Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

BAGIAN KETIGAPULUH: SAKIT DAN WAFATNYA NABI            (3/3)
 
Tetapi setelah Rasul wafat,  ia  mengatakan,  bahwa  ayahnya
membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya
sekali  ini.  Itu  sebabnya   Fatimah   menangis.   Kemudian
dibisikkannya  lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya
yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.
 
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air
dingin  diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia meletakkan
tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka.  Begitu
tingginya  suhu  panas  demam  itu,  kadang  ia  sampai  tak
sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang
sudah  sangat  payah  sekali.  Karena  perasaan  sedih  yang
menyayat hati, pada  suatu  hari  Fatimah  berkata  mengenai
penderitaan ayahnya itu:
 
"Alangkah beratnya penderitaan ayah!"

"Tidak.  Takkan  ada  lagi  penderitaan  ayahmu sesudah hari
ini," jawabnya.
 
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia  ini,  dunia  duka  dan
penderitaan.
 
Suatu  hari  sahabat-sahabatnya  berusaha hendak meringankan
penderitaannya    itu     dengan     mengingatkan     kepada
nasehat-nasehatnya,  bahwa orang yang menderita sakit jangan
mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya  dalam  hal
ini  lebih  dari  yang  harus  dipikul oleh dua orang. Dalam
keadaan sakit keras serupa itu dan  di  dalam  rumah  banyak
orang, ia berkata:
 
"Bawakan  dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat
buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak  lagi  akan  pernah
sesat."
 
Dari  orang-orang  yang  hadir ada yang berkata, bahwa sakit
Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada  kita  sudah  ada
Qur'an,  maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang
menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di  kalangan
yang  hadir  itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita  tidak  sesat.  Ada
pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
 
Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:
 
"Pergilah  kamu  sekalian!  Tidak  patut  kamu berselisih di
hadapan Nabi."
 
Tetapi Ibn 'Abbas masih berpendapat, bahwa  mereka  membuang
waktu   karena  tidak  segera  menuliskan  apa  yang  hendak
dikatakan oleh Nabi.  Sebaliknya  Umar  masih  tetap  dengan
pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:
 
"Tiada  sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu." (Qur'an,
6:38)
 
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah  tersiar
dari  mulut  ke  mulut,  sehingga  akhirnya  Usama  dan anak
buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke  Medinah.  Bila
Usama  kemudian  masuk  menemui  Nabi  di rumah Aisyah, Nabi
sudah  tidak  dapat  berbicara.  Tetapi  setelah  dilihatnya
Usama,  ia  mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya
kepada Usama sebagai tanda mendoakan.

Melihat keadaannya  yang  demikian  keluarganya  berpendapat
hendak  membantunya dengan pengobatan. Asma' - salah seorang
kerabat Maimunah - telah menyediakan semacam  minuman,  yang
pernah  dipelajari  cara  pembuatannya  selama ia tinggal di
Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan  pingsan  karena
demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman
itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:
 
"Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?"
 
"Kami  kuatir  Rasulullah  menderita  sakit  radang  selaput
dada," kata 'Abbas pamannya.
 
"Allah  tidak  akan  menimpakan  penyakit  yang demikian itu
kepadaku."
 
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam  rumah  -  supaya
meminum  obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang
berpuasa.
 
Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai
terasa  berat.  Kuatir  bila  ia  meninggal  harta  masih di
tangan, maka dimintanya  supaya  uangnya  itu  disedekahkan.
Tetapi  karena  kesibukan mereka merawat dan mengurus selama
sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa
melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum
hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia  bertanya
kepada  mereka:  Apa  yang  kamu lakukan dengan (dinar) itu?
Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya.  Kemudian
dimintanya   supaya   dibawakan.  Bilamana  uang  itu  sudah
diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:
 
"Bagaimanakah jawab  Muhammad  kepada  Tuhan,  sekiranya  ia
menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya."
 
Kemudian   semua   uang   dinar   itu   disedekahkan  kepada
fakir-miskin di kalangan Muslimin.
 
Malam itu Muhammad  dalam  keadaan  tenang.  Panas  demamnya
sudah   mulai   turun,  sehingga  seolah  karena  obat  yang
diberikan keluarganya itulah yang sudah  mulai  bekerja  dan
dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat
pula di waktu subuh keluar  rumah  pergi  ke  mesjid  dengan
berikat  kepala  dan  bertopang  kepada Ali b. Abi Talib dan
Fadzl bin'l-'Abbas. Abu  Bakr  waktu  itu  sedang  mengimami
orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang
melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira
yang   luarbiasa,  hampir-hampir  mereka  terpengaruh  dalam
sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi  isyarat  supaya  mereka
meneruskan  salatnya.  Bukan  main  Muhammad  merasa gembira
melihat semua itu.
 
Abu Bakr merasa apa yang telah  dilakukan  mereka  itu,  dan
yakinlah  dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau
tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat  sembahyangnya
untuk  memberikan  tempat  kepada Muhammad. Tetapi Muhammad
mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang
bersembahyang.  Dia  sendiri  kemudian  duduk di samping Abu
Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
 
Selesai sembahyang ia menghadap  kepada  orang  banyak,  dan
kemudian  berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar
sampai ke luar mesjid:
 
"Saudara-saudara. Api (neraka)  sudah  bertiup.  Fitnah  pun
datang  seperti  malam  gelap  gulita. Demi Allah, janganlah
kiranya kamu  berlindung  kepadaku  tentang  apa  pun.  Demi
Allah,  aku  tidak  akan  menghalalkan sesuatu, kecuali yang
dihalalkan oleh Qur'an, juga  aku  tidak  akan  mengharamkan
sesuatu,  kecuali  yang diharamkan oleh Qur'an. Laknat Tuhan
kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka  sebagai
mesjid."
 
Melihat  tanda-tanda  kesehatan  Nabi  yang  bertambah maju,
bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama  b.
Zaid  datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa
pasukan ke Syam,  dan  Abu  Bakrpun  datang  pula  menghadap
dengan mengatakan:
 
"Rasulullah!6  Saya  lihat  tuan sekarang dengan karunia dan
nikmat Tuhan sudah sehat kembali.  Hari  ini  adalah  bagian
Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?"
 
Nabi  pun  mengijinkan.  Abu  Bakr segera berangkat pergi ke
Sunh di luar kota Medinah - tempat tinggal  isterinya.  Umar
dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum
Muslimin sudah mulai  terpencar-pencar  lagi.  Mereka  semua
dalam  suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum
itu mereka semua dalam  kesedihan,  berwajah  suram  setelah
mendapat  berita  bahwa  Nabi  dalam keadaan sakit, demamnya
semakin keras sampai ia pingsan.
 
Sekarang ia kembali pulang ke rumah  Aisyah.  Senang  sekali
hatinya  melihat  kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan
hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat
lemah sekali.
 
Dipandangnya  laki-laki  itu  oleh Aisyah, dengan kalbu yang
penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang  penuh
rasa  iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya
ia dapat mencurahkan segala yang  ada  dalam  dirinya  untuk
mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.

Akan  tetapi,  kiranya  perginya  Nabi  ke mesjid itu adalah
suatu kesadaran batin,  yang  akan  disusul  oleh  kematian.
Setelah  memasuki  rumah,  tiap sebentar tenaganya bertambah
lemah juga. Ia melihat  maut  sudah  makin  mendekat.  Tidak
sangsi  ia  bahwa  hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja
lagi.  Ya,  kiranya   apakah   yang   diperhatikannya   pada
detik-detik  yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia
ini? Adakah ia  mengenangkan  hidupnya  sejak  diutus  Tuhan
sebagai  pembimbing  dan  sebagai  nabi, mengenangkan segala
yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan
Tuhan  kepadanya  sampai  selesai, kemudian hati merasa lega
karena kalbu orang-orang Arab  itu  sudah  terbuka  menerima
agama  yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca
istighfar - meminta pengampunan  Tuhan  dan  dengan  seluruh
jiwa  ia  menghadapkan  diri seperti yang biasanya dilakukan
selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir
itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak
lagi punya tenaga akan mengingat?

Dalam hal ini beberapa sumber  masih  sangat  berlain-lainan
sekali  keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada
hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu - 8
Juni  632  -  ia  minta  disediakan sebuah bejana berisi air
dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana  itu  ia
mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki
dari keluarga  Abu  Bakr  datang  ke  tempat  Aisyah  dengan
sebatang  siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian
rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah
benda  yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah
dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya  kepada  Nabi.
Kemudian  dengan  itu ia menggosok dan membersihkan giginya.
Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri
kepada  Allah  sambil berdoa, "Allahumma ya Allah! Tolonglah
aku dalam sakratulmaut ini."
 
Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi  berada  di
pangkuannya, "Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat
di   pangkuanku.   Kuperhatikan   air   mukanya,    ternyata
pandangannya  menatap  ke  atas  seraya  berkata, "Ya Handai
Tertinggi7 dari surga."
 
"Kataku,  'Engkau  telah  dipilih  maka  engkau  pun   telah
memilih.   Demi  Yang  mengutusmu  dengan  Kebenaran.'  Maka
Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara  dada8  dan
leherku  dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang
lain. Dalam kurangnya pengalamanku9 dan  usiaku  yang  masih
muda,  Rasulullah  s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku.
Kemudian kuletakkan kepalanya di atas  bantal,  aku  berdiri
dan   bersama-sama   wanita-wanita  lain  aku  memukul-mukul
mukaku."
 
Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi
perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul
fitnah di kalangan mereka dengan  segala  akibat  yang  akan
menjurus  kepada  perang  saudara,  kalau tidak karena Tuhan
Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan  agama  yang
sebenarnya ini.
 
Catatan kaki:
 
1 yaitu Mu'adh b. Jabal (A)
2  Siwak,  batang  kayu  kecil  dengan  dilunakkan  ujungnya
dipakai menggosok dan membersihkan gigi (A)
3 Bandingkan: Al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari (jilid 2 p.  117)
dalam menafsirkan Surah Hud ayat 112 (11 : 112) dan Mufradat
Raghib, sub verbo "dzall" (A).
4 Ahida ila, berarti 'berwasiat' (N), atau 'berpesan' (A).
5 Tayawaza 'an yakni 'afa 'an (N), 'memaafkan' (A).
6 Aslinya "Ya Nabiullah' (A)
7 Ar-Rafiq'-A'la pada umumnya ahli-ahli filologi mengartikan
kata rafiq ini, dengan 'handai taulan;' 'yang lemah-lembut;'
'teman seperjalanan;' 'kawan hidup, suami atau isteri' (LA).
Dalam istilah Hadis: rafiq berarti 'para nabi yang menempati
tempat tertinggi,' untuk jamak dan tunggal (N);  kata  rafiq
dalam  Qur'an  (4:  691 berarti 'teman seperjalanan' (N) dan
rafiq dalam doa di atas ada yang mengartikan  'Tuhan'  yakni
'Yang  lemah-lembut  kepada  hambaNya'  (N). Berarti 'teman'
dalam  surga,  (Qur'an,  4:69)   demõkian   sebagian   besar
ahli-ahli   tafsir   Qur'an.  Dalam  terjemahan  ini  dengan
kira-kira dipergunakan kata 'Handai Tertinggi' (A).
8  Sahr  'berarti  paru-paru,  yakni  ia  meninggal   sedang
bersandar di dadanya yang menjurus ke paru-paru' {N) (A).
9 Safah, harfiah: kebodohan (A).

         
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1