Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

	BAGIAN KEDUAPULUH: PERJANJLAN HUDAIBIYA                  (2/3)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya
	lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun kedalam
	salah sebuah sumur yang banyak tersebar di  tempat  itu.  Bila
	anakpanah  itu  ditancapkan  ke  dalam  pasir pada dasar sumur
	ketika  itu  airpun  memancar.  Orang  baru  merasa  puas  dan
	merekapun turun.
 
	Mereka  turun  dari  kendaraan.  Akan  tetapi pihak Quraisy di
	Mekah  selalu  mengintai.  Lebih  baik  mereka  mati  daripada
	membiarkan   Muhammad  memasuki  wilayah  mereka  dengan  cara
	kekerasan sekalipun. Adakah agaknya  mereka  sudah  mengadakan
	persiapan  dan  perlengkapan  perang  guna menghadapi Quraisy,
	kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing
	dan  Tuhan  juga  yang akan memutuskan persoalannya jika sudah
	mesti terjadi?!
 
	Kearah inilah mereka sebagian berpikir  dan  pada  kemungkinan
	ini  pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang
	teriadi dan yang mendapat  kemenangan  pihak  Muslimin,  tentu
	tamatlah   riwayat   Quraisy   itu   di   mata   orang,  untuk
	selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi  terancam  kalau  begitu,
	jabatan  menjaga  Ka'bah  dan mengurus air para pengunjung dan
	segala  macam  upacara  keagamaan  yang   dibanggakan   kepada
	masyarakat  Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa
	yang harus mereka lakukan kalau  begitu?  Kedua  kelompok  itu
	masing-masing  sekarang  sedang memikirkan langkah berikutnya.
	Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada  langkah  yang
	sudah  digariskannya  sejak semula, mengadakan persiapan untuk
	'umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari  adanya
	pertempuran;  kecuali  jika  pihak  Quraisy  menyerangnya atau
	mengkhianatinya; tak ada  jalan  lain  iapun  harus  menghunus
	pedang.
 
	"Sebaliknya   Quraisy,   mereka  masih  maju-mundur.  Kemudian
	terpikir oleh mereka akan mengutus  beberapa  orang  terkemuka
	dari   kalangan   mereka;   dan   satu  segi  untuk  menjajagi
	kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan  sampai
	masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail
	b.  Warqa'  dalam  suatu  rombongan  yang  terdiri  dari  suku
	Khuza'a.   Oleh   mereka   ditanyakan,   gerangan   apa   yang
	mendorongnya datang.  Setelah  dalam  pembicaraan  itu  mereka
	merasa  puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan
	hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah  Suci,  merekapun
	pulang  kembali  kepada  Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan
	Quraisy, supaya orang  itu  dan  sahabat-sahabatnya  dibiarkan
	saja  mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh
	dan tidak  diterima baik  oleh  Quraisy.  Dikatakannya  kepada
	mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia
	takkan masuk kemari secara paksa dan  kitapun  takkan  menjadi
	bahan pembicaraan orang.

	Kemudian  Quraisy  mengutus  orang  lain yang sudah mengetahui
	keadaan mereka dari orang yang  sudah  diutus  sebelumnya.  Ia
	tidak   akan  serampangan  supaya  jangan  dituduh  pula  oleh
	Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy
	banyak   menyandarkan  diri  kepada  sekutunya  dari  golongan
	Ahabisy5. Terpikir  oleh  Quraisy  pemimpin  mereka  ini  yang
	hendak   di  utus,  kalau-kalau  bila  sudah  diketahui  bahwa
	Muhammad  tidak  juga  mau  mengerti  dan  tidak  ada   saling
	pengertian  dengan  dia  Quraisy  akan  merasa  lebih mendapat
	dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk
	itu  maka  berangkatlah  Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke
	perkemahan Muslimin.
 
	Tatkala Nabi melihatnya ia datang,  dimintanya  supaya  ternak
	kurban  itu  dilepaskan  didepan matanya, supaya dapat melihat
	dengan mata kepala  sendiri  adanya  suatu  bukti  yang  sudah
	jelas,  bahwa  orang-orang  yang oleh Quraisy hendak diperangi
	itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah
	ke  Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak
	kurban yang tujuhpuluh ekor itu,  mengalir  dari  tengah  wadi
	dengan  bulu  yang  sudah  rontok.  Terharu  sekali ia melihat
	pemandangan itu. Dalam hatinya timbul  rasa  keagamaannya.  Ia
	yakin  bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam
	terhadap  mereka,  yang  datang  bukan  ingin  berperang  atau
	mencari permusuhan.
 
	Sekarang  ia  kembali  kepada  Quraisy  tanpa menemui Muhammad
	lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah  dilihatnya.
	Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.
 
	"Duduklah,"  kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab badui
	yang tidak tahu apa-apa."
 
	Mendengar itu Hulais  juga  jadi  marah.  Diingatkannya  bahwa
	persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang
	dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah,  dan  tidak
	semestinya  mereka  akan  mencegah Muhammad dan beberapa orang
	Ahabisy yang datang dengan dia ke  Mekah.  Takut  akan  akibat
	kemarahannya  itu,  Quraisy  mencoba  membujuknya  kembali dan
	memintanya supaya menunda sampai dapat mereka  pikirkan  lebih
	lanjut.

	Kemudian  terpikir  oleh  mereka  hendak  mengutus  orang yang
	bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal  ini
	mereka   bicarakan   kepada   'Urwa  ibn  Mas'ud  ath-Thaqafi.
	Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka  yang  keras  dan
	memperlakukan   tidak   layak   terhadap  kepada  utusan  yang
	sebelumnya, mereka meminta maaf kepada 'Urwa.  Setelah  mereka
	minta  maaf  dan  sekaligus  menegaskan  bahwa  mereka  sangat
	menaruh  kepercayaan   kepadanya   dan   yakin   sekali   akan
	kebijaksanaan  dan  pandangannya  yang  baik, ia pun berangkat
	menemui Muhammad  dan  dikatakannya  bahwa  Mekah  juga  tanah
	tumpah  darahnya  yang  harus  dipertahankan. Kalau ini sampai
	dirusak, yang akan diderita  oleh  penduduk  yang  tinggal  di
	tempat  itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk,
	kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata  itu,  maka  yang
	akan  mengalami  kecemaran  yang  cukup  parah adalah Quraisy,
	suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan,  sekalipun
	antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.
 
	Ketika  itu  Abu  Bakr  berkata  kepada 'Urwa dengan membantah
	keras,  bahwa  orang  akan  meninggalkan  Rasullullah.   'Urwa
	mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang
	Mughira bin Syu'ba yang berdiri di arah kepala  Rasul  memukul
	tangan  'Urwa  setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia
	sadar bahwa sebelum ia masuk Islam,  'Urwa  pernah  menebuskan
	tigabelas  diat  atas  beberapa  orang yang telah dibunuh oleh
	Mughira.
 
	Sekarang 'Urwa pulang kembali setelah ia  mendapat  keterangan
	dari  Muhammad  sama seperti yang juga diberikan kepada mereka
	yang  datang  sebelumnya,  bahwa  kedatangannya  bukan  hendak
	berperang,   melainkan   hendak   mengagungkan   Rumah   Suci,
	menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
 
	"Saudara-saudara,"  katanya  setelah  ia  berada  kembali   di
	tengah-tengah  masyarakat  Quraisy. "Saya sudah pernah bertemu
	dengan Kisra, dengan  Kaisar  dan  dengan  Negus  di  kerajaan
	mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang
	raja    dengan    rakyatnya    seperti     Muhammad     dengan
	sahabat-sahabatnya  itu.  Begitu  ia  hendak  mengambil  wudu,
	sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu  bergegas.  Begitu  mereka
	melihat  ada  rambutnya  yang  jatuh,  cepat-cepat pula mereka
	mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun  juga.
	Pikirkanlah kembali baik-baik."

	Pembicaraan  seperti  yang  kita  kemukakan  itu berjalan lama
	juga. Terpikir oleh Muhammad,  mungkin  utusan-utusan  Quraisy
	itu  tidak  berani  menyampaikan  pendapatnya  yang akan dapat
	meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena  itu  dari  pihaknya  ia
	lalu  mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi
	disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan  itu
	hendak  mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah
	dan utusan  itu  dilepaskan.  Ini  menunjukkan,  bahwa  dengan
	tingkah-lakunya  itu  pihak  Mekah  memang sudah dikuasai oleh
	jiwa kebencian dan permusuhan,  yang  membuat  pihak  Muslimin
	gelisah  tidak  sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang
	sudah berpikir sampai ke soal perang.
 
	Sementara mereka sedang berusaha hendak  mencapai  persetujuan
	dengan  jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang
	tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy  malam-malam  keluar
	dan mereka ini melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka
	ini pada suatu ketika sampai empatpuluh atau limapuluh  orang,
	dengan  maksud  hendak  menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi
	mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi.  Tahukah
	kita  apa  yang  dilakukannya?  Mereka itu dimaafkan semua dan
	dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan  damai
	serta  ingin  menghormati  bulan  suci, jangan ada pertumpahan
	darah di Hudaibiya, yang  juga  termasuk  daerah  suci  Mekah.
	Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti
	yang hendak  dituduhkan  bahwa  Muhammad  bermaksud  memerangi
	mereka,  jadi  gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua
	tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad,  oleh
	pihak  Arab  hanya  akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan
	kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri
	dengan segala kekuatan yang ada.
 
	Kemudian   Nabi  'alaihissalam  sekali  lagi  berusaha  hendak
	menguji kesabaran Quraisy dengan  mengirimkan  seorang  utusan
	yang   akan   mengadakan   perundingan   dengan  mereka.  Umar
	bin'l-Khattab dipanggil dan  dimintainya  menyampaikan  maksud
	kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.
 
	"Rasulullah,"  kata Umar. "Saya kuatir Quraisy akan mengadakan
	tindakan terhadap saya, mengingat di  Mekah  tidak  ada  pihak
	Banu  'Adi  b.  Ka'b  yang akan melindungi saya. Quraisy sudah
	cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan  tegas
	saya  terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih
	baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman b. 'Affan."

	Nabipun segera memanggil  Usman  b.  'Affan  -menantunya-  dan
	diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya.
	Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki  Mekah
	terlebih   dulu   ia  menemui  Aban  b.  Sa'id  yang  kemudian
	memberikan jiwar (perlindungan)  selama  ia  bertugas  membawa
	tugas  itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui
	pemimpin-pemimpin  Quraisy  itu  dan  menyampaikan   pesannya.
	Tetapi kata mereka kepadanya:
 
	"Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka'bah, bertawaflah."
 
	"Saya  tidak  akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,"
	jawab Usman. "Kedatangan kami kemari hanya akan  berziarah  ke
	Rumah   Suci,   akan   memuliakannya,  kami  ingin  menunaikan
	kewajiban ibadah di tempat  ini.  Kami  telah  datang  membawa
	binatang  korban,  setelah  disembelih  kamipun  akan  kembali
	pulang dengan aman."
 
	Quraisy menjawab,  bahwa  mereka  sudah  bersumpah  tahun  ini
	Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan
	itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang  dari  Muslimin.
	Desas-desus  segera  timbul  di  kalangan  mereka  bahwa pihak
	Quraisy   telah   membunuhnya   secara   gelap   dan    dengan
	tipu-muslihat.  Boleh  jadi  sementara  itu  pemimpin-pemimpin
	Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan
	tengah  antara  sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke
	Mekah tahun  ini  dengan  kekerasan,  dengan  keinginan  pihak
	Muslimin   yang  akan  bertawaf  di  Ka'bah  serta  menunaikan
	kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi  juga  mereka  sudah  akrab
	kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu
	cara yang akan mengatur hubungan mereka  dengan  Muhammad  dan
	hubungan Muhammad dengan mereka.
 
	Akan  tetapi  bagaimanapun  juga  pihak  Muslimin di Hudaibiya
	sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang  oleh
	mereka  kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman
	dalam bulan suci. Semua agama  orang  Arab  tidak  membenarkan
	seorang  musuh  membunuh  musuhnya yang lain di sekitar Ka'bah
	atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang  pula  oleh  mereka
	kelicikan  Quraisy  itu terhadap orang yang datang mengunjungi
	mereka membawa pesan perdamaian dan  tidak  saling  menyerang.
	Oleh  karena  itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas
	empu  pedang  masing-masing,  suatu  tanda  mengancam,   tanda
	kekerasan  dan  kemarahan. Juga Nabi 'a.s, sudah merasa kuatir
	bahwa Quraisy telah  mengkhianati  dan  membunuh  Usman  dalam
	bulan suci itu. Lalu katanya:
 
	"Kita  tidak  akan  meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat
	menghadapi mereka."

	Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil  ia  berdiri  di  bawah
	sebatang   pohon  dalam  lembah  itu.  Mereka  semua  berikrar
	(berjanji setia) kepadanya untuk tidak  akan  beranjak  sampai
	mati  sekalipun.  Mereka  semua berikrar kepadanya dengan iman
	yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat  mereka  sudah
	berkobar-kobar    hendak    mengadakan   pembalasan   terhadap
	pengkhianatan dan  pembunuhan  itu.  Mereka  menyatakan  ikrar
	kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai'at'r Ridzwan
	(Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:
 
	"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman  tatkala
	mereka   berikrar   kepadamu   di  bawah  pohon.  Tuhan  telah
	mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada  mereka
	rasa  ketenangan  dan memberi balasan kemenangan kepada mereka
	dalam waktu dekat ini." (Qur'an, 48: 18)
 
	Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu  Nabi  'a.s.  menepukkan
	sebelah  tangannya  pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar
	buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu.
	Dengan  ikrar  ini  pedang-pedang  yang  masih  tersalut dalam
	sarungnya itu  seolah  sudah  turut  guncang.  Tampaknya  bagi
	Muslimin  perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal
	menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela
	hati.
 
	Sementara  mereka  dalam  keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar
	pula  berita  bahwa  Usman  tidak  terbunuh.  Dan  tidak  lama
	kemudian  disusul  pula  dengan  kedatangan  Usman  sendiri ke
	tengah-tengah mereka  itu.  Tetapi,  sungguhpun  begitu  Ikrar
	Ridzwan  ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar 'Aqaba
	Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat  Islam.  Nabi  sendiri
	senang   sekali  menyebutnya,  sebab  disini  terlihat  adanya
	pertalian    yang    erat    sekali    antara    dia    dengan
	sahabat-sahabatnya,    juga    memperlihatkan   betapa   benar
	keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut,  tanpa
	takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu
	takut  kepadanya.  Dia  malah  akan   hidup   dan   memperoleh
	kemenangan.

	Usman  kembali.  Apa  yang  di  katakan Quraisy disampaikannya
	kepada Muhammad.  Mereka  sudah  tidak  ragu-ragu  lagi  bahwa
	kedatangannya   dengan   sahabat-sahabatnya   itu  hanya  akan
	menunaikan ibadah haji. Mereka  juga  menyadari  bahwa  mereka
	tidak  melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang
	berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan
	tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid
	bin'l-Walid dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk
	ke  Mekah.  Dan  memang  sudah  terjadi  benterokan-benterokan
	antara anak buah  mereka  dengan  anak  buah  Muhammad.  Kalau
	sesudah  peristiwa  itu  mereka  membiarkannya masuk ke Mekah,
	kalangan Arab akan bicara bahwa mereka  sudah  kalah  menyerah
	kepadanya.  Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang
	Arab itu akan jatuh. Oleh karena  itu  dengan  maksud  menjaga
	kewibawaan  dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap
	bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia  juga
	memikirkan  seperti  mereka.  Dia  dan mereka, dengan sikapnya
	masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar
	dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau tidak,
	mau tidak mau tentu hanya jalan perang  yang  dapat  ditempuh.
	Tetapi  sebenarnya  dalam  bulan-bulan  suci mereka tidak mau;
	dari satu segi mereka menghormati  kesucian  agama,  dan  dari
	segi  lain,  bila  bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan
	terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu
	sudah  merasa  tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran
	kota itu, sebab kuatir bulan-bulan  suci  itu  akan  dilanggar
	lagi.  Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata
	pencarian penduduk kota itu.

	Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan  antara  kedua
	belah  pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail
	b. 'Amr dengan pesan:
 
	"Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia.  Dalam
	persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai
	ada  kalangan  Arab  mengatakan,  bahwa  dia  telah   berhasil
	memasuki tempat ini dengan kekerasan."
 
	Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan
	syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan.
	Sekali-sekali  pembicaraan  itu  hampir  saja  terputus,  yang
	kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua  belah  pihak
	sama-sama  ingin  mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling
	Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan- itu.
 
	Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi
	melihat  Suhail  yang  begitu  ketat  dalam  beberapa masalah,
	sedang Nabi menerimanya dengan cukup  memberikan  kelonggaran.
	Kalau  tidak  karena  kepercayaan  Muslimin yang mutlak kepada
	Nabi, kalau tidak karena iman  mereka  yang  teguh  kepadanya,
	niscaya  hasil  persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan
	mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke  Mekah  atau
	sebaliknya.

	Sampai  pada  akhir  perundingan  itu Umar bin'l-Khattab pergi
	menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:
 	Umar: "Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?"
 	Abu Bakr: "Ya, memang!"
 	Umar: "Bukankah kita ini Muslimin?"
 	Abu Bakr: "Ya, memang!"
 	Umar: "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?"
 	Abu Bakr: "Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia
	Rasulullah."
 
	Setelah   itu   Umar   kembali  menemui  Muhammad.  Diulangnya
	pembicaraan itu kepada  Muhammad  dengan  perasaan  geram  dan
	kesal.  Tetapi  hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan
	hati  Nabi.  Paling  banyak  yang  dikatakannya   pada   akhir
	pembicaraannya dengan Umar itu ialah:
 
	"Saya   hamba   Allah  dan  RasulNya.  Saya  takkan  melanggar
	perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
 
	                                  			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1