  sesudah  Perang  Uhud
	yang   malang   itu,   yang   tidak   sedikit   makan   korban
	sahabat-sahabatnya, termasuk Hamzah pamannya.  Ketika  itulah,
	tatkala   kesedihan   dan  kegelisahan  sedang  mencekam  hati
	sahabat-sahabat   yang    mengelilinginya,    peraturan    ini
	dikeluarkan -- bahwa manusia tak dapat mengelak dari kematian,
	bila ajal sudahm tiba, sama saja di tempat tidur atau di medan
	perang ...
 
	"Kiranya orang takkan dapat melukiskan suatu ajaran yang lebih
	tepat dari ini untuk mendorong sekelompok tentara  yang  bodoh
	tidak  berpengalaman itu menyerbu secara buas ke medan perang.
	Mereka sudah diyakinkan, kalau hidup mendapat rampasan perang,
	kalau  mati  mendapat  surga!  Karena  ajaran ini juga tentara
	Muslimin sudah hampir tak dapat dikalahkan lagi.  Akan  tetapi
	ini   juga  yang  mengandung  racun  yang  akan  menghancurkan
	kekuasaan  Islam  itu.  Begitu  pengganti-pengganti  Nabi  itu
	berhenti  sebagai penakluk, begitu mereka menyarungkan kembali
	pedangnya untuk selama-lamanya, ajaran jabariah ini pun  mulai
	pula   mengerumit  (menggerogoti)  untuk  merusak.  Urat-saraf
	Muslimin sudah  peka  terhadap  perdamaian,  juga  sudah  peka
	terhadap kekayaan materi yang dibolehkan oleh Qur'an, dan yang
	merupakan pemisahan  yang  tajam  antara  prinsip-prinsip  ini
	dengan  agama  Kristen,  agama  suci dan kasih sayang. Seorang
	Muslim yang ditimpa  kemalangan  menganggapnya  sebagai  nasib
	yang  sudah  ditakdirkan Tuhan dan tak dapat dihindarkan, jadi
	harus tunduk  dan  menerima,  selama  segala  daya  upaya  dan
	pikiran manusia memang tidak berguna.
 
	"Rumus   yang   berbunyi:   "Tolonglah   dirimu,   Tuhan  akan
	menolongmu"  dipandang  oleh  pengikut-pengikut  Muhammad  tak
	dapat  dilaksanakan, bahkan sebaliknya yang mereka ambil. Dari
	sanalah salib berhasil  mengikis  bulan  sabit.  Adanya  bulan
	sabit  ini  sampai  sekarang  di Eropa - yang pada suatu waktu
	pernah mencapai  kekuatan  yang  luar  biasa  hanyalah  karena
	perbuatan  negara-negara  Kristen yang besar-besar; atau lebih
	tepat lagi:  karena  persaingan  mereka  sendiri.  Bertahannya
	bulan  sabit  itu  barangkali  untuk  menjadi bukti yang baru,
	bahwa: "barang  siapa  menggunakan  pedang  akan  binasa  oleh
	pedang."
 
	Demikianlah  kata-kata  Washington  Irving,  orang yang dengan
	studinya itu belum memungkinkan ia dapat menangkap jiwa  Islam
	dan   dasar  kebudayaannya.  Salah  sekali  pendapatnya  dalam
	mengartikan soal al-qadza wal-qadar (kadar atau takdir)  serta
	soal  ajal itu. Barangkali dia masih dapat dimaafkan mengingat
	beberapa buku Islam yang dijadikan bahan bacaannya membuat dia
	berpendirian  demikian  itu.  Tetapi  sebaliknya Qur'an, tidak
	dapat diukur dengan  kalimat  "Tolonglah  dirimu,  Tuhan  akan
	menolongmu"  dari  segi  kuatnya  dorongan Qur'an supaya orang
	percaya  kepada  diri  sendiri,  dan  bahwa  manusia  mendapat
	imbalan  sesuai  dengan  perbuatan  serta niat yang melahirkan
	perbuatan itu.
 
	"Katakan: 'Wahai umat  manusia!  Kebenaran  dari  Tuhan  sudah
	datang.  Barang siapa menurut jalan yang benar, maka kebenaran
	itu buat kebaikan dirinya, dan barang siapa menjadi sesat, dia
	sesat karena dirinya juga'." (Qur'an, 10: 108.)

	"Barang  siapa  menurut  jalan  yang benar, maka kebenaran itu
	buat kebaikan dirinya; dan barang  siapa  menjadi  sesat,  dia
	sesat  karena  dirinya  juga. Seseorang tidak dapat memikulkan
	beban orang lain, dan  Kami  tiada  akan  menjatuhkan  siksaan
	sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Qur'an, 17: 15).
 
	"Barang   siapa   menghendaki  keuntungan  akhirat  akan  Kami
	tambahkan  keuntungan   itu,   dan   barangsiapa   menghendaki
	keuntungan  dunia akan Kami berikan juga. Tetapi di akhirat ia
	tidak mendapat bagian." (Qur'an, 42: 20)
 
	"Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau mereka
	tidak mengubah nasib mereka sendiri." (Qur'an, 13: 11.)
 
	Dan contoh serupa ini banyak sekali dalam Qur'an. Jelas sekali
	ia menunjukkan bahwa manusia  mendapat  pahala  atau  mendapat
	siksa  sumbernya pada kehendak dan perbuatannya sendiri. Tuhan
	mendorong manusia berusaha dan mencari rejeki  untuk  makannya
	di  muka  bumi  ini.  Mereka  disuruh  berjuang di jalan Allah
	dengan ayat-ayat yang cukup jelas dan kuat seperti yang  sudah
	kita  baca  sebagian  dalam  buku  ini.  Ini sama sekali tidak
	sesuai dengan apa yang dikatakan Irving dan  beberapa  penulis
	Barat,  bahwa  Islam agama tawakal, serba tak acuh dan pasrah,
	mengajar pemeluknya bahwa  mereka  tidak  berkuasa  atas  diri
	mereka  sendiri  untuk  mendatangkan  kebaikan atau keburukan,
	jadi tak ada gunanya mereka berusaha  dan  berkehendak,  sebab
	usaha  dan  kehendaknya  tergantung kepada takdir Tuhan. Kalau
	kita berusaha dan ditakdirkan takkan memberi hasil atas  usaha
	kita, tidak akan berhasil juga. Sebaliknya kalaupun kita tidak
	berusaha tapi sudah ditakdirkar; kita akan menjadi orang kaya,
	orang  kuat  atau  menjadi  orang  beriman, kita pun akan jadi
	demikian tanpa ada usaha atau kerja. Ayat-ayat yang sudah kita
	kemukakan  itu menolak dan bertentangan sekali dengan pendapat
	ini.
 
	Mereka-yang menghubungkan sikap  tawakal  kaum  Muslimin  pada
	masa-masa belakangan ini berpegang pada ayat terakhir, seperti
	firman Tuhan ini:
 
	"Nyawa yang harus menemui kematiannya,  hanyalah  dengan  ijin
	Tuhan, sebab waktunya sudah ditentukan." (Qur'an, 3: 145).
 
	"Setiap  umat sudah mempunyai waktunya tertentu. Apabila sudah
	tiba  waktunya,  mereka   takkan   dapat   mengundurkan   atau
	memajukannya barang sedikit pun juga." (Qur'an, 7: 34).
 
	"Setiap peristiwa yang terjadi di bumi dan pada dirimu sendiri
	sudah ditentukan terlebih dulu  sebelum  Kami  menciptakannya.
	Buat Tuhan hal semacam ini mudah sekali." (Qur'an, 57: 22).
 
	"Katakan:  Takkan  ada  yang  menimpa  kita, kalau tidak sudah
	ditentukan Tuhan  kepada  kita.  Dialah  Pelindung  kita,  dan
	orang-orang  yang  beriman  kepadaNya-lah mempercayakan diri."
	(Qur'an, 9: 51)
 
	Kalau pun itu yang menjadi pegangan mereka, sebenarnya  mereka
	tidak  dapat  menangkap arti ayat-ayat itu dan yang semacamnya
	serta hubungan  erat  yang  digambarkan  antara  hamba  dengan
	Tuhannya.  Mereka  sudah  terdorong  dengan dugaan bahwa Islam
	mengajarkan  orang  pasrah;  padahal  yang  sebenarnya   Islam
	menyuruh  orang  berjuang  dan bersedia mati sebagai pahlawan,
	mempertahankan   harga   diri   dan   kehormatannya,    dengan
	kebudayaannya   yang  dibangun  atas  dasar  persaudaraan  dan
	kasih-sayang.
 
	Sebenarnya ayat-ayat itu dan yang  sejalan  dengan  itu  telah
	melukiskan  suatu kenyataan ilmiah yang telah diakui pula oleh
	sebagian besar filsuf-filsuf dan sarjana-sarjana Barat  dengan
	diberi nama mazhab jabariah (fatalisma) juga dan menghubungkan
	pengertian jabr (nasib) ini kepada  hukum  alam  dan  sejumlah
	kehidupan   biologis   yang   ada,  sebaliknya  daripada  akan
	menghubungkannya kepada kehendak dan kekuasaan  Allah.  Mazhab
	yang  sudah diakui oleh sebagian besar filsuf-filsuf Barat ini
	tidak lebih puas, tidak lebih toleran, juga tidak lebih sesuai
	untuk  umat  manusia  daripada  mazhab filsafat yang disarikan
	dari Qur'an Suci itu, seperti yang akan kita lihat nanti.
 
	Jabariah  ilmiah  (scientific  determinism)  ini  berpendapat,
	bahwa  ikhtiar3  yang  ada pada kita dalam kehidupan ini ialah
	ikhtiar nisbi dengan nilai yang kecil sekali, sedang  pendapat
	tentang  ikhtiar  nisbi  ini  lebih  banyak  bergantung kepada
	keperluan hidup sosial dari segi  praktisnya  daripada  kepada
	kenyataan ilmiah atau filsafat. Kalau mazhab ikhtiar ini tidak
	dijadikan  suatu  keputusan,  akan   sulit   juga   masyarakat
	menemukan   suatu   patokan   sebagai   dasar   hukumnya   dan
	batas-batasnya, akan menyusun suatu pola kehidupan dan tingkah
	laku setiap orang yang sudah ditentukan hukumannya itu, dengan
	suatu hukuman pidana atau perdata.
 
	Memang benar, bahwa di kalangan sarjana-sarjana dan  ahli-ahli
	hukum  itu  ada juga yang tidak mendasarkan patokan hukumannya
	kepada pengertian jabr dan  ikhtiar  (nasib  dan  usaha,  atau
	sengaja  dan  tidak  sengaja),  melainkan  kepada  reaksi yang
	terjadi yang sudah merupakan pegangan masyarakat  yang  hendak
	menjaga eksistensi mereka, dan yang juga berlaku buat individu
	yang hendak menjaga eksistensinya pula. Buat  masyarakat  yang
	berpegang  kepada  reaksi  ini  sama saja, apakah individu itu
	bertindak  atas  kemauan  sendiri  atau  tidak  atas   kemauan
	sendiri.  Akan  tetapi  tindakan secara ikhtiar (dengan sadar)
	ini pada sebagian besar ahli-ahli hukum tetap merupakan  dasar
	dalam  menjatuhkan hukuman. Sebagai alasannya ialah orang yang
	sudah kehilangan kebebasan atau kemauan, seperti  orang  gila,
	anak  kecil  atau orang dungu, ia tidak dikenakan hukuman atas
	perbuatannya seperti terhadap orang dewasa  yang  sudah  dapat
	membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
 
	Kalau   pertimbangan-pertimbangan  praktis  dalam  yurispruden
	perundang-undangan ini kita kesampingkan dan  kita  hanya  mau
	mencurahkannya kepada kenyataan ilmiah dan filsafat, maka kita
	melihat jabariah inilah kenyataannya. Tak ada orang yang dapat
	memilih  pada  zaman  mana ia mau dilahirkan, pada bangsa apa,
	pada lingkungan mana, juga ibu bapa yang siapa, dengan  segala
	kekayaan   dan  kemiskinannya,  dengan  segala  kelebihan  dan
	kekurangannya. Juga bukan karena dia pria atau  wanita,  bukan
	karena  peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya - dalam
	banyak hal - yang akan menjadi faktor  utama  dalam  membentuk
	dan  mengarahkan  segala  pekerjaan dan kehidupannya. Mengenai
	mazhab ini Hippolyte Taine  menyatakan:  "Manusia  itu  produk
	lingkungannya."
 
	Tidak  sedikit kalangan sarjana dan para filsuf yang mendukung
	kenyataan ini, sampai-sampai  mereka  mengatakan  bahwa  kalau
	dunia  kita  dapat  mencapai pengetahuan mengenai segala hukum
	dan rahasia hidup manusia ini seperti pengetahuan  yang  sudah
	diketahuinya  dalam  hukum  tata surya, tentu orang akan dapat
	menentukan nasib setiap individu atau masyarakat dengan  pasti
	sekali,  seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli ilmu falak yang
	secara  pasti  sudah   dapat   menentukan   waktu-waktu   akan
	terjadinya  gerhana  matahari  atau bulan. Namun begitu, tidak
	ada orang baik di Barat atau di Timur - yang mengatakan  bahwa
	mazhab  jabariah  ini merintangi orang dalam usahanya mencapai
	sukses dalam kehidupan,  atau  akan  merintangi  bangsa-bangsa
	untuk  terjun  ke  tempat  yang paling baik, juga tak ada yang
	mengatakan bahwa bangsa-bangsa yang menganut mazhab  ini  akan
	mengalami   kemunduran.   Sungguh   pun  begitu  namun  mazhab
	fatalisma di Barat  tidak  memberikan  dorongan  kepada  orang
	supaya  berusaha  dan  bekerja  seperti  yang  terdapat  dalam
	ayat-ayat  Qur'an  tentang  tanggung  awab  manusia   terhadap
	pekerjaannya.
 
	"Dan  bahwa  manusia  hanya memperoleh apa yang diusahakannya.
	Dan hasil usahanya itu akan terlihat juga." (Qur'an 53:  39  -
	40)
 
	Bukankah  satu  ini  saja  sudah  cukup  tepat sebagai argumen
	terhadap  prasangka  pihak  Orientalis  yang   menduga   bahwa
	jabariah  Islam  itu  membawa  bangsa-bangsa  yang menganutnya
	menjadi mundur?
 
	Bahkan jabariah Islam ini lebih besar memberi  dorongan  orang
	berusaha  untuk kebaikan dan untuk mendapatkan hasil rejekinya
	dari pada fatalisma di Barat. Kedua mazhab  ini  memang  sudah
	bertemu  bahwa  dalam  alam ini sudah ada hukum-hukum yang tak
	dapat diubah atau diganti, dan semua yang ada dalam  alam  ini
	tunduk   kepada  hukum-hukum  tersebut.  Juga  manusia  tunduk
	seperti yang lain yang ada dalam alam  ini.  Tetapi  fatalisma
	ini  menundukkan  orang  kepada  lingkungannya  dan  cara yang
	turun-temurun yang sudah tak dapat lagi dihindari dan  membuat
	iradat  manusia  harus  tunduk kepada lingkungannya. Dalam hal
	ini  sudah  tak  ada  jalan  lagi  ia  dapat  mengubah   diri.
	Sebaliknya  Qur'an  mengajak iradat setiap individu atas dasar
	rasio menuju ke arah yang lebih baik, dan diingatkannya  bahwa
	bilamana  hasil  yang  baik  itu sudah ditentukan buat mereka,
	maka itu adalah atas usaha mereka  sendiri  dan  mereka  tidak
	akan  mendapat  hasil  yang  baik  dengan seenaknya saja tanpa
	usaha.
 
	"Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau mereka
	tidak mengubah nasib mereka sendiri." (Qur'an, 13: 11)
 
	Setelah  Tuhan  memberi  petunjuk  kepada  umat manusia dengan
	kitab-kitab suci  mengenai  apa  yang  harus  mereka  lakukan,
	setelah  kepada para nabi dan rasul dibukakan jalan yang benar
	dan disuruh memikirkan dan merenungkan segala  isi  dan  hukum
	alam  serta  kekuasaan  Tuhan,  maka  dengan  kemampuan mereka
	sendiri, mereka akan memikirkan  dan  merenungkan  semua  itu.
	Orang  yang sudah beriman akan hal ini dan mengarahkan diri ke
	arah itu, tentu ia akan memperoleh apa yang  sudah  ditentukan
	Tuhan.   Apabila   sudah  ditentukan  dia  akan  mati  membela
	kebenaran atau kebaikan  seperti  diperintahkan  Allah,  tidak
	perlu  ia kuatir. Dia dan yang sebangsanya akan tetap hidup di
	sisi Tuhan. Manalah anjuran yang lebih besar dari  ini  supaya
	orang  berinisiatif, berusaha dan berkemauan?! Dan dimana pula
	tempatnya sikap serba tak acuh seperti diduga oleh Irving  dan
	Orientalis-orientalis lain itu?
 
	Sikap  serba tak acuh sama sekali bukan tawakal4 kepada Allah.
	Dengan bertawakal kepada Allah tidak mungkin orang hanya  akan
	bertopang  dagu  berpeluk  lutut  dan meninggalkan segala yang
	diperintahkan Tuhan. Bahkan sebaliknya, ia harus bekerja keras
	untuk itu, seperti dalam firman Allah:
 
	"Kalau  engkau  telah  berketetapan  hati,  tawakallah  kepada
	Allah."
 
	Jadi ketetapan hati dan iradat ini harus  mendahului  tawakal.
	Kita  sudah  berketetapan  hati,  lalu  kita bertawakal kepada
	Allah, kita mencapai tujuan kita berkat  itu  juga.  Apa  yang
	patut  kita  tuju  hanya Dia semata, kita patut bersikap takut
	hanya kepadaNya semata - kita akan mencapai semua  hasil  yang
	baik  itu  berdasarkan  undang-undang  Tuhan  dalam  alam ini.
	Undang-undang   Tuhan   takkan   berubah   dan   tidak    akan
	berganti-ganti.  Hasil yang baik ini yang harus menjadi tujuan
	kita sampai usaha kita mencapai sukses, atau  kita  akan  mati
	karenanya. Hasil usaha baik yang kita capai adalah dari Tuhan.
	Segala bencana yang menimpa kita karena perbuatan kita sendiri
	dan  karena  kita  menempuh  jalan  bukan ke jalan Allah. Jadi
	segala kebaikan dari Tuhan dan segala kesesatan dan  kejahatan
	dari perbuatan setan.
 
	Tentang  kekuasaan  Tuhan mengetahui segala yang terjadi dalam
	alam sebelum Tuhan menciptakan  alam,  dan  bahwa  Tuhan  Maha
	Agung
 
	"... tiada yang tersembunyi padaNya barang seberat atom pun di
	langit dan di bumi, tiada yang lebih besar  atau  lebih  kecil
	dari  itu,  semua  sudah dalam Kitab yang nyata," (Qur'an, 34:
	3.)
 
	berarti bahwa Tuhan telah menentukan beberapa hukum dalam alam
	ini  yang  tak  dapat  diubah-ubah dan pengaruhnya harus lahir
	pula dari sana.
 
	Apabila sarjana-sarjana berpendapat seperti  yang  sudah  kita
	kemukakan  tadi, bahwa bila ilmu yang positif dapat mengetahui
	rahasia-rahasia   dan   undang-undang    kehidupan    manusia,
	mengetahui  apa  yang  sudah  ditentukan  setiap  individu dan
	masyarakat, seperti halnya dalam menentukan  waktu-waktu  akan
	terjadinya  gerhana  matahari  dan bulan, maka keimanan kepada
	Allah  tidak  bisa   lain   berlaku   juga   keimanan   kepada
	kekuasaanNya   yang  mengetahui  segalanya  sebelum  alam  ini
	diciptakan. Apabila  seorang  arsitek  bangunan  yang  membuat
	sebuah    rencana   rumah   atau   gedung   serta   menantikan
	dilaksanakannya rencana itu, dapat  mengetahui  sampai  berapa
	lama  kekuatan  bangunan itu dan bagian-bagiannya yang mungkin
	akan  bertahan  selama  beberapa  tahun  lagi;  demikian  juga
	sarjana-sarjana  ekonomi  berpendapat, bahwa hukum ekonomi pun
	memberi kepastian kepada mereka untuk mengetahui adanya krisis
	atau  kemakmuran  yang  akan  terjadi  dalam  kehidupan  dunia
	ekonomi, maka memperdebatkan ilmu Tuhan mengenai  segala  yang
	kecil  dan  yang  besar yang menjadi ciptaanNya dalam alam ini
	sifatnya akan sangat merendahkan Tuhan,  suatu  hal  yang  tak
	dapat diterima oleh akal sehat.
 
	                                    			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1