Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6 ]

	1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN            (5/6)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Jadi  pembinaan  sistem watak dan moral atas dasar untung-rugi
	ini  sewaktu-waktu  akan  menjerumuskannya   kedalam   bahaya.
	Sebaliknya,  apabila  pembinaannya  itu didasarkan atas sistem
	rohani seperti dirumuskan oleh Qur'an, ini akan menjamin tetap
	bertahan, takkan terpengaruh oleh sesuatu kelemahan. Niat yang
	menjadi pangkal bertolaknya perbuatan  ialah  dasar  perbuatan
	itu  dan sekaligus harus menjadi kriteriumnya pula. Orang yang
	membeli undian untuk Pembanguman sebuah rumahsakit,  ia  tidak
	membelinya   dengan  niat  hendak  beramal,  melainkan  karena
	mengharapkan keuntungan. Orang yang memberi karena  ada  orang
	yang  datang  meminta  secara  mendesak  dan ia memberi karena
	ingin melepaskan diri, tidak sama dengan  orang  yang  memberi
	karena kemauan sendiri, yaitu memberi kepada mereka yang tidak
	meminta secara mendesak, mereka yang  oleh  orang  yang  tidak
	mengetahui  dikira orang-orang yang berkecukupan karena mereka
	memang  tidak  mau  meminta-minta  itu.  Orang  yang   berkata
	sebenarnya   kepada  hakim  karena  takut  akan  sanksi  hukum
	terhadap seorang saksi palsu, tidak  sama  dengan  orang  yang
	berkata  sebenarnya karena ia memang yakin akan arti kebenaran
	itu. Juga  moral  yang  landasannya  perhitungan  untung  rugi
	kekuatannya  tidak  akan sama dengan moral yang sudah diyakini
	benar bahwa itu bertalian dengan  kehormatan  dirinya  sebagai
	manusia,  bertalian  dengan  keimanannya  kepada  Allah. Dalam
	hatinya sudah tertanam landasan rohani yang dasarnya  keimanan
	kepada Allah itu.

	Qur'an  tetap  menekankan,  bahwa  pikiran yang rasionil harus
	tetap  bersih,  jangan  dimasuki  oleh   sesuatu   yang   akan
	mempengaruhi  lukisan  iman  dan  watak  yang  indah itu. Oleh
	karenanya minuman keras dan judi itu dipandang  kotor  sebagai
	perbuatan  setan.  Kalaupun  ada  manfaatnya buat orang, namun
	dosanya lebih besar dari  manfaatnya.  Dengan  demikian  harus
	dijauhi.  Perjudian akan mengalihkan perhatian si penjudi dari
	persoalan lain, waktunya  akan  habis  dan  hiburan  ini  akan
	membuatnya  lupa dari segala kewajiban moral yang baik. Sedang
	minuman keras akan menghilangkan pikiran  dan  harta  -  untuk
	meminjam katakata Umar bin'l-Khattab, ketika ia berharap Tuhan
	akan memberikan  penjelasan  mengenai  hal  ini.  Sudah  wajar
	sekali  pikiran  yang  rasionil  itu  akan jadi sesat kalau ia
	hilang atau  berubah,  dan  kesesatan  itu  akan  lebih  mudah
	mendorong   orang   melakukan   perbuatan  rendah,  sebaliknya
	daripada akan menjauhkan diri dari kejahatan.
 
	Sistem moral yang dibawa Qur'an untuk 'negara utama' itu bukan
	dengan   tujuan  supaya  jiwa  manusia  samasekali  jauh  dari
	kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan, sehingga  karenanya  ia
	akan  hanyut  ke dalam hidup pertapaan dalam merenungkan alam,
	dan menyiksa diri dalam menuntut ilmu untuk itu. Sistem  moral
	ini  tidak  rela  membiarkan  manusia  menyerahkan diri kepada
	kesenangan supaya jangan ia tenggelam kedalam jurang kemewahan
	dan  karenanya  ia  akan melupakan segalanya. Bahkan moral ini
	hendak membuat manusia menjadi umat  pertengahan,  mengarahkan
	mereka  kepada  lembaga  budi  yang  lebih murni, lembaga yang
	mengenal alam dan segala isinya ini.

	Qur'an bicara tentang ciptaan Tuhan yang ada  dalam  alam  ini
	dengan  suatu  pengarahan yang hendak mengantarkan kita sejauh
	mungkin dapat kita  ketahui.  Ia  bicara  tentang  bulan  hari
	Pertama,  tentang matahari dan bulan, tentang siang dan malam,
	tentang bumi dan apa yang dihasilkan bumi, tentang langit  dan
	bintang-bintang  yang  menghiasinya,  tentang samudera, dengan
	kapal yang berlayar supaya kita dapat menikmati karunia Tuhan,
	tentang  binatang  untuk  beban  dan  ternak, tentang ilmu dan
	segala cabangnya yang terdapat dalam alam ini.  Qur'an  bicara
	tentang   semua   ini,   dan  menyuruh  kita  merenungkan  dan
	mempelajarinya, supaya kita menikmati segala  peninggalan  dan
	hasilnya  itu  sebagai  tanda  kita  bersyukur  kepada  Allah.
	Apabila Qur'an telah mengajarkan etika Qur'an kepada  manusia,
	menganjurkan  mereka  supaya  berusaha  terus untuk mengetahui
	segala yang ada dalam alam ini,  sudah  sepatutnya  pula  bila
	dari  pengamatan  mereka dengan jalan akal pikiran itu, mereka
	akan sampai ke tujuan sejauh yang dapat  ditangkap  oleh  akal
	pikirannya  itu. Sudah sepatutnya pula mereka membangun sistem
	ekonominya itu atas dasar yang sempurna.

	Sistem ekonomi yang  dibangun  atas  dasar  moral  dan  rohani
	seperti  yang  sudah  kita sebutkan itu, sudah seharusnya akan
	mengantarkan manusia ke dalam  hidup  bahagia,  dan  menghapus
	segala  penderitaan  dari muka bumi ini. Prinsip-prinsip agung
	yang oleh Qur'an ditekankan sekali supaya  ditanamkan  kedalam
	jiwa seperti di tempat akidah dan iman itu, akan membuat orang
	tidak sudi melihat masih adanya penderitaan di muka bumi  ini,
	atau  masih adanya kekurangan yang dapat diberantas tapi tidak
	dilakukan. Bagi orang yang  sudah  mendapat  ajaran  ini  yang
	pertama  sekali  akan ditolaknya ialah riba yang menjadi dasar
	kehidupan  ekonomi  dewasa  ini,  dan  yang   menjadi   sumber
	pendieritaan  seluruh  umat  manusia.  Oleh  karena itu Qur'an
	secara tegas sekali mengharamkan, seperti dalam firman Tuhan:

	"Mereka yang memakan riba tidak akan dapat berdiri, kalau  pun
	berdiri  hanya  akan  seperti orang yang sudah kemasukan setan
	karena penyakit gila." (Qur'an 2: 275)
 
	"Setiap riba yang kamu lakukan untuk menambah harta orang lain
	dalam pandangan Allah tidak akan dapat bertambah. Tetapi zakat
	yang kamu lakukan demi keridaan Allah, mereka  itu  yang  akan
	mendapat balasan berlipat ganda." (Qur'an 30: 39)
 
	Diharamkannya  riba  adalah  norma dasar untuk kebudayaan yang
	akan dapat  menjamin  kebahagiaan  dunia.  Bahaya  riba  dalam
	bentuknya  yang  paling  kecil  ialah ikut sertanya orang yang
	tidak bekerja dalam suatu hasil usaha orang lain hanya  karena
	ia  sudah meminjamkan uang kepadanya, dengan alasan lagi bahwa
	dengan meminjamkan itu ia sudah membantu orang lain memperoleh
	hasil  keuntungan itu. Sebaliknya kalau ini tidak dilakukan si
	peminjam tidak  akan  dapat  berusaha  dan  dengan  sendirinya
	takkan   dapat  memungut  keuntungan.  Kalau  hanya  ini  saja
	satu-satunya bentuk riba itu, ini pun takkan  dapat  dijadikan
	alasan.   Kalau   orang   yang   meminjamkan  uang  itu  mampu
	menjalankan sendiri, ia tidak akan meminjamkannya kepada orang
	lain,  dan  kalau  uang  itu  tetap  ditangannya sendiri tidak
	dijalankan  dalam  usaha,  maka  uang  itu  pun   tidak   akan
	mendatangkan  keuntungan.  Sebaliknya,  sedikit  demi  sedikit
	uangnya itu akan habis dimakan  pemiliknya  sendiri.  Jika  ia
	akan  meminta  bantuan  orang  lain menjalankan uangnya dengan
	bagi hasil  menurut  keuntungan  yang  akan  diperoleh,  tentu
	caranya  bukan  dengan  jalan dipinjamkan sebagai modal dengan
	laba tertentu, melainkan dengan cara si pemilik uang itu  ikut
	serta  dengan  orang  yang menjalankan uangnya atas dasar bagi
	untung. Kalau si pengusaha beruntung, maka  si  pemilik  modal
	itu  pun  akan mendapat bagian keuntungan; kalau rugi, dia pun
	akan  turut  memikul  kerugiannya.  Sebaliknya  kalau   kepada
	pemilik  modal  itu  akan ditentukan suatu laba, meskipun yang
	mengusahakan  tidak  mendapat  keuntungan  apa-apa,  maka  itu
	adalah  suatu  eksploitasi illegal, suatu pemerasan yang tidak
	sah.
 
	Dan  tidak  akan  dapat  terjadi   bahwa   harta   itu   dapat
	diperlakukan   seperti   yang  lain-lain,  dapat  dipersewakan
	seperti menyewakan tanah atau menyewakan hewan, dan bahwa laba
	uang  tunai  harus sesuai dengan hasil sewa barang-barang yang
	lain itu. Uang yang dapat dipakai untuk pengeluaran dan  dapat
	juga  dipakai  untuk  produksi,  yang  bisa dimanfaatkan untuk
	kebaikan dan juga dapat menimbulkan kejahatan  (dosa),  dengan
	harta  bergerak  dan  tidak  bergerak  lainnya,  besar  sekali
	perbedaannya. Orang yang  menyewa  tanah,  rumah,  hewan  atau
	barang  apa pun, tentu karena ingin dimanfaatkan, yang berarti
	akan sangat berguna buat dia, kecuali jika  dia  memang  orang
	bodoh  atau orang edan, yang segala gerak-geriknya sudah tidak
	lagi diperhitungkan orang.
 
	Sebaliknya yang mengenai uang modal,  yang  biasanya  dipinjam
	untuk    tujuan-tujuan    perdagangan   yang   sebaik-baiknya.
	Perdagangan itu senantiasa dihadapkan kepada soal untung  atau
	rugi.  Sedang mengenai sewa-menyewa barang-barang bergerak dan
	tidak bergerak untuk dijalankan dalam  usaha,  sedikit  sekali
	yang  mengalami kerugian, kecuali dalam keadaan yang abnormal,
	yang tidak masuk dalam keadaan biasa. Apabila keadaan abnormal
	ini  yang  terjadi,  maka  kekuasaan  hukum segera pula campur
	tangan antara si pemilik dengan  si  penyewa  -  seperti  yang
	sering   terjadi   dalam   semua   negara  di  dunia  -  untuk
	menghilangkan  ketidak  adilan  terhadap  si   penyewa   serta
	menolongnya  dari tindakan si pemilik yang hanya akan memungut
	laba dari usahanya itu. Sebaliknya,  dengan  menentukan  bunga
	uang  tunai,  dengan  lebih-kurang  7% atau 9%, maka ini tidak
	akan mengubah, bahwa si peminjam dapat terancam oleh  kerugian
	modal,  disamping kerugian usahanya sendiri. Apabila disamping
	itu dia masih juga lagi dituntut  dengan  bunga,  maka  inilah
	yang  disebut  kejahatan  (dosa).  Akibat ini akan menimbulkan
	permusuhan, sebaliknya daripada persaudaraan; akan menimbulkan
	kebencian,  bukan  cinta kasih. Inilah sumber kesengsaraan dan
	segala krisis yang diderita umat manusia dewasa ini.

	Kalau memang inilah bahaya riba dalam  bentuknya  yang  paling
	kecil,  dan  begitu  pula  akibat-akibat  yang timbul, apalagi
	dengan bentuk lain tatkala si pemberi pinjaman itu sudah lebih
	mendekati  binatang buas daripada manusia, atau sipeminjam itu
	sudah sangat membutuhkan  uang  di  luar  keperluan  penanaman
	modal  atau  produksi.  Adakalanya  ia sangat membutuhkan uang
	untuk  keperluan  nafkah  yang  konsumtif,   untuk   keperluan
	makannya  atau  makan  keluarganya. Ketika itulah perhatiannya
	hanya pada yang  lebih  mudah  saja  dulu,  sebelum  ia  dapat
	memegang  sesuatu  pekerjaan  yang  dapat  menjamin  keperluan
	hidupnya dan kemudian dapat  membayar  kembali  utangnya.  Ini
	sudah  merupakan  satu  tugas  perikemanusiaan sebagai langkah
	pertama. Dan ini pula yang dirumuskan  oleh  Qur'an.  Bukankah
	dalam  keadaan serupa ini pemberian pinjaman dengan riba sudah
	merupakan suatu kejahatan yang sama  dengan  pembunuhan?  Yang
	lebih  parah lagi dari kejahatan ini ialah adanya segala macam
	tipu-muslihat dengan  jalan  riba  itu  untuk  merampas  harta
	orang-orang  yang lemah, orang-orang yang tidak pandai menjaga
	hartanya. Tipu muslihat ini tidak kurang  pula  jahatnya  dari
	pencurian  yang  rendah.  Dan  setiap pelaku ke arah ini harus
	dihukum seperti pencuri atau lebih keras lagi.

	Riba adalah salah satu faktor yang turut  menjerumuskan  dunia
	ke  dalam  bencana penjajahan, dengan segala macam penderitaan
	yang ditimbulkan oleh penjajahan itu. Sebagian  besar  masalah
	penjaJahan  itu  dimulai  oleh sekelompok tukang-tukang riba -
	secara perseorangan atau dalam bentuk badan-badan usaha - yang
	mendatangi  beberapa  negara dengan memberikan pinjaman kepada
	penduduk. Kemudian mereka  menyusup  masuk  lebih  dalam  lagi
	sampai mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan. Bilamana
	kelak  anak  negeri  sudah  menyadari   kembali   dan   hendak
	mempertahankan  diri  dan  harta mereka, orang-orang asing itu
	cepat-cepat meminta bantuan negaranya. Negara ini pun kemudian
	masuk  atas  nama  hendak  melindungi  rakyatmya.  Kemudian ia
	menyusup juga masuk lebih dalam lagi,  lalu  berkuasa  sebagai
	penjajah.  Sekarang mereka sebagai yang dipertuan. Kemerdekaan
	orang lain dirampas.  Sebagian  besar  sumber-sumber  kskayaan
	negeri itu mereka kuasai. Dengan demikian kekayaan mereka jadi
	hilang, penderitaan mulai mencekam  seluruh  kawasan  itu  dan
	bayangan  kesengsaraan  sudah  pula merayap-rayap kedalam hati
	mereka. Pikiran mereka jadi  kacau,  moral  jadi  lemah,  iman
	mereka  pun mulai goyah. Martabat mereka jadi turun dari taraf
	manusia yang sebenarnya ke taraf yang lebih  hina,  yang  bagi
	orang   yang  beriman  kepada  Allah  tidak  akan  sudi  hidup
	demikian, sebab, hanya kepada Allah semata  orang  merendahkan
	diri dan harus mengabdi.
 
	Juga  penjajahan  itu  sumber  peperangan,  sumber penderitaan
	besar yang  sangat  menekan  kehidupan  seluruh  umat  manusia
	dewasa  ini.  Selama  ada  riba, selama ada penjajahan, jangan
	diharap manusia akan dapat kembali ke  masa  persaudaraan  dan
	saling  cinta  antara  sesamanya. Harapan akan kembali ke masa
	serupa itu tidak akan ada, kecuali jika kebudayaan atas  dasar
	yang  dibawa  oleh Islam dan diwahyukan dalam Qur'an itu dapat
	dibangun kembali.

	Didalam Qur'an ada konsepsi sosialisma yang belum lagi dibahas
	orang. Sosialisma ini tidak didasarkan kepada perang modal dan
	perjuangan  kelas,  seperti  yang  terdapat   sekarang   dalam
	sosialisma  Barat, melainkan dasarnya ialah karakter dan moral
	yang tinggi yang  akan  menjamin  adanya  persaudaraan  kelas,
	adanya  kerja-sama  dan  saling  bantu atas dasar kebaikan dan
	kebaktian, bukan kejahatan dan saling permusuhan. Tidak  sulit
	orang akan melihat landasan sosialisma atas dasar persaudaraan
	ini, seperti yang sudah ditentukan oleh Qur'an mengenai  zakat
	dan sedekah misalnya. Orang  dapat menilai, bahwa ini bukanlah
	sosialisma dengan dominasi suatu kelas atas kelas  yang  lain,
	atau   kekuasaan  suatu  golongan  atas  golongan  yang  lain.
	Kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an tidak  mengenal  adanya
	dominasi   atau   sikap   berkuasa,   melainkan   atas   dasar
	persaudaraan yang sungguh-sungguh yang didorong oleh keyakinan
	yang  kuat akan persaudaraan itu; suatu keyakinan yang membuat
	orang dengan mengingat karunia Tuhan itu mau memberi untuk  si
	miskin,  orang melarat, orany yang membutuhkan dan segala yang
	diperlukannya  akan  makanan,  tempat  tinggal,   obat-obatan,
	pengajaran  dan  pendidikan.  Mereka memberikan itu atas dasar
	keikhlasan dan kejujuran. Dengan  demikian  penderitaan  dapat
	dihilangkan, karunia Tuhan dan kebahagiaan dapat merata kepada
	umat manusia.

	Sosialisma Islam  ini  tidak  sampai  menghapuskan  hak  milik
	secara   mutlak,   seperti  halnya  dengan  sosialisma  Barat.
	Kenyataan  sudah  membuktikan  -  bolsyevisma  di  Rusia   dan
	negara-negara  sosialis lainnya - bahwa menghapuskan hak milik
	itu suatu hal yang tidak  mungkin.  Sungguhpun  begitu,  namun
	perusahaan-perusahaan negara harus tetap menjadi milik bersama
	untuk   kepentingan   semua    orang.    Mengenai    ketentuan
	perusahaan-perusahaan  negara itu terserah kepada negara. Oleh
	karena itu mengenai ketentuan ini  sejak  abad-abad  permulaan
	dalam  sejarah  Islam  sudah terdapat perbedaan pendapat. Dari
	kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri ada yang terlampau keras
	menjalankan  ketentuan  sosialisma  ini,  sehingga segala yang
	diciptakan Tuhan dijadikan milik bersama dan untuk kepentingan
	umum.  Mereka memandang tanah dan segala yang terkandung, sama
	dengan air dan udara, tidak boleh menjadi milik pribadi.  Yang
	boleh  dimiliki  hanya hasilnya, yang disesuaikan dengan usaha
	dan perjuangan masing-masing. Ada juga yang tidak  berpendapat
	demikian.  Mereka  menyatakan  bahwa  tanah boleh dimiliki dan
	dianggap sebagai barang-barang yang boleh dipertukarkan.

	Akan tetapi persetujuan yang sudah dicapai di kalangan  mereka
	ialah  sama  dengan  yang  berlaku  di  Eropa  sekarang, yaitu
	menentukan  bahwa  setiap  orang  harus   mencurahkan   segala
	kemampuannya  untuk  kepentingan  masyarakat,  dan  masyarakat
	harus pula berusaha, untuk kepentingan pribadi dalam mengatasi
	segala    keperluannya.    Setiap   Muslim   berhak   menerima
	kebutuhannya serta kebutuhan orang yang menjadi  tanggungannya
	dari  baitulmal  (perbendaharaan  negara)  Muslimin, selama ia
	belum  mendapat  pekerjaan  yang   akan   menjamin   keperluan
	hidupnya,  atau  selama  pekerjaan  yang dipegangnya itu tidak
	mencukupi keperluannya dan keperluan keluarganya.
 
	Selama norma-norma etik di dalam Qur'an  seperti  yang  sudah
	kita  sebutkan  itu dijalankan, maka tidak akan ada orang yang
	mau berdusta; tidak akan ada orang yang mau mengatakan,  bahwa
	ia  penganggur, padahal yang sebenarnya dia tidak mau bekerja,
	tidak akan ada orang yang mau  menyatakan,  bahwa  penghasilan
	dari  pekerjaannya  tidak  mencukupi, padahal sebenarnya sudah
	lebih dari cukup. Khalifah-khalifah pada masa permulaan  Islam
	dahulu  sudah mewajibkan diri menyelidiki sendiri keadaan umat
	Islam untuk kemudian dapat mengatasi  segala  keperluan  orang
	yang memang berada dalam kebutuhan.
 
	                                   			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1