1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN (6/6)
Muhammad Husain Haekal
Dari sini dapat kita lihat bahwa sosialisma dalam Islam
bukanlah sosialisma harta serta pembagiannya, melainkan
sosialisma yang menyeluruh, yang dasarnya persaudaraan dalam
kehidupan rohani dan moral serta dalam kehidupan ekonomi.
Kalau seseorang belum sempurna imannya sebelum ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, maka imannya itu
pun memang tidak sempurna kalau tidak dapat ia turut mendukung
orang memberantas kemiskinan dan memberikan derma atau dana
untuk kemakmuran bersama, membagikan kekayaan sebagai karunia
Tuhan itu, baik dengan diketahui, atau tidak diketahui orang.
Makin besar cintanya kepada orang lain, makin dekat ia kepada
Tuhan. Dia sedikit pun merasa lebih gembira. Apabila Tuhan
telah membuat manusia itu bertingkat-tingkat, memberikan
rejeki kepada siapa saja yang dikehendakiNya serta menentukan
pula, maka manusia takkan lebih baik keadaannya kalau tak ada
rasa saling hormat, yang kecil menghormati yang lebih besar,
yang besar mencintai yang lebih kecil, si kaya mau memberi
untuk si miskin demi Allah semata, karena rasa syukur.
Rasanya tidak perlu kita menyebutkan lagi apa yang sudah
disebutkan Qur'an tentang sistem ekonomi, tentang waris,
tentang wasiat (testamen), tentang perjanjian-perjanjian,
perdagangan dan sebagainya. Dalam memberikan isyarat yang
singkat sekalipun mengenai masalah-masalah hukum atau
soal-soal kemasyarakatan, akan memerlukan ruangan sekian kali
lebih banyak dari pasal ini. Cukup kalau kita sebutkan saja,
bahwa apa yang sudah disebutkan dalam Qur'an sehubungan dengan
masalah-masalah tersebut kiranya sampai sekarang belum ada
suatu undang-undang yang lebih baik dari itu. Bahkan orang
akan terkejut sekali bila ia melihat adanya beberapa
penjelasan seperti perjanjian tertulis mengenai utang-piutang
sampai pada waktu tertentu kecuali dalam perdagangan, atau
seperti dalam mengirimkan dua orang juru pendamai jika
dikuatirkan akan terjadi perceraian antara suami isteri, atau
terhadap dua golongan yang sedang berperang dan pihak yang
menyerang dengan sewenang-wenang dan tidak mau diajak damai
itu harus diperangi sampai ia mau kembali kepada perintah
Tuhan - sungguh orang akan kagum sekali melihat semua ini.
Apalagi akan membandingkannya dengan berbagai macam
undang-undang yang pernah ada, kalau pun perundang-undangan
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diletakkan
Qur'an itu sudah memang cukup baik.
Jadi tidak mengherankan sekali - seperti yang sudah kita
sebutkan tentang riba dan tentang sosialisma Islam sebagai
dasar sistem ekonomi, yang dilukiskan di dalam Qur'an dengan
penjelasan hukum sebagai suatu penyusunan undang-undang yang
terbaik yang pernah ada dalam sejarah - kalau kebudayaan Islam
itu juga yang menjadi kebudayaan yang layak buat umat manusia
dan yang benar-benar akan memberikan hidup bahagia.
Setelah melihat apa yang sudah kita kemukakan mengenai lukisan
Qur'an tentang kebudayaan serta landasannya, mungkin ada
beberapa penulis Barat yang berpendapat bahwa sifat manusia
tidak sesuai dengan sistem yang hendak memaksanya ke tingkat
yang lebih tinggi diatas kemampuan kodratnya sendiri, dan
bahwa sistem demikian ini tidak akan mampu hidup atau akan
bertahan lama. Manusia menurut tanggapan mereka, digerakkan
oleh rasa harap dan cemas, oleh keinginan dan nafsu, sama
halnya dengan makhluk hewan, hanya saja dia makhluk berpikir
homo sapiens. Bahwa manusia akan menganut suatu sistem
kebudayaan seperti yang digambarkan oleh Islam itu, adalah
suatu hal yang tidak mungkin, sekurang-kurangnya tidak mudah.
Paling jauh yang dapat kita lakukan dalam menyusun kehidupan
masyarakat manusia ini ialah memperbaiki nafsu itu,
mengarahkan pikiran tentang harap dan cemas itu sebaik-baiknya
dari segi materialisma ekonomi semata. Sedang yang di luar itu
masyarakat tidak akan mampu melaksanakannya. Mungkin yang
menjadi alasan mereka ialah karena sistem Islam itu - seperti
yang digambarkan Qur'an dan sudah saya coba menguraikannya
disini secara ringkas - belum dapat diharapkan didalam
masyarakat Islam sendiri kecuali pada masa Nabi dan pada masa
permulaan sejarah Islam. Kalau sistem ini memang sesuai dengan
struktur kehidupan, tentu didalam lingkungan Islam dahulu
sudah dapat dijalankan dan dari sana akan sudah tersebar ke
seluruh dunia. Akan tetapi bilamana hal ini tidak terjadi,
bahkan sebaliknya yang terjadi, maka anggapan bahwa sistem ini
sangat layak, dan dapat menjamin kebahagiaan umat manusia,
adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Atas keberatan ini kiranya pengakuan mereka sendiri sudah
cukup untuk menggugurkannya, yaitu bahwa sistem Islam itu
berjalan dan dipraktekkan pada masa Nabi dan pada permulaan
sejarah Islam. Dan Muhammad sendiri teladan yang paling baik
dalam pelaksanaan itu. Kemudian teladan yang baik itu
diteruskan oleh para khalifah yang mula-mula. Mereka terus
berjalan dengan sistem itu sampai mencapai tujuan yang
sempurna sebagaimana mestinya. Akan tetapi, adanya
intrik-intrik dan ambisi-ambisi yang timbul kemudian kadang
dengan jalan Israiliat, kadang pula dengan jalan rasialisma,
itulah yang sedikit demi sedikit telah mengancam dasar-dasar
Islam yang sebenarnya.
Akibat daripada semua itu orang berangsur-angsur kembali
mengganti kehidupan rohani dengan materi, sifat kemanusiaan
dengan kebinatangan. Dan berhenti hanya sampai pada batas
lingkaran peradaban dewasa ini berada, yang hakekatnya hendak
menjerumuskan umat manusia kedalam penderitaan.
Muhammad sendiri teladan yang baik sekali dalam melaksanakan
kebudayaan seperti dilukiskan Qur'an itu. Dalam buku ini
contoh itu sudah kita lihat, bagaimana rasa persaudaraannya
terhadap seluruh umat manusia dengan cara yang sangat tinggi
dan sungguh-sungguh itu dilaksanakan. Saudara-saudaranya di
Mekah semua sama dengan dia sendiri dalam menanggung duka dan
sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak menanggungnya.
Sesudah hijrah ke Medinah, dipersaudarakannya orang-orang
Muhajirin dengan Anshar demikian rupa, sehingga mereka berada
dalam status saudara sedarah. Persaudaraan sesama orang-orang
beriman secara umum itu adalah persaudaraan kasih-sayang untuk
membangun suatu sendi kebudayaan yang masih muda waktu itu.
Yang memperkuat persaudaraan ini ialah keimanan yang
sungguh-sungguh kepada Allah dengan demikian kuatnya sehingga
dibawanya Muhammad kedalam komunikasi dengan Tuhan, Zat Yang
Maha Agung. Sikapnya dalam perang Badr, bagaimana ia berdoa
kepada Tuhan mengharapkan pertolongan yang dijanjikan
kepadanya. Ia minta pertolongan itu dilaksanakan, dengan
menyebutkan bahwa bilamana angkatan Badr ini hancur, tak ada
lagi ibadat. Ini merupakan suatu manifestasi yang kuat dalam
komunikasi.
Begitu juga tindakan-tindakannya yang lain diluar Badr
menunjukkan, bahwa dia selalu dalam komunikasi dengan Tuhan,
diluar saat-saat tertentu sewaktu wahyu turun. Komunikasinya
ini ialah melalui keimanannya dengan sungguh-sungguh, keimanan
yang sampai membuat mati itu tiada arti lagi. Maut malah
dihadapinya dan diharapkannya. Orang yang sungguh-sungguh
dalam imannya tidak pernah takut mati, bahkan mengharapkannya
selalu. Ajal sudah ditentukan. Dimana pun manusia berada, maut
akan mencapainya selalu, sekalipun di dalam benteng-benteng
yang kukuh. Iman inilah yang membuat Muhammad tetap tabah
ketika melihat kaum Muslimin lari tunggang-langgang pada
permulaan pecah perang Hunain. Dipanggilnya orang-orang itu
tanpa menghiraukan maut yang sedang mengepungnya, dengan
sejuinlah kecil orang-orang yang masih bertahan bersama-sama
dia. Iman inilah yang membuat dia memberikan apa saja yang ada
padanya tanpa ia sendiri takut kekurangan. Ia telah mencapai
puncak nilai-nilai kebaikan seperti yang diserukan oleh
Kitabullah.
Dengan teladan baik yang diberikannya itu dalam permulaan
sejarah Islam kaum Muslimin telah mengikuti jejaknya.
Semua itu, dengan Muslimin pada permulaan sejarah Islam, yang
telah mengikuti teladan baik yang diberikannya, telah membuat
Islam begitu pesat berkembang pada dasawarsa pertama, yang
kemudian disusul dengan berpulangnya Nabi ke rahmatullah.
Islam tersebar ke seluruh kawasan, panji-panji Islam berkibar
tinggi sesuai dengan kebudayaan yang berlaku. Dari
bangsa-bangsa yang tadinya sangat lemah dan berantakan, telah
dapat pula dibangun menjadi bangsa-bangsa dan negara-negara
yang kuat, dan menjadi pelopor ilmu pengetahuan. Dengan jalan
ini telah banyak sekali rahasia-rahasia alam yang dapat
diketahuinya. Karena itu diciptakannya pula karya-karya besar
yang menjadi kebanggaan zaman sekarang, yang sudah dianggap
sebagai zaman keemasan dan ilmu, tanpa memperkosa kebahagiaan
umat manusia karena pengabdiannya kepada materi dan imannya
kepada Tuhan yang masih lemah itu.
Seperti dalam kebudayaan lain, kebudayaan Islam juga banyak
dimasuki oleh ambisi-ambisi rasialisma dan Israiliat. Soalnya
ialah karena ada segolongan ulama yang seharusnya menjadi
pewaris para nabi malah mereka ini lebih menyukai kekuasaan
daripada kebenaran, daripada nilai moral. Ilmu yang ada pada
mereka dipakai alat untuk menyesatkan orang-orang awam dan
generasi mudanya, sama halnya dengan kebanyakan ulama-ulama
sekarang yang juga mau menyesatkan orang-orang awam beserta
angkatan mudanya itu. Ulama-ulama demikian ini ialah
pembela-pembela setan, yang akan lebih berat memikul
tanggungjõawab dihadapan Tuhan.
Maka kewajiban pertama buat setiap ulama yang benar-benar
ikhlas demi ilmu dan demi Tuhan, ialah harus siap melawan
mereka dan memberantas semua bibit yang merusak itu. Mereka
hendak membelokkan orang dari kebenaran, hendak menyesatkan
orang dari jalan yang lurus. Apabila ulama-ulama
(pendeta-pendeta) yang menyesatkan di Barat itu telah ikut
memegang peranan dalam melibatkan gereja dan ilmu kedalam
kancah saling berperang dalam merebut kekuasaan, maka peranan
demikian tidak ada buat mereka di negeri-negeri Islam, sebab
dalam kebudayaan Islam agama dan ilmu saling terjalin, sebab
agama tanpa ilmu suatu kekufuran, ilmu tanpa agama sesat.
Sekiranya dunia ini sampai bernaung dibawah kebudayaan Islam
seperti yang dilukiskan Qur'an, dan tidak diperkosa oleh
adanya penaklukan-penaklukan Mongolia dan yang semacamnya yang
telah masuk Islam tapi tidak menjalankan prinsip-prinsip Islam
atau berusaha menyebarkannya, malah Islam dipakainya sebagai
alat untuk menguasai orang-orang awam di kalangan Muslimin
dengan prinsip yang sama sekali bertentangan dengan
prinsip-prinsip persaudaraan Islam - tentu keadaan dunia ini
tidak akan seperti ini, umat manusia akan selamat dari
beberapa hal yang kini menjerumuskan mereka kedalam jurang
penderitaan.
Saya yakin, bahwa kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an itu
akan tersebar ke dunia luas kalau saja korps ulama ini mau
tampil ke depan dengan suatu ajakan yang ilmiah caranya, jauh
dari segala cara berpikir yang beku dan fanatik. Kebudayaan
ini akan berdialog dengan hati, juga akan berdialog dengan
pikiran, dan dapat dijamin manusia dari segala bangsa akan
menerimanya dengan hati terbuka tanpa dapat dicegah oleh
ambisi-ambisi pribadi. Untuk ini yang diperlukan oleh
ulama-ulama itu tidak lebih dari hanya supaya mereka menjadi
orang-orang yang benar-benar beriman, mengajak orang kepada
ajaran Tuhan yang sebenarnya dan kepada kebudayaan yang
demikian ini dengan hati yang ikhlas demi agama. Ketika itulah
orang merasa bahagia dengan persaudaraannya dalam Tuhan
seperti pada zaman Nabi, mereka merasa bahagia.
Apa yang terjadi pada masa Nabi dan pada permulaan sejarah
Islam sudah tidak memerlukan pembuktian lagi; dengan apa yang
sudah saya sebutkan dalam pengantar buku ini, bahwa revolusi
rohani yang sinarnya sudah dipancarkan oleh Muhammad ke
seluruh dunia ini sudah seharusnya akan membukakan jalan umat
manusia kepada kebudayaan baru yang selama ini dicarinya. Dan
saya tidak pernah ragu sekejap pun mengenai hal ini.
Akan tetapi ada beberapa sarjana Barat yang menyatakan
beberapa keberatan dengan menghubungkannya pada jiwa yang
menjadi sumber konsepsi kebudayaan Islam itu. Atas dasar itu
mereka mengambil kesimpulan, bahwa Islamlah yang menjadi sebab
mundurnya bangsa-bangsa yang menganut agama ini. Yang penting
diantaranya ialah apa yang mereka katakan, bahwa jabariah
Islam itulah yang membuat semangat umat Islam jadi kendor,
membuat mereka malas menghadapi perjuangan hidup, sehingga
mereka menjadi golongan yang hina-dina. Dalam menghadapi
tantangan ini dan apa yang sejalan dengan itu, inilah yang
akan menjadi pokok pembahasan kedua pada bagian penutup buku
ini.
Catatan kaki:
1 Lihat halaman xlvii (A).
2 Kata 'irfan dan ma'rifat yang kadang mempunyai arti
yang sama, disini kata ma'rifat tidak saya pergunakan
sebagai istilah ilmiah yang umum dalam tasauf dan ilmu
kalam, juga tidak saya salin dengan gnosis atau
connaissance, melainkan mengingat persoalannya
secara konotatif saya pergunakan kata persepsi, yakni
pengamatan, pengenalan dan kesadaran batin (A).
3 Sudah tentu terjemahan ayat-ayat Qur'an di atas
begitu juga yang lain tidak akan dapat mengungkapkan
keagungan dan keindahan yang terkandung dalam bahasa
aslinya, yang memang tidak mungkin dapat ditiru atau
diterjemahkan dengan gaya yang sama (A).
4 I'jaz, 'yang tak dapat ditiru,' ciri khas Qur'an yang
luar biasa, yang juga dari akar kata yang sama dengan
mujizat (A).
---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
Seri PUSTAKA ISLAM No.1
|