Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

BAGIAN KETIGAPULUH: SAKIT DAN WAFATNYA NABI            (2/3)
 
Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat  Muhammad.  Mereka
melihat  dia  memikul beban yang begitu berat tidak mengenal
sakit. Apabila kemudian ia jatuh  sakit,  sudah  sepantasnya
sahabat-sahabatnya  itu  jadi kuatir, dan menunda perjalanan
dari markas mereka di Jurf ke  Syam,  sebelum  mereka  yakin
benar  apa  yang  akan  terjadi dengan kehendak Tuhan kepada
diri Nabi.

Ada suatu peristiwa yang membuat mereka  lebih  cemas  lagi.
Pada malam pertama Muhammad merasa sakit ia tak dapat tidur,
lama sekali tak dapat tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa
ia  akan  keluar  pada  malam  musim  itu,  musim panas yang
disertai hembusan angin  di  sekitar  kota  Medinah.  Ketika
itulah  ia  keluar,  hanya  ditemani  oleh  pembantunya, Abu
Muwayhiba.  Tahukah  ke  mana  ia   pergi?   Ia   pergi   ke
Baqi'l-Gharqad,   pekuburan   Muslim   di   dekat   Medinah.
Sesampainya di pekuburan itu ia  berbicara  kepada  penghuni
kubur,  katanya,  "Salam  sejahtera  bagimu,  wahai penghuni
kubur! Semoga  kamu  selamat  akan  apa  yang  terjadi  atas
dirimu,  seperti  atas  diri orang lain. Fitnah telah datang
seperti malam  gelap-gulita,  yang  kemudian  menyusul  yang
pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama."
 
Abu  Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama kali
sampai di Baqi'l-Gharqad Nabi berkata kepadanya:
 
"Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi,
ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!"
 
Setelah  memintakan  ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia
menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:
 
"Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci  isi  dunia  ini
serta  kekekalan  hidup  di dalamnya, sesudah itu surga. Aku
disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga."
 
Kata Abu Muwayhiba:
 
"Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi  dunia  ini  dan
hidup kekal di dalamnya, kemudian surga."
 
"Tidak,  Abu Muwayhiba," kata Muhammad. "Aku memilih kembali
menghadap Tuhan dan surga."
 
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa  yang
telah  didengarnya;  sebab  Nabi mulai menderita sakit ialah
keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi'.  Orang
jadi  makin  cemas,  dan pasukan tidak jadi bergerak. Memang
benar, bahwa Hadis yang dibawa  melalui  Abu  Muwayhiba  ini
oleh  beberapa  ahli  sejarah  diterima  dengan agak sangsi.
Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu  saja  yang
membuat  pasukan  tidak  jadi  bergerak ke Palestina, tetapi
karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh
penunjukan  Usama  dalam  usia  semuda  itu sebagai pemimpin
pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan
Anshar  dan  Muhajirin  yang  mula-mula.  Itulah  yang lebih
banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu  daripada
sakitnya  Muhammad.  Dalam  memberikan pendapatnya ahli-ahli
sejarah itu berpegang pada  peristiwa-peristiwa  yang  sudah
pembaca  ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan
mendebat  mereka   yang   berpendapat   seperti   apa   yang
diceritakan  oleh  Abu Muwayhiba secara terperinci itu, kita
pun mendapat alasan  akan  menolak  dasar  kejadian-kejadian
itu,  dan  menolak  kepergian  Nabi  ke Baqi'l-Gharqad serta
memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaan
yang  kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini  pun  tidak  menolak
adanya   spiritisma   sebagai  salah  satu  gejala  psychis.
Perasaan yang kuat  akan  dekatnya  ajal  itu  sudah  banyak
dialami  orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang
dapat   menceritakan   apa   yang    diketahuinya    tentang
peristiwa-peristiwa  itu.  Juga  adanya hubungan antara yang
hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa  lampau  dengan
masa  datang,  kesatuan  yang  tidak terbatas oleh ruang dan
waktu, dewasa ini sudah pula dapat  ditentukan,  meskipun  -
menurut  kodrat bentuk kita -masih terbatas sekali kita akan
dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
 
Kalau sudah itu yang dapat kita  lihat  sekarang  dan  sudah
diakui  oleh  ilmu  pengetahuan,  tidak ada alasan kita akan
menolak dasar peristiwa seperti apa  yang  diceritakan  oleh
Abu  Muwayhiba  itu,  juga tak ada alasan kita dapat menolak
adanya apa yang sudah dapat dipastikan  mengenai  komunikasi
Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta
ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu
sekian  kali  lipat  daripada yang biasa ditangkap oleh para
ahli dalam bidang ini.

Keesokan harinya bila tiba waktunya  ia  ke  tempat  Aisyah,
dilihatnya Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: "Aduh
kepalaku!" Tetapi ia berkata - sedang dia sudah mulai merasa
sakit: "Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala."
 
Tetapi  sakitnya  belum  begitu  keras  dalam  arti ia harus
berbaring di tempat  tidur  atau  akan  merintanginya  pergi
kepada  keluarga dan isteri-isterinya untuk sekedar mencumbu
dan bergurau. Setiap didengarnya  ia  mengeluh  Aisyah  juga
mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
 
Lalu  kata  Nabi, "Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih
dulu sebelum aku. Aku yang  akan  mengurusmu,  mengafanimu,
menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!"
 
Karena  senda-gurau  itu  cemburu kewanitaannya timbul dalam
hati Aisyah yang masih muda  itu,  sekaligus  cintanya  akan
gairah hidup ini, lalu katanya:
 
"Dengan  begitu  yang  lain mendapat nasib baik. Demi Allah,
dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau  menyuruh
aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin
baru dengan isteri-isterimu."
 
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengijinkan  ia
terus bergurau.
 
Setelah  rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia mengunjungi
isteri-isterinya seperti  biasa.  Tetapi  kemudian  sakitnya
terasa  kambuh  lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika ia
sedang berada di rumah Maimunah ia sudah  tidak  dapat  lagi
mengatasinya. Ia merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu
dipanggilnya isteri-isterinya ke rumah Maimunah.  Dimintanya
ijin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa
ia  akan   dirawat   di   rumah   Aisyah.   Isteri-isterinya
mengijinkan ia pindah.
 
Dengan  berikat  kepala,  ia  keluar  sambil bertopang dalam
jalannya itu kepada Ali  b.  Abi  Talib  dan  kepada  'Abbas
pamannya.  Ia  sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah
terasa lemah sekali.

Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit, demamnya sudah terasa
makin  keras,  sehingga  ia  merasa  seolah seperti dibakar.
Sungguh  pun  begitu,  ketika  demamnya  menurun  ia   pergi
berjalan  ke  mesjid  untuk  memimpin  sembahyang.  Hal  ini
dilakukannya selama  berhari-hari.  Tapi  tidak  lebih  dari
sembahyang  saja.  Ia  sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap
dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang  dibisikkan
orang  bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas
kaum Muhajirin dan Anshar  yang  terkemuka  untuk  menyerang
Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari
sakitnya bertambah  juga,  tapi  dengan  adanya  bisik-bisik
demikian  itu  rasanya  perlu  ia bicara dan berpesan kepada
mereka. Dalam hal ini ia berkata  kepada  isteri-isteri  dan
keluarganya:
 
"Tuangkan  kepadaku  tujuh  kirbat  air dari pelbagai sumur,
supaya  aku  dapat  menemui  mereka  dan  berpesan4   kepada
mereka."
 
Lalu  dibawakan  air  dari  beberapa sumur, dan setelah oleh
isteri-isterinya  ia  didudukkan  di  dalam  pasu  kepunyaan
Hafsha,   ketujuh   kirbat  air  itu  disiramkan  kepadanya.
Kemudian katanya: Cukup. Cukup.

Lalu ia  mengenakan  pakaian  kembali,  dan  dengan  berikat
kepala  ia pergi ke mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan
dan  memintakan  ampunan  buat sahabat-sahabatnya yang telah
gugur di  Uhud.  Banyak  sekali  ia  mendoakan  mereka  itu.
Kemudian katanya :
 
"Saudara-saudara.  Laksanakanlah  keberangkatan  Usama  itu.
Demi  hidupku.  Kalau  kamu  telah  banyak  bicara   tentang
kepemirnpinnya,  tentang  kepemimpinan ayahnya dulu pun juga
kamu banyak bicara.  Dia  sudah  pantas  memegang  pimpinan,
seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan."
 
Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam,
tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata lagi:
 
"Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara
dunia  dan  akhirat  dengan  apa  yang  ada padaNya, maka ia
memilih yang ada pada Tuhan."
 
Muhammad  diam  lagi,  dan  orang-orang  juga   diam   tidak
bergerak.  Tetapi  Abu  Bakr  segera  mengerti,  bahwa  yang
dimaksud oleh Nabi  dengan  kata-kata  terakhir  itu  adalah
dirinya.  Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya
persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan  air  mata
dan menangis sambil berkata:
 
"Tidak.  Bahkan  tuan  akan  kami tebus dengan jiwa kami dan
anak-anak kami."
 
Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan  menular  kepada  yang
lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:
 
"Sabarlah, Abu Bakr."
 
Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke mesjid
ditutup, kecuali pintu yang  ke  tempat  Abu  Bakr.  Setelah
semua pintu ditutup, katanya lagi:
 
"Aku  belum  tahu  ada  orang yang lebih bermurah hati dalam
bersahabat dengan aku seperti  dia.  Kalau  ada  dari  hamba
Allah  yang  akan  kuambil sebagai khalil (teman kesayangan)
maka  Abu  Bakrlah   khalilku.   Tetapi   persahabatan   dan
persaudaraan  ialah  dalam  iman,  sampai tiba saatnya Tuhan
mempertemukan kita."

Bilamana Muhammad turun dari mimbar, sedianya  akan  kembali
pulang  ke  rumah  Aisyah, tapi ia lalu menoleh kepada orang
banyak itu dan kemudian katanya:
 
"Saudara-saudara  Muhajirin,   jagalah   kaum   Anshar   itu
baik-baik;  sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang
Anshar akan seperti itu juga  keadaannya,  tidak  bertambah.
Mereka  itu  orang-orang  tempat aku menyimpan rahasiaku dan
yang telah memberi  perlindungan  kepadaku.  Hendaklah  kamu
berbuat  baik  atas  kebaikan  mereka  itu  dan  maafkanlah5
kesalahan mereka."

Ia kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang  digunakannya
selama  ia  dalam  keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya
terasa lebih berat  lagi.  Sungguh  suatu  pekerjaan  berat,
terutama  buat  orang yang sedang menderita demam, ia keluar
juga setelah disirami tujuh kirbat  air;  ia  keluar  dengan
membawa  beban  pikiran  yang  sangat  berat: Pasukan Usama,
nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini
telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang
sangat kuat. Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya  ia
berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya,
ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
 
"Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang."
 
Aisyah ingin sekali Nabi  sendiri  yang  melaksanakan  salat
mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
 
"Tapi  Abu  Bakr  orang yang lembut hati, suaranya lemah dan
suka menangis kalau sedang membaca Qur'an," kata Aisyah.
 
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan  suara
lebih  keras  Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih
dirasakannya:
 
"Sebenarnya  kamu  ini  seperti  perempuan-perempuan  Yusuf.
Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!"
 
Kemudian   Abu   Bakr  datang  memimpin  sembahyang  seperti
diperintahkan oleh Nabi.
 
Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di  tempat  ketika
oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang
dipanggil untuk memimpin orang-orang  bersembahyang  sebagai
pengganti  Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara
lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid,  suaranya
terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
 
"Mana  Abu  Bakr?"  tanyanya. "Allah dan kaum Muslimin tidak
menghendaki yang demikian."
 
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi  menghendaki
Abu  Bakr  sebagai  penggantinya  kemudian,  karena memimpin
orang-orang  bersembahyang  sudah  merupakan  tanda  pertama
untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.

Tatkala  sakitnya  sudah  makin  keras, panas demamnya makin
memuncak,   isteri-isteri   dan   tamu-tamu   yang    datang
menjenguknya,  bila  meletakkan  tangan di atas selimut yang
dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan
itu.  Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang menengok. Ia
sangat mencintai puterinya itu, cinta  seorang  ayah  kepada
anak  yang  hanya  tinggal  satu-satunya  sebagai keturunan.
Apabila  ia  datang  menemui  Nabi,  ia   menyambutnya   dan
menciumnya,  lalu  didudukkannya  di tempat ia duduk. Tetapi
setelah  sakitnya  demikian  payah,  puterinya  itu   datang
menemuinya dan mencium ayahnya.
 
"Selamat  datang,  puteriku," katanya. Lalu didudukkannya ia
disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya  ketika  itu,
Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain
Fatimah  pun  jadi  tertawa.  Bila  hal  itu   oleh   Aisyah
ditanyakan, ia menjawab:
 
"Sebenarnya  saya  tidak  akan  membuka  rahasia  Rasulullah
s.a.w."
                                            		Next >>>

         
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1