[ Keutamaan & Celaan | Rukun & Syarat | Adab Seorang Da'i | Da'wah Kepada Bapak | Da'wah Kepada Penguasa | Kemungkaran ]
Rukun Amar ma’ruf dan nahi Munkar
terdiri dari empat :
Muhtasib : Orang yang melaksanakan Amar ma'ruf - Nahi Mungkar
Muhtasab’ alaih : Orang yang disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat
Muhtasab fih : Perbuatan yang disuruh atau dilarang
Nafsul-ihtisab:
Perbuatan dari si muhtasib (pelaksana amar ma'ruf - nahi mungkar)
Pelaksana Amar Ma'ruf - Nahi Mungkar
Siapapun
diantara kalian, jika melihat munkar, maka harus mencegahnya dengan
kekuatan tangannya, maka bila tidak dapat, maka harus menegur dengan
Iidahnya, dan bila tidak dapat, maka hendaknya membenci didalam hatinya
terhadap perbuatan munkar, maka sekadar membenci dalam hati terhadap
munkar termasuk iman yang sangat lemah. |
Muhtasib
(Pengatur dan Pelaksana) itu mempunyai syarat yaitu :
Tiap-tiap munkar yang ada sekarang, yang jelas bagi
si muhtasib, tanpa diintip, diketahui kemunkaran itu tanpa ijtihad, mempunyai
empat syarat:
1.
Adanya kemunkaran itu. Perkataan maksiat ditukar dengan perkataan munkar,
karena munkar lebih umum dari maksiat. Seperti contoh, barangsiapa melihat orang
gila atau anak kecil meminum khamar, maka ia harus membuang khamar itu dan
melarang meminumnya. Perbuatan tersebut tidak dinamakan maksiat pada orang gila.
Maka perkataan munkar adalah lebih menunjukkan dan lebih umum dari kata maksiat.
2.
Munkar itu ada pada waktu sekarang. Yaitu menjaga juga dari hisbah atas
orang yang telah selesai meminum khamar. Maka yang demikian, tidaklah atas
seseorang pribadi dan munkar itu telah berlalu. Dan menjaga juga dari apa yang
akan terjadi pada keadaan berikutnya. Contohnya orang yang diketahui akan
meminum khamar nanti malam. Maka hisbah terhadap orang itu adalah pengajaran.
Jika ia tidak jadi melakukannya, maka tidak boleh juga memberi pengajaran.
Karena yang demikian itu buruk sangka terhadap orang Islam.
3.
Perbuatan munkar itu jelas bagi si muhtasib tanpa diintip. Maka tiap-tiap
orang yang menutup perbuatan maksiat di rumahnya dan menguncikan pintunya,
niscaya tidak boleh dilakukan pengintipan.
4.
Munkar diketahui tanpa ijtihad. Maka tiap-tiap yang berada pada tempat
ijtihad, niscaya tiada hisbah padanya. Maka orang yang bermadzhab Hanafi tidak
boleh memandang munkar terhadap orang yang bermadzhab Syafi’I yang memakan
dlabb (binatang darat yang bentuknya seperti biawak) dan dlabu ( bentuknya
mengarah ke babi hutan, tetapi bertanduk dan ekornya berbulu. Leher dan punggung
berbulu panjang). Dan orang yang bermadzhab Syafi’I tidak boleh memandang
munkar kepada orang yang bermadzhab hanafi yang meminum air nabidz (air buah
anggur kering) yang tidak memabukkan dan menerima pusaka dzawil-arham ( keluarga
pihak ibu yang menurut madzhab Syafi’I bukan ahli waris, sedangkan bagi hanafi,
itu adalah ahli waris). Namun orang bermadzhab Syafi’I dapat bertanya jika
orang Syafi’I sendiri yang melakukan itu, demikian pula untuk madzhab Hanafi.
Syaratnya : Bahawa orang yang dilarang dari perbuatannya tsb adalah perbuatan mungkar.
Muhtasab 'alaih itu adalah seorang manusia, dan tidak disyaratkan harus mukallaf
Hisbah (pelaksanaan) amar ma’ruf dan nahi munkar
mempunyai tujuh tingkat: