Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

BAGIAN KEDUAPULUH TUJUH: TABUK DAN KEMATIAN IBRAHIM    (3/3)
 
Hanya  saja  sesudah Tabuk, Abdullah b. Ubayy ini tidak lama
lagi hidupnya. Setelah dua bulan menderita  sakit  ia  mati.
Meskipun  rasa  dengki  terhadap Muslimin sudah menggerogoti
hatinya sejak Nabi tinggal di Medinah, namun Muhammad  lebih
suka  kaum Muslimin jangan menggangu Ibn Ubayy. Ketika orang
ini meninggal dan Nabi diminta  menyembahyangkannya,  dengan
segera  pula  Nabi pun menyembahyangkan dan mendoakan ketika
dikuburkan sampai upacara itu selesai.  Dengan  matinya  Ibn
Ubayy  sendi kaum Munafik itu juga runtuh. Mereka yang masih
ada, sekarang dengan sungguh-sungguh mereka bertaubat kepada
Tuhan.
 
Dengan  ekspedisi  Tabuk  ini  maka  selesailah amanat Tuhan
diajarkan ke seluruh jazirah Arab, dan Muhammad sudah merasa
aman  dari  setiap  permusuhan  yang  akan  ditujukan kepada
agama. Utusan-utusan dari pelbagai  daerah  sekarang  datang
menghadap  kepadanya  dengan  menyatakan sekali kesetiaannya
serta mengumumkan pula keislamannya.  Ekspedisi  sekali  ini
buat  Nabi  a.s.  merupakan  ekspedisi terakhir. Sesudah itu
Muhammad menetap di  Medinah,  menikmati  karunia  pemberian
Tuhan  kepadanya.  Ibrahim  anaknya  merupakan  jantung hati
cindur  mata  selama  enambelas  atau  delapanbelas   bulan.
Apabila   ia   selesai   menerima   para   utusan,  mengurus
masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan  kewajiban  kepada
Tuhan  serta  hak kewajiban seluruh keluarga, hatinya merasa
sejuk dengan melihat bayi yang selalu  berkembang  dan  baik
sekali   pertumbuhannya   itu.   Makin   lama   makin  jelas
kesamaannya, yang membuat sang ayah makin  cinta  dan  kasih
kepadanya.   Sepanjang   bulan   itu   yang   menjadi  inang
pengasuhnya ialah Umm Saif,  yang  menyusui  dan  memberikan
susu kambing pengasih Nabi dulu itu.
 
Cinta-kasih  Muhammad kepada Ibrahim sebenarnya bukan karena
suatu maksud pribadi yang  ada  hubungannya  dengan  Risalah
yang  dibawanya, atau dengan yang akan menjadi penggantinya.
Muhammad a.s. dengan imannya kepada Tuhan dan kepada Risalah
Tuhan  tidak  akan  memikirkan  anak  atau  siapa  yang akan
mewarisinya. Bahkan dikatakannya:
 
"Kami  para  Nabi,  tidak  dapat  diwarisi.  Apa  yang  kami
tinggalkan untuk sedekah."
 
Akan  tetapi,  rasa  kasih  insani dalam artinya yang luhur,
rasa kasih insani yang  begitu  dalam  tertanam  dalam  hati
Muhammad  -  yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun,
rasa insani yang akan membuat manusia  Arab  memandang  anak
laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi
- rasa kasih inilah yang telah membuat Muhammad  mencurahkan
semua  cintanya  kepada  Ibrahim,  kasih-sayang  yang  tiada
taranya. Dan rasa kasih ini lebih  parah  merasuk  ke  dalam
hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua puteranya
- Qasim dan Tahir, - dan keduanya masih bayi dalam  pangkuan
Khadijah   ibunya.  Setelah  Khadijah  wafat  ia  kehilangan
puteri-puterinya  pula,  satu  demi  satu,  setelah   mereka
bersuami  dan  menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih
hidup, selain Fatimah. Putera-putera dan puteri-puteri  itu,
yang  satu  demi  satu  berguguran  di  tangannya dan dengan
tangannya  sendiri  pula  ia  menguburkan  mereka  ke  dalam
pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam
hatinya, kini terasa terobat juga dengan  lahirnya  Ibrahim,
tempat  buah  hati  meletakkan  segala  harapan.  Dan  sudah
sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa  gembira,
merasa bahagia.
 
Tetapi  harapan  ini  tidak  berlangsung  lama; hanya selama
beberapa  bulan  saja  seperti  yang  sudah  kita  sebutkan.
Sesudah   itu   Ibrahim   jatuh  sakit,  sakit  yang  sangat
menguatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat  dengan  kebun
kurma  di  samping  Masyraba  Umm  Ibrahim.  Maria dan Sirin
adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini  tidak  lama
sakitnya  Tatkala  ajal  sudah  dekat  dan Nabi diberi tahu,
karena rasa sedih yang sangat mendalam, ia  berjalan  dengan
memegang   tangan   Abdur-Rahman  b.  'Auf  sambil  bertumpu
kepadanya. Bila ia sudah sampai ke  tempat  itu  di  samping
'Alia  - tempat Masyraba yang sekarang - dijumpainya Ibrahim
dalam  pangkuan  ibunya,  sedang  menarik  napas   terakhir.
Diambilnya  anak  itu,  lalu  diletakkannya  di  pangkuannya
dengan hati yang remuk-redam rasanya.  Tangannya  menggigil.
Kalbu  yang  duka  dan  pilu rasa mencekam seluruh sanubari.
Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut wajahnya.
Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata:
 
"Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Tuhan."
 
Dalam  keadaan  hening  yang menekan itu kemudian airmatanya
berderai bercucuran, sementara anak itu sedang menarik napas
terakhir.  Sang  ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit; oleh
Rasulullah dibiarkan mereka begitu.
 
Setelah tubuh  Ibrahim  tiada  bergerak  lagi,  sudah  tiada
bernyawa,  dan  dengan  kematiannya  itu  padam  pula  semua
harapan yang selama ini membuka hati Nabi, makin deras  pula
airmata Muhammad mengucur, sambil ia berkata:
 
"Oh  Ibrahim,  kalau  bukan karena soal kenyataan, dan janji
yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami  yang  kemudian
akan  menyusul  orang yang sudah lebih dahulu daripada kami,
tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini." Dan  setelah
diam  sejenak,  katanya  lagi:  "Mata boleh bercucuran, hati
dapat merasa duka, tapi kami hanya berkata apa yang  menjadi
perkenan  Tuhan,  dan  bahwa  kami, O Ibrahim, sungguh sedih
terhadapmu."
 
Muslimin yang melihat Muhammad begitu duka,  beberapa  orang
terkemuka  hendak  mengurangi hal itu dengan mengingatkannya
akan larangannya berbuat demikian. Tapi  ia  menjawab:  "Aku
tidak  melarang  orang  berduka  cita,  tapi  yang  kularang
menangis dengan suara  keras.  Apa  yang  kamu  lihat  dalam
diriku  sekarang,  ialah  pengaruh  cinta  dan kasih didalam
hati. Orang yang tiada menunjukkan  kasih  sayangnya,  orang
lain  pun  tiada  akan  menunjukkan kasih sayang kepadanya."
Atau seperti dikatakan juga: Kemudian  ia  berusaha  menahan
duka  hatinya. Ia memandang Maria dan Sirin dengan pandangan
penuh kasih. Kepada mereka dimintanya  supaya  lebih  tenang
sambil katanya: "Ia akan mendapat inang pengasuh di surga."
 
Kemudian setelah ia dimandikan oleh Umm Burda, - sumber lain
menyebutkan oleh Fadzl bin'l-'Abbas - dibawa dari rumah  itu
di  atas  sebuah  ranjang  kecil.  Nabi  dan Abbas pamannya,
begitu juga sejumlah kaum Muslimin ikut mengantarkan  sampai
ke    Baqi'.   Di   tempat   itu   ia   dimakamkan   setelah
disembahyangkan oleh Nabi. Selesai pemakaman Muhammad  minta
supaya   makam  itu  ditutup  kemudian  diratakannya  dengan
tangannya sendiri. Ia memercikkan air dan memberi  tanda  di
atas kubur itu. Lalu katanya:
 
"Sebenarnya   ini   tidak   membawa   kerugian,  juga  tidak
mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati
orang  yang  masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu,
Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna."
 
Bersamaan dengan kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi pula
matahari  gerhana.  Kaum  Muslimin  menganggap peristiwa itu
suatu mujizat. Kata mereka matahari gerhana  karena  Ibrahim
meninggal. Hal ini terdengar oleh Nabi.
 
Karena  cintanya  yang begitu besar kepada Ibrahim, dan rasa
duka yang begitu dalam karena kematiannya,  adakah  ia  lalu
merasa    terhibur    mendengar    kata-kata    itu,    atau
setidak-tidaknya akan didiamkan saja, menutup  mata  melihat
orang  sudah  begitu  terpesona  karena telah menganggap itu
suatu mujizat? Tidak. Dalam keadaan serupa  itu,  kalau  pun
ini   layak   dilakukan  oleh  mereka  yang  suka  mengambil
kesempatan karena kebodohan orang, atau layak dilakukan oleh
mereka yang  sudah  tak  sadar karena terlampau sedih,  buat
orang yang berpikir sehat tentu hal ini tidak layak, apalagi
buat  Nabi  Besar!  Muhammad  melihat mereka yang mengatakan
bahwa matahari telah jadi gerhana karena  kematian  Ibrahim,
dalam khotbahnya kepada mereka ia berkata:
 
"Matahari  dan bulan ialah tanda kebesaran Tuhan, yang tidak
akan jadi gerhana karena kematian atau  hidupnya  seseorang.
Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam zikir kepada
Tuhan dengan berdoa."
 
Sungguh suatu kebesaran  yang  tiada  taranya.  Rasul  tidak
melupakan  risalahnya  itu  dalam  suatu situasi yang begitu
gawat, situasi jiwa yang sedang dalam keharuan dan kesedihan
yang   amat  dalam!  Kalangan  Orientalis  dalam  menanggapi
peristiwa yang terjadi terhadap  diri  Muhammad  ini,  tidak
bisa  lain  mereka  bersikap hormat dan kagum sekali! Mereka
tidak dapat menyembunyikan rasa kekaguman dan rasa hormatnya
itu  kepadanya.  Mereka  menyatakan pengakuan mereka tentang
kejujuran orang itu, yang dalam situasi yang sangat gawat ia
tetap    mempertahankan    hak    dan    kejujurannya   yang
sungguh-sungguh !
 
Gerangan bagaimana pula perasaan isteri-isteri Nabi  melihat
kesedihan  dan  dukacita  yang  menimpanya  begitu  mendalam
karena  kematian  Ibrahim  itu?  Dia  sendiri  sudah  merasa
terhibur  dengan karunia Tuhan itu dan dapat pula meneruskan
tugas menunaikan risalah  serta  dengan  bertambahnya  Islam
tersebar  pada perutusan yang terus-menerus datang kepadanya
dari segenap penjuru, sehingga tahun  kesepuluh  Hijrah  ini
diberi nama 'Am'lWufud - Tahun Perutusan.' Pada tahun itulah
Abu Bakr memimpin orang menunaikan ibadat haji.
 
Catatan kaki:
 
1 Zakat  'usyr ialah zakat hasil bumi  yang  dikenakan  1/10
dari produksi hasil pertanian bila diolah dengan bantuan air
hujan atau  mata  air  alam  dan  1/20  bila  diairi  dengan
menggunakan  tenaga.  Ada  yang  berpendapat,  bahwa  secara
teknis ini bukan zakat, karena yang dikenakan hanya hasilnya
(A).
2  Pajak kepala sebagai kompensasi atas setiap non-Muslim di
bawah pemerintahan Islam dengan mendapat  jarninan  keamanan
dan dibebaskannya ia dari wajib militer (A)
3  Aila  ialah  Elath  atau  'Aqaba sekarang, di dekat Teluk
Aqaba (A).
4 Jarba' sebuah desa  di  dekat  Amman  di  bilangan  Balqa,
wilayah Syam.
5  'Adhruh,  nama  tempat di ujung Syam antara Balqa, dengan
Amman, berdekatan dengan Hijaz dan tidak jauh dari Jarba'.
6 Duma,  ialah  yang  dikenal  dengan  nama  Dumat'l-Jandal,
terletak sekitar 220 km  dari Damsyik ke jurusan Medinah.
7  Mesjid  ini  dikenal  dengan  nama  'Masjid  Dziral' atau
'Masjid  Bencana,'  dzirar  harfiah   berarti   'kerusuhan,'
'kerugian,', 'bahaya' (A).

         
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1