Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 ]

SEJARAH PEMBENTUKAN MUSHAF AL-QUR'AN
MENURUT AHLI SEJARAH NON-MUSLIM                        (1/2)
MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL                        
                                
 
PENDAPAT MUIR
 
Sebenarnya apa yang diterangkan kaum  Orientalis  dalam  hal
ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh
Sir William Muir dalam The Life of  Mohammad  supaya  mereka
yang  sangat  berlebih-lebihan  dalam  memandang sejarah dan
dalam memandang diri mereka yang  biasanya  menerima  begitu
saja   apa   yang  dikatakan  orang  tentang  pemalsuan  dan
perubahan Qur'an itu, dapat  melihat  sendiri.  Muir  adalah
seorang  penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah
untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan  setiap
kesempatan  melakukan  kritik  terhadap Nabi dan Qur'an, dan
berusaha memperkuat kritiknya.
 
Ketika bicara tentang  Qur'an  dan  akurasinya  yang  sampai
kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:
 
"Wahyu  Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa
ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang
bersifat  umum  atau  khusus. Melakukan pembacaan ini adalah
wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik
yang  akan  mendapat  pahala  bagi yang melakukannya. Inilah
sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan  itu  pula
yang  telah  diberitakan  oleh  wahyu.  Oleh karena itu yang
hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu  banyak
sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka
pada awal masa kekuasaan Islam itu ada  yang  dapat  membaca
sampai  pada  ciri-cirinya  yang  khas.  Tradisi  Arab telah
membantu pula mempermudah pekerjaan  ini.  Kecintaan  mereka
luar  biasa  besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang
datang  dari  para  penyairnya  tidak  mudah  dicapai,  maka
seperti  dalam  mencatat  segala  sesuatu  yang  berhubungan
dengan nasab keturunan  dan  kabilah-kabilah  mereka,  sudah
biasa  pula  mereka  mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran
hati mereka sendiri. Oleh karena  itu  daya  ingat  (memori)
mereka  tumbuh  dengan  subur. Kemudian pada masa itu mereka
menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.
Begitu  kuatnya  daya  ingat  sahabat-sahabat Nabi, disertai
pula  dengan  kemauan  yang  luar  biasa  hendak  nnenghafal
Qur'an,  sehingga  mereka,  bersama-sama  dengan  Nabi dapat
mengulang kembali dengan ketelitian yang  meyakinkan  sekali
segala  yang  diketahui  dari  pada  Nabi  sampai pada waktu
mereka membacanya itu."
 
"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas  daya
ingatnya   itu,  kita  juga  bebas  untuk  tidak  melepaskan
kepercayaan kita  bahwa  kumpulan  itu  adalah  satu-satunya
sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin,
bahwa sahabat-sahabat Nabi  menulis  beberapa  macam  naskah
selama  masa  hidupnya  dari  berbagai  macam  bagian  dalam
Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
itu  ditulis.  Pada  umumnya  tulis-menulis  di  Mekah sudah
dikenal orang jauh sebelum masa  kerasulan  Muhammad.  Tidak
hanya  seorang  saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan  perang  Badr  yang
dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang
jauh sebelum masa kerasulan Muhammad.  Tidak  hanya  seorang
saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat  mengajarkan
tulis-menulis   kepada   kaum  Anshar  di  Medinah,  sebagai
imbalannya  mereka  dibebaskan.  Meskipun  penduduk  Medinah
dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
juga  di  antara  mereka  yang  pandai  tulis-menulis  sejak
sebelum  Islam.  Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah
saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa  ayat-ayat
yang  dihafal  menurut  ingatan  yang sangat teliti itu, itu
juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."
 
"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah  mengutus
seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah
menganut Islam,  supaya  mengajarkan  Qur'an  dan  mendalami
agama.  Sering  pula  kita  membaca, bahwa ada utusan-utusan
yang    pergi    membawa    perintah    tertulis    mengenai
masalah-masalah  agama  itu.  Sudah tentu mereka membawa apa
yang  diturunkan  oleh  wahyu,  khususnya  yang  berhubungan
dengan  upacara-upacara  dan peraturan-peraturan Islam serta
apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."
 
PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI
 
"Qur'an  sendiripun  menentukan  adanya  itu  dalam   bentuk
tulisan.  Begitu  juga  buku-buku  sejarah  sudah menentukan
demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar,  tentang
adanya   sebuah   naskah  Surat  ke-20  [Surah  Taha]  milik
saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk  Islam
tiga  atau  empat  tahun  sebelum  Hijrah.  Kalau  pada masa
permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling  dipertukarkan,
tatkala  jumlah  kaum  Muslimin  masih sedikit dan mengalami
pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan  sekali,
bahwa  naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan
sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
kekuasaannya  dan  kitab  itu  sudah  menjadi  undang-undang
seluruh bangsa Arab."
 
BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI
 
"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan  demikian
juga  halnya  kemudian  sesudah  Nabi wafat; tetap tercantum
dalam kalbu kaum  mukmin.  Berbagai  macam  bagiannya  sudah
tercatat  belaka  dalam  naskah-naskah yang makin hari makin
bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu  sudah  seharusnya
benar-benar  cocok.  Pada  waktu itu pun Qur'an sudah sangat
dilindungi sekali, meskipun  pada  masa  Nabi  masih  hidup,
dengan  keyakinan  yang  luarbiasa  bahwa  itu  adalah kalam
Allah. Oleh karena  itu  setiap  ada  perselisihan  mengenai
isinya,  untuk  menghindarkan  adanya  perselisihan demikian
itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam  hal  ini  ada
beberapa  contoh  pada  kita:  'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin
Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi  wafat,  bila
ada  perselisihan,  selalu  kembali  kepada  teks yang sudah
tertulis  dan  kepada  ingatan  sahabat-sahabat  Nabi   yang
terdekat serta penulis-penulis wahyu."
 
PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA
 
"Sesudah  selesai  menghadapi  peristiwa  Musailima  - dalam
perang Ridda - penyembelihan Yamama telah  menyebabkan  kaum
Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka
yang telah menghafal Qur'an dengan  baik.  Ketika  itu  Umar
merasa  kuatir  akan  nasib  Qur'an dan teksnya itu; mungkin
nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka  yang
telah  menyimpannya  dalam  ingatan itu, mengalami suatu hal
lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah
Abu  Bakr  dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan
terhadap mereka yang sudah hafal  Qur'an  itu  akan  terjadi
lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
lagi dari mereka  yang  akan  hilang.  Menurut  hemat  saya,
cepat-cepatlah    kita    bertindak   dengan   memerintahkan
pengumpulan Qur'an."
 
"Abu Bakr segera  menyetujui  pendapat  itu.  Dengan  maksud
tersebut  ia  berkata  kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang  cerdas  dan
saya  tidak  meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada
Rasulullah  s.a.w.  dan  kau  mengikuti  Qur'an  itu;   maka
sekarang kumpulkanlah."
 
"Oleh  karena  pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar
dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali.  Ia  masih  meragukan
gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
melakukannya. Akan tetapi akhirnya  ia  mengalah  juga  pada
kehendak  Abu  Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai
berusaha  sungguh-sungguh   mengumpulkan   surah-surah   dan
bagian-bagiannya  dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia
mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas  batu
putih,   dan   yang  dihafal  orang.  Setengahnya  ada  yang
menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya  dari  yang  ada
pada  lembaran-lembaran,  tulang-tulang  bahu dan rusuk unta
dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."
 
"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun  terus-menerus,
mengumpulkan   semua   bahan-bahan  serta  menyusun  kembali
seperti yang ada sekarang ini, atau seperti  yang  dilakukan
Zaid  sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian
orang mengatakan. Sesudah  naskah  pertama  lengkap  adanya,
oleh  Umar  itu  dipercayakan  penyimpanannya kepada Hafsha,
puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang  sudah  dihimpun  oleh
Zaid  ini  tetap  berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks
yang otentik dan sah.
 
"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca,
yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau
karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah  itu
yang  disalin  dari  naskah  Zaid.  Dunia Islam cemas sekali
melihat hal ini. Wahyu  yang  didatangkan  dari  langit  itu
"satu,"  lalu  dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang
pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan,  juga  melihat
adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
 
MUSHAF USMAN
 
"Karena  banyaknya  dan  jauhnya  perbedaan  itu,  ia merasa
gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman  turun
tangan.  "Supaya  jangan  ada  lagi orang berselisih tentang
kitab  mereka  sendiri  seperti   orang-orang   Yahudi   dan
Nasrani."   Khalifahpun  dapat  menerima  saran  itu.  Untuk
menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin  Thabit  dimintai
bantuannya  dengan  diperkuat  oleh tiga orang dari Quraisy.
Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha  lalu  dibawa,  dan
cara  membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran
Islam itupun dikemukakan, lalu  semuanya  diperiksa  kembali
dengan  pengamatan  yang  luarbiasa,  untuk  kali  terakhir.
Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya  dari
Quraisy  itu,  ia  lebih condong pada suara mereka mengingat
turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan
wahyu   itu   diturunkan   dengan  tujuh  dialek  Arab  yang
bermacam-macam."
 
"Selesai dihimpun, naskah-naskah  menurut  Qur'an  ini  lalu
dikirimkan  ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya
naskah-naskah itu dikumpulkan lagi  atas  perintah  Khalifah
lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada
Hafsha."
                                      			Next >>>

         
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1