Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 | Bag. 5 | Bag. 6 ]

1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN  

Dua kebudayaan: Islam dan Barat - 649; Pertentangan gereja dan negara - 649; Sistem ekonomi dasar kebudayaan Barat - 650; Kisah kebudayaan Barat mencari kebahagiaan umat manusia - 651; Dasar kebudayaan Islam - 652; Dalam Islam tak ada pertentangan agama dengan negara - 654; Dalam segala hal akallah patokan dalam Islam - 655; Kekuatan iman - 657; Iman kepada Allah - 657; Iman dasar Islam - 659; Dengan mencari pertolongan Tuhan sampai kepada alam - 661; Sembahyang - 661; Persamaan di hadapan Tuhan - 663; Puasa bukan suatu tekanan - 665; Zakat - 667; Lembaga zakat - 669; Cinta harta - 670; Ibadah haji - 671; Norma-norma etik dalam Islam - 672; Insan Kamil dalam Qur'an - 673; Qur'an dan budi-pekerti - 675; Sistem moral - 677; Arti larangan minuman keras dan judi - 679; Qur'an dan ilmu pengetahuan - 680; Sistem ekonomi - 680; Larangan riba - 681; Bahaya riba yang lain - 682; Riba dan penjajahan - 683; Sosialisma Islam - 684; Tidak menghapuskan hak milik secara mutlak - 684; Sistem sosialisma yang sudah mantap - 685; Sosialisma dasarnya persaudaraan - 685; Mungkin ada yang menjadi keberatan pihak Barat - 687; Keberatan yang salah - 687; Teladan yang diberikan Muhammad - 688; Ulama yang menyesatkan - 689; Kebudayaan Islam dalam dunia kita sekarang - 690.

	          
 
	   MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung,
	   yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada
	   kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu.
	   Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan
	   cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi
	   pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian,
	   bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah
	   karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan
	   dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin
	   kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah
	   dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan
	   itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi
	   terpisahkan.
 
	Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda
	ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama
	seperti yang  menjadi  pegangan  kebudayaan  Barat  masa  kita
	sekarang,  dan  kalau  pun  sebagai agama Islam berpegang pada
	pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran  metafisika  namun
	hubungan   antara   ketentuan-ketentuan   agama  dengan  dasar
	kebudayaan  itu  erat  sekali.  Soalnya  ialah   karena   cara
	pemikiran  yang  metafisik dan perasaan yang subyektif di satu
	pihak,  dengan  kaidah-kaidah  logika   dan   kemampuan   ilmu
	pengetahuan  di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu
	ikatan, yang mau tidak mau memang perlu  dicari  sampai  dapat
	ditemukan,  untuk  kemudian  tetap  menjadi orang Islam dengan
	iman yang kuat pula. Dari segi ini  kebudayaan  Islam  berbeda
	sekali  dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia,
	juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya
	berbeda.  Perbedaan  kedua  kebudayaan  ini,  antara yang satu
	dengan  yang  lain  sebenarnya  prinsip  sekali,  yang  sampai
	menyebabkan  dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak
	belakang.

	Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah,
	seperti  sudah  kita singgung dalam prakata dan kata pengantar
	cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan
	agama  dan  kekuasaan  temporal1  sebagai bangsa yang menganut
	agama Kristen   atau dengan bahasa sekarang     antara  gereja
	dengan negara     menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan
	kekuasaan  negara  harus  ditegakkan  untuk   tidak   mengakui
	kekuasaan  gereja.  Adanya  konflik  kekuasaan  itu  ada  juga
	pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara  keseluruhan.  Akibat
	pertama  dari  pengaruh  itu  ialah  adanya  permisahan antara
	perasaan manusia  dengar  pikiran  manusia,  antara  pemikiran
	metafisik  dengan  ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge
	of   reality)   yang   berlandaskan   tinjauan   materialisma.
	Kemenangan  pikiran  materialisma ini besar sekali pengaruhnya
	terhadap lahirnya suatu  sistem  ekonomi  yang  telah  menjadi
	dasar utama kebudayaan Barat.

	Sebagai  akibatnya,  di  Barat telah timbul pula aliran-aliran
	yang hendak membuat segala yang ada di muka  bumi  ini  tunduk
	kepada  kehidupan  dunia  ekonomi.  Begitu  juga tidak sedikit
	orang rang ingin menempatkan sejarah umat  manusia  dari  segi
	agamanya,  seni,  f1lsafat, cara berpikir dan pengetahuannya -
	dalam segala pasang surutnya pada  berbagai  bangsa  -  dengan
	ukuran  ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah
	dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat  telah
	pula  membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini
	semata-mata. Sungguh  pun  aliran-aliran  demikian  ini  dalam
	pemikirannya  sudah  begitu  tinggi  dengan daya ciptanya yang
	besar sekali, namun perkembangan pikiran di  Barat  itu  telah
	membatasinya  pada  batas-batas  keuntungan materi yang secara
	kolektif dibuat oleh pola-pola etik  itu  secara  keseluruhan.
	Dan  dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu
	keharusan yang sangat mendesak.
 
	Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah  spiritual,  dalam
	pandangan  kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata,
	orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh
	karenanya  membiarkan  masalah kepercayaan ini secara bebas di
	Barat merupakan suatu hal  yang  diagungkan  sekali,  melebihi
	kebebasan   dalam   soal   etik.   Sudah  begitu  rupa  mereka
	mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi
	yang   sudah   sama   sekali   terikat   oleh   undang-undang.
	Undang-undang ini akan dilaksanakan  oleh  tentara  atau  oleh
	negara dengan segala kekuatan yang ada.

	Kebudayaan  yang  hendak  menjadikan kehidupan ekonomi sebagai
	dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan  pula  pada  kehidupan
	ekonomi  itu  dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan
	dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat  manusia
	mencapai   kebahagiaan  seperti  yang  dicita-citakannya  itu,
	menurut  hemat  saya  tidak  akan  mencapai   tujuan.   Bahkan
	tanggapan  terhadap  hidup  demikian ini sudah sepatutnya bila
	akan menjerumuskan umat manusia  ke  dalam  penderitaan  berat
	seperti  yang  dialami  dalam  abad-abad belakangan ini. Sudah
	seharusnya pula apabila segala pikiran  dalam  usaha  mencegah
	perang  dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa
	arti dan hasilnya pun tidak  seberapa.  Selama  hubungan  saya
	dengan  saudara  dasarnya  adalah sekerat roti yang saya makan
	atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar
	untuk  itu,  masing-masing  berpendirian  atas  dasar kekuatan
	hewaninya,  maka  akan  selalu  kita  masing-masing   menunggu
	kesempatan  baik  untuk  secara  licik memperoleh sekerat roti
	yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain
	akan  selalu  melihat  teman  itu sebagai lawan, bukan sebagai
	saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini  akan
	selalu  bersifat  hewani,  sekali  pun masih tetap tersembunyi
	sampai pada waktunya nanti ia akan timbul.  Yang  selalu  akan
	menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan.
	Sementara arti perikemanusiaan  yang  tinggi,  prinsip-prinsip
	akhlak  yang  terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan
	akan jatuh tergelincir, dan  hampir-harnpir  sudah  tak  dapat
	dipegang lagi.
 
	Apa  yang  terjadi  dalam  dunia  dewasa  ini ialah bukti yang
	paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu.  Persaingan  dan
	pertentangan  ialah  gejala  pertama dalam sistem ekonomi, dan
	itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik  dalam
	paham  yang  individualistis,  maupun  sosialistis  sama  saja
	adanya. Dalam  paham  individualisma,  buruh  bersaing  dengan
	buruh,  pemilik  modal  dengan  pemilik  modal.  Buruh  dengan
	pemilik  modal  ialah  dua   lawan   yang   saling   bersaing.
	Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan
	pertentangan ini akan membawa  kebaikan  dan  kemajuan  kepada
	umat  manusia.  Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya
	bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja,  dan
	akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan.
 
	Sebaliknya  paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan
	kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan  berada  di  tangan
	kaum  buruh,  merupakan  salah  satu  keharusan  alam.  Selama
	persaingan dan perjuangan mengenai harta itu  dijadikan  pokok
	kehidupan,  selama  pertentangan  antar-kelas  itu wajar, maka
	pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang  sama
	seperti   pada   perjuangan   kelas.   Dari  sinilah  konsepsi
	nasionalisma itu, dengan  sendirinya,  memberi  pengaruh  yang
	menentukan   terhadap   sistem   ekonomi.  Apabila  perjuangan
	bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila  adanya
	penjajahan  untuk  itu  wajar  pula,  bagaimana mungkin perang
	dapat dicegah dan perdamaian  di  dunia  dapat  dijamin?  Pada
	menjelang  akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan -
	dan masih dapat kita  saksikan  -  adanya  bukti-bukti,  bahwa
	perdamaian  di  muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam
	ini hanya dalam impian saja dapat  dilaksanakan,  hanya  dalam
	cita-cita  yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada
	lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka.

	Kebudayaan Islam  lahir  atas  dasar  yang  bertolak  belakang
	dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang
	mengajak  manusia  supaya  pertama  sekali   dapat   menyadari
	hubungannya  dengan  alam  dan tempatnya dalam alam ini dengan
	sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah  sampai  ke
	batas  iman,  maka  imannya  itu  mengajaknya  supaya ia tetap
	terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan  hatinya
	selalu,  mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip
	yang lebih luhur - prinsip-prinsip harga  diri,  persaudaraan,
	cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip
	inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan  ekonominya.  Cara
	bertahap  demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
	wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad,  yakni  mula-mula
	kebudayaan  rohani,  dan  sistem kerohanian disini ialah dasar
	sistem pendidikan serta dasar  pola-pola  etik  (akhlak).  Dan
	prinsip-prinsip  etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak
	dapat dibenarkan tentunya dengan  cara  apa  pun  mengorbankan
	prinsip-prinsip  etik  ini  untuk  kepentingan  sistem ekonomi
	tadi.
 
	Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut  hemat
	saya  ialah  tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang
	akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini  yang  ditanamkan
	dalam  jiwa  kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat
	itu kesana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu  akan
	berubah,  prinsip-prinsip  yang  selama  ini  menjadi pegangan
	orang  akan  runtuh,  dan   sebagai   gantinya   akan   timbul
	prinsip-prinsip  yang  lebih  luhur, yang akan dapat mengobati
	krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya  yang
	lebih cemerlang.
 
	Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi
	krisis ini, tanpa mereka sadari - dan  kaum  Muslimin  sendiri
	pun   tidak  pula  menyadari  -  bahwa  Islam  dapat  menjamin
	mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini  sedang  mencari
	suatu  pegangan  rohani  yang  baru, yang akan dapat menanting
	mereka dari paganisma yang sedang  menjerumuskan  mereka;  dan
	sebab   timbulnya   penderitaan   mereka  itu,  penyakit  yang
	menancapkan mereka ke dalam kancah  peperangan  antara  sesama
	mereka,   ialah   mammonisma   -   penyembahan  kepada  harta.
	Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu  didalam  beberapa
	ajaran  di  India  dan  di  Timur Jauh; padahal itu akan dapat
	mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati  itu
	sudah ada ketentuannya didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan
	indah sekali dengan teladan yang sangat  baik  diberikan  oleh
	Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.
 
	Bukan  maksud  saya  hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan
	segala ketentuannya itu disini. Lukisan  demikian  menghendaki
	suatu  pembahasan  yang  mendalam,  yang  akan  meminta tempat
	sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi -  setelah
	dasar  rohani  yang  menjadi  landasannya  itu  saya  singgung
	seperlunya  -  lukisan  kebudayaan  itu  disini   ingin   saya
	simpulkan,  kalau-kalau  dengan  demikian  ajaran  Islam dalam
	keseluruhannya  dapat   pula   saya   gambarkan   dan   dengan
	penggambaran  itu  saya akan merambah jalan ke arah pembahasan
	yang lebih dalam lagi.  Dan  sebelum  melangkah  ke  arah  itu
	kiranya  akan  ada  baiknya juga saya memberi sekadar isyarat,
	bahwa  sebenarnya  dalam  sejarah   Islam   memang   tak   ada
	pertentangan   antara   kekuasaan   agama  (theokrasi)  dengan
	kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini
	dapat   menyelamatkan   Islam  dari  pertentangan  yang  telah
	ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.

	Islam  dapat  diselamatkan  dari  pertentangan  serta   segala
	pengaruhnya  itu,  sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa
	yang namanya gereja itu  atau  kekuasaan  agama  seperti  yang
	dikenal  oleh  agama  Kristen.  Belum  ada  orang  di kalangan
	Muslimin  -  sekalipun  ia  seorang  khalifah  -   yang   akan
	mengharuskan  sesuatu  perintah kepada orang, atas nama agama,
	dan akan mendakwakan dirinya mampu  memberi  pengampunan  dosa
	kepada  siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada
	di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang  khalifah  -  yang
	akan  mengharuskan  sesuatu  kepada  orang  selain  yang sudah
	ditentukan Tuhan di dalam Qur'an.  Bahkan  semua  orarg  Islam
	sama  di  hadapan  Tuhan.  Yang seorang tidak lebih mulia dari
	yang  lain,  kecuali  tergantung  kepada  takwanya  -   kepada
	baktinya.  Seorang  penguasa  tidak  dapat  menuntut kesetiaan
	seorang Muslim apabila dia sendiri  melakukan  perbuatan  dosa
	dan  melanggar  penntah  Tuhan.  Atau  seperti  kata  Abu Bakr
	ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin  dalam  pidato  pelantikannya
	sebagai  Khalifah  "Taatilah  saya  selama  saya  taat  kepada
	(perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila  saya  melanggar
	(perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada
	saya."
 
	Kendatipun  pemerintahan  dalam  Islam  sesudah  itu  kemudian
	dipegang  oleh  seorang  raja  tirani,  kendatipun di kalangan
	Muslimin pernah timbul perang  saudara,  namun  kaum  Muslimin
	tetap  berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang
	sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan
	akal  sebagai  patokan  dalam  segala  hal,  bahkan  dijadikan
	patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini  tetap
	mereka   pegang   sekalipun   sampai   pada   waktu  datangnya
	penguasa-penguasa  orang-orang  Islam  yang  mendakwakan  diri
	sebagai  pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai
	pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin  sudah
	mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
 
	Sebagai  bukti  misalnya  apa  yang  sudah  terjadi  pada masa
	Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau
	bukan  makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak
	sekali orang  yang  menentang  pendapat  Khalifah  waktu  itu,
	padahal  mereka  mengetahui akibat apa yang akan mereka terima
	jika berani menentangnya.

	Dalam segala hal  akal  pikiran  oleh  Islam  telah  dijadikan
	patokan.  Juga  dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan.
	Dalam firman Tuhan:
 
	"Perumpamaan orang-orang  yang  tidak  beriman  ialah  seperti
	(gembala)  yang  meneriakkan  (ternaknya) yang tidak mendengar
	selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu  dan
	buta,  sebab  mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an,
	2: 171)
 
	Oleh Syaikh Muhammad  Abduh  ditafsirkan,  dengan  mengatakan:
	"Ayat  ini  jelas  sekali  menyebutkan, bahwa taklid (menerima
	begitu  saja)  tanpa  pertimbangan  akal  pikiran  atau  suatu
	pedoman  ialah  bawaan  orang-orang tidak beriman. Orang tidak
	bisa beriman kalau agamanya  tidak  disadari  dengan  akalnya,
	tidak  diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang
	dibesarkan dengan biasa menerima begitu  saja  tanpa  disadari
	dengan  akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan,
	meskipun perbuatan yang baik, tanpa  diketahuinya  benar,  dia
	bukan  orang  beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya
	orang  merendah-rendahkan  diri  melakukan  kebaikan   seperti
	binatang  yang  hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat
	meningkatkan daya akal  pikirannya,  dapat  meningkatkan  diri
	dengan  ilmu  pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu
	benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya  itu  memang  berguna,
	dapat  diterima  Tuhan.  Dalam meninggalkan kejahatan pun juga
	dia mengerti benar bahaya dan  berapa  jauhnya  kejahatan  itu
	akan membawa akibat."
 
	Inilah  yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan
	ayat ini, yang di dalam Qur'an,  selain  ayat  tersebut  sudah
	banyak  pula  ayat-ayat  lain  yang  disebutkan  secara  jelas
	sekali. Qur'an menghendaki  manusia  supaya  merenungkan  alam
	semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang
	kelak  renungan  demikian  itu  akan  mengantarkannya   kepada
	kesadaran  tentang  wujud  Tuhan,  tentang keesaanNya, seperti
	dalam firman Allah:
	                                    			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1