Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6 ]

	1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN            (2/6)
	Muhammad Husain Haekal
 
	"Bahwasanya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian
	malam  dan  siang,  bahtera yang mengarungi lautan membawa apa
	yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan  Allah
	dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkanNya bumi
	yang sudah mati kering, kemudian  disebarkanNya  di  bumi  itu
	segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikemudikan
	dari antara langit dan bumi - adalah tanda-tanda (akan keesaan
	dan   kebesaran  Tuhan)  buat  mereka  yang  menggunakan  akal
	pikiran." (Qur'an, 2: 164)
 
	"Dan sebagai suatu tanda buat mereka,  ialah  bumi  yang  mati
	kering.  Kami  hidupkan  kembali  dan Kami keluarkan dari sana
	benih  yang  sebagian  dapat  dimakan.  Disana   Kami   adakan
	kebun-kebun  kurma  dan  palm  dan anggur dan disana pula Kami
	pancarkan mata air - supaya dapat mereka makan buahnya.  Semua
	itu  bukan  usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima
	kasih. Maha Suci Yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan
	bumi  berpasang-pasangan,  dan dalam diri mereka sendiri serta
	segala apa yang tiada mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda
	buat  mereka  -  ialah malam. Kami lepaskan siang, maka mereka
	pun berada  dalam  kegelapan.  Matahari  pun  beredar  menurut
	ketetapan  yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha
	Kuasa  dan  Maha  Tahu.  Juga  bulan,  sudah   Kami   tentukan
	tempat-tempatnya  sampai  ia  kembali lagi seperti mayang yang
	sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar  bulan  dan
	malam  pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan
	dalam peredarannya. Juga sebagai suatu  tanda  buat  mereka  -
	ialah  turunan  mereka yang Kami angkut dalam kapal yang penuh
	muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula yang  serupa,  yang
	dapat  mereka  kendarai.  Kalau  Kami kehendaki, Kami karamkan
	mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat
	diselamatkan.  Kecuali  dengan  rahmat  dari  Kami  dan  untuk
	memberikan kesenangan hidup sampai  pada  waktunya."  (Qur'an,
	36: 33-44.)

	Anjuran   supaya   memperhatikan  alam  ini,  menggali  segala
	ketentuan  dan  hukum  yang  ada  di  dalam  alam  ini   serta
	menjadikannya  sebagai  pedoman  yang  akan  mengantarkan kita
	beriman kepada  Penciptanya,  sudah  beratus  kali  disebutkan
	dalam  pelbagai  Surah dalam Qur'an. Semuanya ditujukan kepada
	tenaga akal  pikiran  manusia,  menyuruh  manusia  menilainya,
	merenungkannya,  supaya  imannya  itu  didasarkan  kepada akal
	pikiran, dan keyakinan yang jelas. Qur'an mengingatkan  supaya
	jangan menerima begitu saja apa yang ada pada nenek moyangnya,
	tanpa memperhatikan, tanpa meneliti lebih  jauh  serta  dengan
	keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya itu.

	Iman demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dan ini bukan
	iman yang biasa disebut  "iman  nenek-nenek,"  melainkan  iman
	intelektual  yang  sudah  meyakinkan,  yang  sudah direnungkan
	lagi, kemudian dipikirkan matang-matang, sesudah  itu,  dengan
	renungan  dan pemikirannya itu ia akan sampai kepada keyakinan
	tentang Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya rasa tak  ada  orang  yang
	sudah   dapat  merenungkan  dengan  akal  pikiran  dan  dengan
	hatinya,  yang  tidak  akan  sampai  kepada  iman.  Setiap  ia
	merenungkan  lebih  dalam,  berpikir  lebih  lama dan berusaha
	menguasai ruang dan waktu ini serta kesatuan  yang  terkandung
	di  dalamnya,  yang tiada berkesudahan, dengan anggota-anggota
	alam semesta  tiada  terbatas,  yang  selalu  berputar  ini  -
	sekelumit  akan  terasa  dalam dirinya tentang anggota-anggota
	alam itu, yang semuanya  berjalan  menurut  hukum  yang  sudah
	ditentukan   dan  dengan  tujuan  yang  hanya  diketahui  oleh
	penciptanya. Ia pun akan merasa yakin akan kelemahan  dirinya,
	akan  pengetahuannya  yang  belum  cukup,  jika  saja ia tidak
	segera dibantu dengan kesadarannya tentang alam  ini,  dibantu
	dengan   suatu   kekuatan  diatas  kemampuan  pancaindera  dan
	otaknya, yang akan  menghubungkannya  dengan  seluruh  anggota
	alam,  dan  yang akan membuat dia menyadari tempatnya sendiri.
	Dan kekuatan itu ialah iman.
 
	Jadi iman itu  ialah  perasaan  rohani,  yang  dirasakan  oleh
	manusia  meliputi  dirinya  setiap  ia  mengadakan  komunikasi
	dengan alam dan  hanyut  kedalam  ketak-terbatasan  ruang  dan
	waktu.  Semua  makhluk  alam  ini akan terjelma dalam dirinya.
	Maka dilihatnya semua itu berjalan menurut  hukum  yang  sudah
	ditentukan,  dan  dilihatnya  pula  sedang  memuja  Tuhan Maha
	Pencipta. Ada pun Ia menjelma dalam alam,  berhubungan  dengan
	alam, atau berdiri sendiri dan terpisah, masih merupakan suatu
	perdebatan spekulatif  yang  kosong  saja.  Mungkin  berhasil,
	mungkin  juga  jadi  sesat,  mungkin menguntungkan dan mungkin
	juga merugikan. Disamping itu  hal  ini  tidak  pula  menambah
	pengetahuan   kita.  Sudah  berapa  lama  penulis-penulis  dan
	failasuf-failasuf  itu  satu   sama   lain   berusaha   hendak
	mengetahui  zat  Maha Pencipta ini, namun usaha dan daya upaya
	mereka itu sia-sia. Dan ada  pula  yang  mengakui,  bahwa  itu
	memang berada di luar jangkauan persepsinya. Kalau memang akal
	yang sudah tak mampu mencapai  pengertian  ini,  maka  ketidak
	mampuannya  itu  lebih-lebih  lagi  memperkuat  keimanan kita.
	Perasaan  kita  yang  meyakinkan  tentang  adanya  Wujud  Maha
	Tinggi,  Yang  Maha Mengetahui akan segalanya dan bahwa Dialah
	Maha  Pencipta,  Maha  Perencana,   segalanya   akan   kembali
	kepadaNya,  maka  keadaan  semacam  itu  akan sudah meyakinkan
	kita, bahwa kita takkan mampu  menjangkau  zatNya  betapa  pun
	besarnya iman kita kepadaNya itu
 
	Demikian  juga, kalau sampai sekarang kita tak dapat menangkap
	apa sebenarnya listrik itu meskipun dengan mata  kita  sendiri
	kita  melihat  bekasnya,  begitu  juga  eter  yang  tidak kita
	ketahui meskipun sudah dapat  ditentukan,  bahwa  gelombangnya
	itu dapat inemindahkan suara dan gambar, pengaruh dan bekasnya
	itu buat kita sudah cukup untuk mempercayai adanya listrik dan
	adanya   eter.  Alangkah  angkuhnya  kita,  setiap  hari  kita
	menyaksikan keindahan dan  kebesaran  yang  diciptakan  Tuhan,
	kalau  kita  masih  tidak  mau percaya sebelum kita mengetahui
	zatNya. Tuhan Yang Maha Transenden jauh di luar jangkauan yang
	dapat  mereka  lukiskan.  Kenyataan  dalam  hidup  ialah bahwa
	mereka yang mencoba menggambarkan zat Tuhan Yang Maha Suci itu
	ialah   mereka  yang  dengan  persepsinya  sudah  tak  berdaya
	mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi dalam  melukiskan  apa
	yang  diatas  kehidupan  insan. Mereka ingin mengukur alam ini
	serta  Pencipta  alam  menurut  ukuran  kita  yang  nisbi  dan
	terbatas sekali dalam batas-batas ilmu kita yang hanya sedikit
	itu. Sebaliknya mereka yang sudah benar-benar  mencapai  ilmu,
	akan teringat oleh mereka firman Tuhan ini:
 
	"Mereka  bertanya  kepadamu  tentang  ruh.  Jawablah:  Ruh itu
	termasuk urusan Tuhan. Pengetahuan yang diberikan kepada  kamu
	itu hanya sedikit sekali." (Qur'an, 17: 85)

	Kalbu  mereka  sudah penuh dengan iman kepada Pencipta Ruh dan
	Pencipta semesta Alam ini,  sesudah  itu  tidak  perlu  mereka
	menjerumuskan diri ke dalam perdebatan spekulatif yang kosong,
	yang takkan memberi hasil, takkan mencapai suatu kesimpulan.
 
	Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman  oleh
	Qur'an dibedakan:
 
	"Orang-orang  Arab  badwi  itu  berkata: 'Kami sudah beriman.'
	Katakanlah 'Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami  sudah
	islam.'  Iman  itu  belum  lagi  masuk  ke  dalam  hati kamu."
	(Qur'an, 49: 14)
 
	Contoh Islam yang demikian ini ialah yang tunduk kepada ajakan
	orang  karena kehendaknya atau karena takut, karena kagum atau
	karena mengkultuskan diluar hati yang mau menurut dan memahami
	benar-benar akan ajaran itu sampai ke batas iman.
 
	Yang  demikian ini belum mendapat petunjuk Tuhan sampai kepada
	iman yang seharusnya dicapai, dengan  jalan  merenungkan  alam
	dan  mengetahui  hukum  alam,  dan  yang  dengan  renungan dan
	pengetahuannya  itu  ia  akan  sampai  kepada  Penciptanya   -
	melainkan  jadi  Islam  karena  suatu  keinginan  atau  karena
	nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh  karenanya  iman  itu
	belum merasuk lagi kedalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam.
	Manusia-manusia Muslim semacam  ini  ada  yang  hendak  menipu
	Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka
	sudah menipu diri sendiri dengan tiada  mereka  sadari.  Dalam
	hati  mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi
	penyakit mereka itu. Mereka itulah orang-orang beragama  tanpa
	iman; islamnya hanya karena didorong oleh suatu keinginan atau
	karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil, keyakinannya  tetap
	lemah  dan  hatinya  pun  bersedia  menyerah  kepada  kehendak
	manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka,  yang
	keimanannya kepada Allah itu dengan imam yang sungguh-sungguh,
	diantarkan oleh akal pikiran  dan  oleh  jantung  yang  hidup,
	dengan  jalan  merenungkan  alam ini, mereka itulah orang yang
	beriman.  Mereka  yang  akan  menyerahkan  persoalannya  hanya
	kepada Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah
	selain kepada Allah. Dengan Islamnya itu mereka tidak  memberi
	jasa apa-apa kepada orang.
 
	"Tetapi  sebenarnya  Tuhanlah yang berjasa kepada kamu, karena
	kamu telah dibimbingNya kepada  keimanan,  kalau  kamu  memang
	orang-orang yang benar." (Qur'an, 49: 17)
 
	Jadi barangsiapa menyerahkan diri patuh kepada Allah dan dalam
	pada itu melakukan perbuatan baik, mereka tidak  perlu  merasa
	takut,  tidak  usah  bersedih  hati.  Mereka  tidak takut akan
	menghadapi hidup miskin  atau  hina,  sebab  dengan  iman  itu
	mereka   sudah   sangat   kaya,  sangat  mendapat  kehormatan.
	Kehormatan yang ada pada Tuhan dan pada orang-orang beriman.
 
	Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya ini, ia merasa lega
	bila  selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia dan
	hukum-hukum  alam,  yang  berarti  akan  menambah  hubungannya
	dengan  Tuhan. Dan langkah kearah pengetahuan ini ialah dengan
	jalan membahas dan merenungkan segala ciptaan Tuhan  yang  ada
	dalam  alam  ini  dengan  cara  ilmiah seperti dianjurkan oleh
	Qur'an  dan  dipraktekkan  pula  sungguh-sungguh   oleh   kaum
	Muslimin  dahulu,  yaitu  seperti  cara  ilmiah yang modern di
	Barat sekarang. Hanya saja tujuannya  dalam  Islam  dan  dalam
	kebudayaan  Barat  itu  berbeda.  Dalam Islam tujuannya supaya
	manusia membuat hukum Tuhan dalam alam  ini  menjadi  hukumnya
	dan  peraturannya  sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah
	mencari keuntungan materi dan apa yang  ada  dalam  alam  ini.
	Dalam Islam tujuan yang pertama sekali ialah 'irfan - mengenal
	Tuhan  dengan  baik,  makin   dalam   'irfan   atau   persepsi
	(pengenalan)  kita  makin  dalam  pula iman kita kepada Tuhan.
	Tujuan ini ialah hendak mencapai 'irfan yang  baik  dari  segi
	seluruh  masyarakat,  bukan  dari  segi  pribadi saja. Masalah
	integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak  ada
	tempat  buat  orang  mengurung  diri  sebagai suatu masyarakat
	tersendiri. Bahkan  ia  seharusnya  menjadi  dasar  kebudayaan
	untuk  masyarakat  manusia sedunia - dari ujung ke ujung. Oleh
	karena  itu  seharusnya  umat  manusia  berusaha  terus   demi
	integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar
	daripada pengamatannya mengenai hakekat indera (sensibilia).
 
	Persepsi2 mengenai rahasia benda-benda  dan  hukum-hukum  alam
	yang  hendak  mencapai  integritas  itu  lebih  besar daripada
	persepsi sebagai alat  guna  mencapai  kekuasaan  materi  atas
	benda-benda itu.

	Untuk   mencapai   integritas  rohani  ini  tidak  cukup  kita
	bersandar hanya kepada logika kita saja, malah  dengan  logika
	itu  kita  harus  membukakan  jalan buat hati kita dan pikiran
	kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Hal ini  bisa  terjadi
	hanya   jika   manusia   mencari   pertolongan   dari   Tuhan,
	menghadapkan diri kepadaNya  dengan  sepenuh  hati  dan  jiwa.
	Hanya  kepadaNya  kita  menyembah  dan  hanya  kepadaNya  kita
	meminta pertolongan, untuk mencapai rahasia-rahasia  alam  dan
	undang-undang  kehidupan  ini.  Inilah  yang  disebut hubungan
	dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya  bertambah  kita
	mendapat  petunjuk  akan  apa  yang  belum kita capai, seperti
	dalam firman Tuhan:
 
	"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka
	(katakan)  Aku  dekat.  Aku  mengabulkan permohonan orang yang
	bermohon -  apabila  dia  bermohon  kepadaKu.  Maka  sambutlah
	seruanKu   dan   berimanlah   kepadaKu,   kalau-kalau   mereka
	terbimbing ke jalan yang lurus." (Qur'an 2: 186)

	"Dan  carilah  pertolongan  Tuhan  dengan  tabah,  dan  dengan
	menjalankan  sembahyang,  dan  sembahyang  itu  memang  berat,
	kecuali  bagi  orang-orang  yang  rendah  hati-kepada   Tuhan.
	Orang-orang  yang  menyadari  bahwa mereka akan bertemu dengan
	Tuhan dan kepadaNya mereka kembali." (Qur'an 2: 45-46)
 
	Salat  ialah  suatu  bentuk  komunikasi  dengan  Tuhan  secara
	beriman  serta  meminta pertolongan kepadaNya. Dengan demikian
	yang dimaksudkan dengan salat bukanlah sekadar ruku' dan sujud
	saja,  membaca  ayat-ayat  Qu'ran  atau mengucapkan takbir dan
	ta'zim demi  kebesaran  Tuhan  tanpa  mengisi  jiwa  dan  hati
	sanubari  dengan  iman,  dengan kekudusan dan keagungan Tuhan.
	Tetapi yang dimaksudkan dengan  salat  atau  sembahyang  ialah
	arti  yang  terkandung di dalam takbir, dalam pembacaan, dalam
	ruku', sujud serta segala keagungan, kekudusan dan  iman  itu.
	Jadi  beribadat  demikian kepada Tuhan ialah suatu ibadat yang
	ikhlas - demi Tuhan Cahaya langit dan bumi.
 
	"Kebaikan itu bukanlah karena kamu menghadapkan muka  ke  arah
	timur  dan  barat,  tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah
	beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, malaikat-malaikat,
	Kitab, dan para nabi serta mengeluarkan harta yang dicintainya
	itu untuk kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
	dan   orang   terlantar  dalam  perjalanan,  orang-orang  yang
	meminta, untuk melepaskan perbudakan,  mengerjakan  sembahyang
	dan   mengeluarkan   zakat,  kemudian  orang-orang  yang  suka
	memenuhi janji bila  berjanji,  orang-orang  yang  tabah  hati
	dalam  menghadapi  penderitaan  dan  kesulitan  dan  di  waktu
	perang. Mereka itulah orang-orang yang benar  dan  mereka  itu
	orang-orang yang dapat memelihara diri." (Qur'an, 2: 177)
 
	Orang  mukmin yang benar-benar beriman ialah yang menghadapkan
	seluruh kalbunya kepada Allah  ketika  ia  sedang  sembahyang,
	disaksikan   oleh   rasa   takwa   kepadaNya,   serta  mencari
	pertolongan Tuhan  dalam  menunaikan  kewajiban  hidupnya.  Ia
	mencari  petunjuk,  memohonkan  taufik  Allah  dalam  memahami
	rahasia dan hukum alam ini.
 
	Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah  tengah  ia
	sembahyang  akan  merasakannya  sendiri,  selalu  akan merasa,
	dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan  kebesaran
	Allah  Yang  Maha  Agung.  Apabila  kita dalam pesawat terbang
	diatas  ketinggian  seribu  atau  beberapa  ribu  meter,  kita
	melihat    gunung-gunung,   sungai   dan   kota-kota   sebagai
	gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita  melihatnya  terpampang
	di  depan  mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas
	sebuah peta dan seolah permukaannya sudah  rata  mendatar  tak
	ada  gunung  atau  bangunan yang lebih tinggi, tak ada ngarai,
	sumur   atau   sungai   yang   lebih    rendah,    warna-warna
	sambung-menyambung,  saling  berkait,  tercampur, makin tinggi
	kita terbang warna-warna itu  makin  tercampur.  Seluruh  bumi
	kita ini tidak lebih dari sebuah planet kecil saja. Dalam alam
	ini terdapat ribuan tata surya dan  planet-planet.  Semua  itu
	tidak  lebih  dari  sejumlah  kecil saja dalam ketakterbatasan
	seluruh  eksistensi  ini.  Alangkah  kecilnya  kita,  alangkah
	lemahnya  kcadaan kita berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus
	wujud ini. KebesaranNya diatas jangkauan pengertian kita!
 
	Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita dengan penuh ikhlas
	kepada  Kebesaran  Tuhan  Yang  Maha  Suci,  kita mengharapkan
	pertolongan kepadaNya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan
	diri  kita  ini,  memberi  petunjuk  dalam mencari kebenaran -
	alangkah wajarnya bila  kita  dapat  melihat  persamaan  semua
	manusia  dalam  kelemahannya itu, yang dalam berhadapan dengan
	Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan  kekayaan,
	selain  dengan  imannya  yang  teguh  dan  tunduk hanya kepada
	Allah, berbuat kebaikan dan menjaga diri.

	Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna ini di hadapan  Tuhan
	tidak  sama  dengan  persamaan  yang biasa disebut-sebut dalam
	kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini,  yaitu  persamaan
	di  hadapan  hukum. Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang
	persamaan, sehingga hampir-hampir pula tidak  lagi  diakui  di
	depan  hukum.  Buat  orang-orang  tertentu sudah tidak berlaku
	lagi  untuk  menghormatinya.  Persamaan  di   hadapan   Tuhan,
	persamaan   yang   kenyataannya   dapat  kita  rasakan  dikala
	sembahyang, yang dapat kita capai dengan pandangan  kita  yang
	bebas  -  tidak  sama  dengan persamaan dalam persaingan untuk
	mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang  melakukan
	segala  tipu-daya  dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih
	pandai mengelak dan bisa main, ia akan selamat dari  kekuasaan
	hukum.
 
	Persamaan  dihadapan Allah ini menuju kepada persaudaraan yang
	sebenarnya, sebab semua orang  dapat  merasakan  bahwa  mereka
	sebenarnya  bersaudara  dalam berihadat kepada Allah dan hanya
	kepadaNya  mereka   beribadat.   Persaudaraan   demikian   ini
	didasarkan  kepada  saling  penghargaan  yang  sehat, renungan
	serta pandangan yang bebas  seperti  dianjurkan  oleh  Qur'an.
	Adakah  kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar
	daripada umat ini di hadapan Allah, semua  menundukkan  kepala
	kepadaNya,  bertakbir,  ruku'  dan  bersujud.  Tiada perbedaan
	antara satu dengan yang lain - semua mengharapkan pengampunan,
	bertaubat,  mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara
	mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh  (perbuatan
	baik) serta perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga
	diri dari kejahatan.  Persaudaraan  yang  demikian  ini  dapat
	membersihkan   hati  dari  segala  noda  materi  dan  menjamin
	kebahagiaan  manusia,  juga  akan  mengantarkan  mereka  dalam
	memahami  hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk
	dalam cahaya Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.
 
	Tidak semua orang sama kemampuannya dalam  melakukan  baktinya
	sebagaimana   diperintahkan   Allah.   Adakalanya  tubuh  kita
	membebani jiwa kita, sifat  materialisma  kita  dapat  menekan
	sifat  kemanusiaan  kita,  kalau  kita tidak melakukan latihan
	rohani secara tetap,  tidak  menghadapkan  kalbu  kita  kepada
	Allah  selama  dalam  salat kita; dan sudah cukup hanya dengan
	tatatertib sembahyang, seperti ruku', sujud dan bacaan-bacaan.
	Oleh  karena  itu  harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan
	daya tubuh yang terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma
	yang  sangat  menekan sifat kemanusiaan. Untuk itu Islam telah
	mewajibkan  puasa  sebagai  suatu  langkah  mencapai  martabat
	kebaktian (takwa) itu seperti dalam firman Tuhan:
 
	"Orang-orang  beriman!  Kepadamu  telah  diwajibkan  berpuasa,
	seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka yang  sebelum
	kamu,  supaya kamu bertakwa - memelihara diri dari kejahatan."
	(Qur'an, 2: 183)
 
	Bertakwa dan berbuat baik (birr) itu sama. Yang  berbuat  baik
	orang  yang  bertakwa  dan  yang berbuat baik ialah orang yang
	beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab  dan
	para nabi dan diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan.
 
	                                    			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1