Ad Da'wah

 [ Keutamaan & Celaan | Rukun & Syarat | Adab Seorang Da'i | Kemungkaran | Da'wah Kepada Bapak | Da'wah Kepada Penguasa]

Amar Ma'ruf Nahi Munkar Kepada Penguasa 

Tingkat-tingkat yang terdapat dalam amar ma’ruf adalah:

  1. Ta'arruf (Pengenalan)

  2. Ta 'rif (Pemberitahuan)

  3. Larangan dengan pengajaran/nasehat dengan perkataan yang lemah lembut

  4. Memaki dan menggertak dengan kata-kata keras (bukan keji) dan kasar

  5. Merubah dengan tangan (melarang perbuatan munkar dengan paksaan secara langsung, seperti memecahkan alat permainan, membuang khamar, melepaskan kain sutra dari pemiliknya, dan sebagainya)

  6. Pengancaman  dan penakutan ( Tahdid dan takhwif)

  7. Langsung memukul dengan tangan, kaki dan lainnya, dengan tidak menggunakan senjata

  8. Menggunakan senjata atau teman-teman (pembantu-pembantu) yang memakai senjata

Yang boleh dari jumlah itu terhadap penguasa adalah ta’rif dan pengajaran. Adapun melarang dengan kekerasan maka tidaklah yang demikian bagi perseorangan-perseorangan rakyat terhadap penguasa. Karena yang demikian adalah menggerakkan fitnah dan membangkitkan kejahatan. Dan hal yang akan terjadi daripadanya adalah lebih banyak. Adapun kata-kata kasar seperti dikatakan,”Hai orang dzalim, hai orang yang tidak takutkan Allah” dan semacamnya, maka yang seperti itu kalau menggerakkan fitnah yang kejahatannya melampaui kepada orang lain, tidak boleh. Kalau tidak ditakutinya kecuali atas dirinya maka boleh, bahkan disunatkan.

Sesungguhnya telah menjadi adat kebiasaan salaf (ulama terdahulu) tampil menghadang bahaya dan berterus terang menantangnya, tanpa memperdulikan kebinasaan jiwa dan mendatangi berbagai macam azab kesengsaraan. Karena mereka tahu bahwa yang demikian itu mati syahid.

Rasulullah SAW bersabda,”Orang syahid yang terbaik adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Kemudian orang yang bangun mendatangi imam (penguasa) dan menyuruhnya yang baik dan melarangnya yang buruk pada jalan Allah Ta’ala. Lalu imam itu membunuhnya diatas yang demikian”. (Al-Hakim dari Jabir dan katanya shahih isnad).

Para ulama-ulama dahulu bertawakal kepada Allah bahwa Ia menjagai mereka. Dan mereka rela dengan hukum Allah Ta’ala bahwa Allah Ta’ala menganugerahkan pahala syahid kepada mereka. Tatkala mereka telah mengikhlaskan niat karena Allah niscaya membekaslah perkataan mereka pada hati yang kesat. Lalu dilunakkan dan dihilangkan kekesatannya itu.

Adapun sekarang, maka sifat kerakusan telah mengikat lidah ulama-ulama. Lalu mereka berdiam diri. Dan jikalau mereka itu berkata-kata, niscaya tidak menolong perkataan mereka akan keadaan mereka. Maka mereka tidak memperoleh kemenangan. Jikalau mereka itu benar dan bermaksud kebenaran ilmu, niscaya mereka akan memperoleh kemenangan.

“Maka rusaknya rakyat, disebabkan rusaknya raja-raja (penguasa). Dan rusaknya penguasa disebabkan rusaknya ulama-ulama. Dan rusaknya ulama-ulama disebabkan karena pengaruh kecintaan kepada harta dan kemegahan. Barang siapa telah dikuasai oleh kecintaan dunia, niscaya ia tidak sanggup melaksanakan al-hisbah atas orang-orang rendah. Maka bagaimana mungkin itu dilakukan atas raja-raja dan orang-orang besar.”