Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

	BAGIAN KETUJUH: PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG KEJI    (2/3)
	Muhammad Husain Haekal
	
	Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri
	diajaknya mereka itu menerima Islam. Merekapun ada yang segera
	menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat.  Dalam  pada
	itu,  beberapa  tahun  berikutnya  sebagian besar mereka sudah
	pula menerima Islam.  Setelah  pembebasan  Mekah  dan  sesudah
	susunan  politik  dengan  bentuk tertentu sudah mulai terarah,
	merekapun menggabungkan diri kepada Nabi.
	
	Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh
	saja  dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan
	Muhammad ini  bukan  terdiri  dari  hanya  penyembah-penyembah
	berhala   saja.  Sewaktu  dia  di  Mekah  dulu  pernah  datang
	kepadanya duapuluh orang  Nasrani,  setelah  mereka  mendengar
	berita    itu.    Lalu    mereka   menanyainya,   mendengarkan
	kata-katanya.   Merekapun    menerima,mereka    beriman    dan
	mempercayainya.  Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram,
	sehingga mereka juga dimaki-maki.
	
	"Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat
	seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal
	benar-benar siapa dia agama kamu  sudah  kamu  tinggalkan  dan
	lalu percaya saja apa yang dikatakannya."
	
	Tetapi  kata-kata  Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur
	menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam.
	Bahkan  imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka
	masih dalam  agama  Nasrani.  Mereka  sudah  menyerahkan  diri
	kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.
	
	Tetapi  apa  yang  terjadi  terhadap diri Muhammad lebih hebat
	lagi dari itu. Orang Quraisy  yang  paling  keras  memusuhinya
	sudah  mulai  bertanya-tanya  kepada diri sendiri: benarkah ia
	mengajak  orang  kepada  agama  yang  benar?  Dan   apa   yang
	dijanjikan  dan  diperingatkan  kepada  mereka,  itu pula yang
	benar?
	
	Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syariq
	malam  itu  pergi  ingin  mendengarkan  Muhammad ketika sedang
	membaca Qur'an di  rumahnya.  Mereka  masing-masing  mengambil
	tempat  sendiri-sendiri  untuk  mendengarkan,  dan tempat satu
	sama lain tidak saling diketahui. Muhammad yang  biasa  bangun
	tengah  malam,  malam itu juga ia sedang membaca Qur'an dengan
	tenang dan damai. Dengan suaranya  yang  sedap  itu  ayat-ayat
	suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
	
	Tetapi  sesudah  fajar  tiba,  mereka  yang  mendengarkan  itu
	terpencar pulang ke  rumah  masing-masing.  Di  tengah  jalan,
	ketika  mereka  bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
	Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang
	masih  bodoh,  ini  akan  melemahkan kedudukan kita dan mereka
	akan berpihak kepada Muhammad.
	
	Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
	yang  sama  seperti  pada  malam kemarin. Tanpa dapat menolak,
	seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang  semalam  itu
	juga,  untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Qur'an. Hampir
	fajar, ketika mereka pulang, bertemu  lagi  mereka  satu  sama
	lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian
	itu tidak  mengalangi  mereka  untuk  pergi  lagi  pada  malam
	ketiga.
	
	Setelah  kemudian  mereka  menyadari,  bahwa  dalam menghadapi
	dakwah Muhammad itu mereka merasa  lemah,  berjanjilah  mereka
	untuk  tidak  saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian
	itu. Apa yang sudah mereka dengar  dari  Muhammad  itu,  dalam
	jiwa  mereka  tertanam  suatu kesan, sehingga mereka satu sama
	lain saling menanyakan pendapat  mengenai  yang  sudah  mereka
	dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir
	akan  jadi  lemah,  mengingat  masing-masing  adalah  pemimpin
	masyarakat,  sehingga  dikuatirkan  masyarakatnyapun akan jadi
	lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.
	
	Gerangan  apa  keberatan  mereka   menjadi   pengikut-pengikut
	Muhammad?  Padahal  ia  tidak  mengharapkan harta dari mereka,
	tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka  atau
	penguasa  di  atas  mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki
	yang sungguh  rendah  hati,  sangat  mencintai  masyarakatnya,
	setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat
	halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang  miskin
	atau  yang  lemahpun  ia  merasa  takut.  Setiap  ia mengalami
	penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia  sudah  merasa
	mendapat  pengampunan.  Bukankah  tatkala suatu hari ia sedang
	dengan al-Walid bin'l-Mughira, salah seorang pemimpin  Quraisy
	yang  diharapkan  keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum
	yang  buta,  dan  minta  diajarkan  Qur'an  kepadanya.  Begitu
	mendesak   ia,   sehingga  Muhammad  merasa  kesal  karenanya,
	mengingat ia sedang sibuk  menghadapi  Walid.  Ditinggalkannya
	orang buta itu dengan muka masam.
	
	Tetapi   setelah   ia   kembali  seorang  diri  hati  kecilnya
	memperhitungkan perbuatannya tadi  itu  sambil  bertanya-tanya
	kepada  dirinya  sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu
	dengan ayat-ayat berikut:
	
	"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya.
	Dan  apa  yang  memberitahukan  kau,  barangkali ia orang yang
	bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna
	baginya.  Tetapi  kepada  orang  yang  serba cukup itu. Engkau
	menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia  tidak
	bersih  hati.  Tetapi  orang  yang  bersungguh-sungguh  datang
	kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu
	adalah  sebuah  peringatan.  Barangsiapa  yang  sudi,  biarlah
	memperhatikan   peringatan   itu.   Dalam   kitab-kitab   yang
	dimuliakan.  Dijunjung  tinggi  dan  disucikan.  Yang  ditulis
	dengan  tangan.  Orang-orang   terhormat,   orang-orang   yang
	bersih." (Qur'an: 80: 1-16)
	
	Kalau  memang  itu  soalnya,  apalagi  yang mengalangi Quraisy
	menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama  sesudah
	hati  mereka  jadi  lembut, sesudah mereka melupakan masa masa
	silam dengan bertahan pada warisan  lapuk  yang  membuat  jiwa
	mereka  jadi  beku,  dan  sesudah  mereka melihat bahwa ajaran
	Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?
	
	Tetapi! Benarkah masa yang sudah  bertahun-tahun  itu  membuat
	orang   lupa   akan   kebekuan  jiwanya,  akan  sikapnya  yang
	konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk?  Ini  dapat
	terjadi  pada  orang-orang istimewa, yang dalam hatinya selalu
	terdapat kerinduan pada yang  sempurna.  Dalam  hidup  mereka,
	mereka  masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya
	sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan
	yang  masih  melekat,  betapapun  tingginya tingkat kebudayaan
	orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali  tempat
	melebur  logam  yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat
	baru yang dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur  dan  disaring.
	Mana  yang  bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar
	dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja,
	di  mana  saja  dan  dari  siapa saja. Oleh karena pada setiap
	bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih,
	maka  jumlah  mereka  selalu  sedikit.  Mereka selalu mendapat
	perlawanan, yang datangnya  terutama  dari  orang-orang  kaya,
	orang  orang  berkedudukan  dan  orang-orang  berkuasa. Mereka
	takut setiap corak pembaruan itu akan  menelan  harta  mereka,
	akan  menghilangkan  kedudukan  dan  kekuasaan  mereka. Selain
	dengan cara hidup mereka yang  demikian  itu,  kenyataan  lain
	yang  sudah  begitu  jelas  tidak mereka kenal. Semua itu bagi
	mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka,
	dan  tidak  benar  apabila  ia  dapat  menimbulkan kesangsian,
	sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa  moral  itu
	benar  adanya  bilamana  ia dapat memberikan tambahan ke dalam
	hartanya, dan tidak benar  bilamana  ia  merintanginya.  Agama
	adalah   benar,   bilamana  ia  dapat  membukakan  jalan  buat
	hawa-nafsunya, dan tidak benar  kalau  ia  menjadi  penghalang
	hawa-nafsu   itu.   Yang  memiliki  kedudukan,  yang  memiliki
	kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.
	
	Dalam  perlawanan  mereka  terhadap  segala  pembaharuan  yang
	mereka  takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya
	tergantung   kepada   mereka,   supaya   memusuhi    penganjur
	pembaharuan  itu.  Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan
	bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat
	ruh  yang  ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan
	kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam  yang
	tak  bersalah  itu,  bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan
	kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan  kuil-kuil
	itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting
	ia  melihat  pencariannya.  Baginya  tidak  mudah  akan  dapat
	memahami,   bahwa  kebenaran  itu  tidak  akan  tahan  tinggal
	terkurung  dalam  tembok-tembok  kuil  betapapun   indah   dan
	agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu
	bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa
	seorang  tuan  atau  jiwa  seorang  budak. Juga tak ada sebuah
	peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.
	
	Bagaimana orang dapat mengharapkan dari  mereka,  mereka  yang
	pernah  datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Qur'an
	itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang
	banyak    melakukan   pelanggaran   itu,   karena   ia   tidak
	membeda-bedakan si buta  miskin  dengan  orang  yang  hartanya
	berlimpah-limpah,  kecuali  dari  kebersihan  jiwanya.  Kepada
	seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:
	
	"Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah  ialah
	yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa)." (Qur' an,
	49: 13)
	
	Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih  bertahan  dengan
	kepercayaan  leluhur mereka, bukanlah hal itu karena dilandasi
	oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi  karena  mereka  sudah
	terlalu  mencintai  pada  cara  lama  yang  mereka adakan itu.
	Kemudian nasib membantu mereka  pula.  Mereka  bertahan  hanya
	karena  kedudukan  dan  harta yang sudah berlimpah-limpah, dan
	untuk itu pula mereka bertempur mati-matian.
	
	Di samping kecenderungan  ini  juga  karena  rasa  dengki  dan
	persaingan  yang  keras  membuat  Quraisy  tidak  mau  menjadi
	pengikut  Nabi.  Sebelum  kedatangan   Muhammad,   Umayya   b.
	Abi'sh-Shalt  memang termasuk salah seorang yang pernah bicara
	tentang  seorang  nabi  yang  akan  tampil  di   tengah-tengah
	masyarakat  Arab  itu,  dan dia sendiri berhasrat sekali ingin
	jadi  nabi.  Perasaan  dengki  itu  rasa  membakar  jantungnya
	tatkala  ternyata  kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi
	dia  tidak  mau  menjadi  pengikut  orang   yang   dianggapnya
	saingannya.  Apalagi,  karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya
	penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu  hari  Nabi  .a.s.
	menyatakan  ketika  sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya,
	sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."
	
	Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira:  "Wahyu  didatangkan
	kepada  Muhammad,  bukan  kepadaku,  padahal  aku  kepala  dan
	pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b.  'Umair
	ath-Thaqafi    sebagai    pemimpin    Thaqif.    Kami   adalah
	pembesar-pembesar dua kota."
	
	Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
	
	"Dan mereka  berkata:  'Kenapa  Qur'an  ini  tidak  diturunkan
	kepada   orang   besar  dari  dua  kota  itu?'  Adakah  mereka
	membagi-bagikan  kurnia  Tuhanmu?  Kamilah   yang   membagikan
	penghidupan  mereka  itu,  dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43:
	13-32)
	
	Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl  dan  Akhnas  selama  tiga  malam
	berturut-turut  mendengarkan  pembacaan  Qur'an, seperti dalam
	cerita  di  atas,  Akhnas  lalu  pergi  menemui  Abu  Jahl  di
	rumahnya.  "Abu'l-Hakam,2  bagaimana  pendapatmu  tentang yang
	kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.
	
	"Apa yang  kaudengar?"  kata  Abu  Jahl.  "Kami  sudah  saling
	memperebutkan  kehormatan  itu  dengan  Keluarga  'Abd  Manaf.
	Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung
	kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami
	dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba
	kata  mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima
	"wahyu dari langit." Kapan kita akan  menjumpai  yang  semacam
	itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan
	membenarkannya."
	
	Jadi yang dalam  sekali  berpengaruh  dalam  jiwa  orang-orang
	badui  itu  ialah  rasa  dengki,  saling  bersaing  dan saling
	bertentangan. Dalam hal ini salah sekali  bila  orang  mencoba
	mau  menutup  mata atau tidak menilainya sebagaimana mestinya.
	Cukup kalau kita sebutkan saja  adanya  kekuasaan  nafsu  yang
	begitu  besar  dalam  jiwa  tiap  orang. Untuk dapat mengatasi
	pengaruh  ini  memang  diperlukan  suatu  latihan  yang  cukup
	panjang,  latihan  jiwa  dengan mengutamakan hukum akal diatas
	dorongan nafsu, jiwa  dan  pikiran  kita  harus  cukup  tinggi
	sehingga  dapat  ia  melihat  bahwa kebenaran yang datang dari
	lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang
	dari  kawan  karibnya.  Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran
	yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari  harta
	karun,  dari  kebesaran  Iskandar  (Agung)  dan  dari kerajaan
	seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
	ini  kalau  tidak  karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk
	kebenaran itu.
 
	                                    			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1