Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

BAGIAN KEDUAPULUH ENAM: IBRAHIM DAN ISTERI ISTERI NABI (1/3)
 
Kembali ke Medinah - Banat Su'ad - Zainab  wafat  -  Ibrahim
lahir  -  Isteri-isteri  Nabi  cemburu  -  Hafsha dan Aisyah
memperlihatkan sikap -  Cerita  Maghafir  -  Mana  di  rumah
Hafsha  -  Selama  sebulan  Nabi  meninggalkan  isterinya  -
Percakapan Umar dengan Nabi - Surat At-Tahrim.
 
MUHAMMAD kembali ke Medinah selesai ia membebaskan Mekah dan
setelah  mendapat  kemenangan di Hunain dan mengepung Ta'if.
Dalam hati orang Arab semua sudah nyata dan yakin, bahwa tak
ada  yang  akan dapat menandinginya di seluruh jazirah, juga
sudah  tak  ada  lagi  lidah  yang   mau   mengganggu   atau
mencelanya.  Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa gembira
sekali karena Tuhan  telah  membukakan  jalan  kepada  Nabi,
membebaskan negeri tempat Mesjid Suci. Mereka gembira karena
penduduk Mekah telah beroleh hidayah dengan menganut  Islam,
dan orang-orang Arab - dengan kabilahnya yang beraneka ragam
itu - telah tunduk dan taat kepada agama ini.
 
Untuk sekadar  menikmati  adanya  ketenangan  hidup,  mereka
semua kembali ke Medinah setelah Muhammad menunjuk 'Attab b.
Asid untuk Mekah di samping Mu'adh b.  Jabal  guna  mengajar
orang  memperdalam  agama dan mengajarkan Qur'an. Kemenangan
yang  belum  ada  taranya  dalam  sejarah  Arab  ini   telah
menimbulkan   kesan   yang   dalam   sekali  di  dalam  hati
orang-orang   Arab    itu    semua,    juga    dalam    hati
pembesar-pembesar  dan  bangsawan-bangsawan  yang samasekali
tidak membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk
kepada  Muhammad  atau  akan menerima agamanya sebagai agama
mereka; dalam hati penyair-penyair, yang  bicara  atas  nama
bangsawan-bangsawan  dengan  sekedar mendapatkan simpati dan
dukungan sebagai imbalan, atau sekadar  mendapatkan  bantuan
dan  dukungan kabilah-kabilah; dalam hati kabilah-kabilah di
pedalaman, yang biasanya tidak mau  menukarkan  kebebasannya
dengan  apa pun, atau akan terbayang dalam pikirannya, bahwa
mereka akan tergabung dalam satu panji di luar panji  mereka
sendiri  yang khusus atau akan bersedia mati untuk semua itu
dalam suatu peperangan sampai habis samasekali. Para penyair
dengan     sajak-sajaknya,     kaum     bangsawan     dengan
kebangsawanannya dan kabilah-kabilah yang mau mempertahankan
kepribadiannya,  apa  artinya  semua  itu  dalam  berhadapan
dengan kekuatan yang berada di luar kodrat alam  itu,  tiada
dapat  dibendung  oleh suatu kekuatan, tiada suatu kekuasaan
dapat mengalanginya.

Begitu besarnya pengaruh itu dalam  hati  orang-orang  Arab,
sehingga  Bujair  ibn Zuhair menulis surat kepada saudaranya
Ka'b, setelah Nabi meninggalkan Ta'if. Ia mengatakan,  bahwa
Muhammad  di  Mekah  telah  menjatuhkan  hukuman mati kepada
orang-orang yang dulu pernah mengejek dan mengganggunya, dan
penyair-penyair  yang  masih  ada, mereka melarikan diri tak
tentu arahnya. Dinasehatinya saudaranya itu,  supaya  segera
datang  kepada  Nabi  di  Medinah. Ia tidak pernah menghukum
orang yang datang kepadanya menyatakan  penyesalannya;  atau
orang menyelamatkan diri dengan ke mana saja ia mau pergi.
 
Apa yang diceritakan Bujair itu memang benar. Tak ada  orang
yang  terbunuh di Mekah atas perintah Muhammad kecuali empat
orang  saja,  di  antaranya  seorang  penyair  yang   sangat
mengganggu  Nabi  dengan  ejekan-ejekannya,  dua  orang yang
telah  menyakiti  Zainab  puterinya,  ketika   dengan   ijin
suaminya ia pergi hijrah dari Mekah hendak menyusul ayahnya.
Ka'b yakin bahwa apa yang dikatakan  saudaranya  itu  benar,
dan kalau dia tidak mau menemui Muhammad ia akan hidup dalam
petualangan.  Oleh  karena  itu  cepat-cepat  ia  datang  ke
Medinah dan menumpang di rumah seorang kawan lama. Keesokan
harinya pagi-pagi ia datang  ke  mesjid,  ia  meminta  suaka
kepada Nabi kemudian ia membacakan sajak ini.1
 
           Berpisah dengan Su'ad
           Hatiku kini merana karena cinta
           Tergila-gila mengikutinya, terpukau
           Tiada lagi ada belenggu.
 
Nabi kemudian memaafkannya dan setelah itu dia menjadi orang
Islam yang baik.

Karena  pengaruh  itu  jugalah,  maka  kabilah-kabilah mulai
berdatangan kepada Nabi dan  menyatakan  kesetiaannya.  Dari
kabilah  Tayy  datang  pula  utusan  dipimpin  oleh ketuanya
sendiri, Zaid al-Khail. Setelah mereka ini  tiba,  Nabi  pun
menyambut   mereka   dengan   baik  sekali.  Ketika  terjadi
pembicaraan dengan Zaid, Nabi berkata:
 
"Setiap ada orang dari kalangan Arab yang digambarkan begitu
baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang
daripada apa yang digambarkan orang, kecuali  Zaid  al-Khail
ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan orang."
 
Lalu  ia  dinamainya 'Zaid al-Khair,' (Zaid yang baik) bukan
lagi, Zaid al-Khail, ('Zaid si kuda').2 Kabilah Tayy kemudian
masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
 
Kemudian  'Adi  b.  Hatim  at-Ta'iy. Ia seorang Nasrani, dan
sangat  benci  kepada  Muhammad.  Setelah  melihat   keadaan
Muhammad  dan  Muslimin  di  jazirah  Arab,  ia pergi dengan
untanya,  membawa  keluarga  dan  anaknya  hendak  bergabung
dengan  orang-orang  seagama  dari kalangan Nasrani di Syam.
Larinya 'Adi ini ialah ketika Nabi mengutus Ali b. Abi Talib
supaya  menghancurkan berhala Tayy. Setelah berhala itu oleh
Ali dihancurkan, ia membawa rampasan dan tawanan perang,  di
antaranya  puteri  Hatim  -saudara 'Adi - yang telah ditahan
dalam sebuah tempat berpagar di pintu masuk  mesjid,  tempat
tawanan-tawanan  perang  dikurung.  Tatkala  Nabi  lewat  di
tempat itu, ia menghampirinya dan berkata:
 
"Rasulullah, ayah saya sudah meninggal, sedang penopang saya
sudah  menghilang.  Bermurah hatilah kepadaku, mudah-mudahan
Tuhan akan memberi kurnia kepadamu."
 
Setelah diketahui bahwa penopangnya itu 'Adi b. Hatim,  yang
telah  melarikan diri dari Tuhan dan Rasul, Nabi memalingkan
muka dari dia.  Tetapi  perempuan  itu  memintanya  meninjau
kembali.  Lalu  teringat  oleh  Nabi, betapa pemurahnya ayah
mereka dulu pada zaman jahiliah  sehingga  dapat  mengangkat
nama  jazirah  itu.  Kemudian diperintahkannya supaya wanita
itu dibebaskan.  Ia  diberi  pakaian  yang  bagus-bagus  dan
diberinya pula belanja, lalu diberangkatkan dengan rombongan
pertama yang berangkat ke Syam.  Bila  kemudian  ia  bertemu
dengan  saudaranya ('Adi) dan diceritakannya betapa Muhammad
menghormatinya dan bermurah hati kepadanya, ia  pun  kembali
dan menerjunkan diri ke dalam barisan Muslimin.
 
Demikian  juga  pemuka-pemuka  kabilah yang lain berdatangan
kepada Muhammad - setelah pembebasan Mekah dan kemenangan di
Hunain  serta  pengepungan  Ta'if  -  mereka hendak mengakui
risalahnya dan  menerima  Islam,  sementara  ketika  itu  ia
tinggal  di  Medinah,  mereka lega dengan adanya pertolongan
Tuhan dan kehidupan yang agak tenteram itu
 
Akan tetapi ketenteraman  hidup  masa  itu  tampaknya  tidak
begitu  cerah.  Pada  waktu  itu  Zainab,  puterinya  sedang
menderita sakit yang sangat menguatirkan  sekali.  Sejak  ia
mendapat  gangguan Huwairith dan Habbar tatkala ia berangkat
dari Mekah yang sangat mencemaskan hatinya  dan  menyebabkan
ia  keguguran,  sejak  itu  kesehatannya mundur sekali, yang
sampai berakhir membawa kematiannya. Dengan kematiannya  itu
tak ada lagi dari keturunan Muhammad yang masih hidup selain
Fatimah, setelah Umm Kulthum dan Ruqayya  wafat  pula  lebih
dulu   sebelum   Zainab.  Dengan  kehilangan  puterinya  ini
Muhammad merasa  gundah  sekali.  Teringat  olehnya,  betapa
lembutnya  perasaan  Zainab,  betapa  indahnya  kesetiaannya
kepada suaminya  -  Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi'  ketika  sebagai
orang  tawanan  di  Badr,  ditebusnya  ia  dari  ayahnya. Ia
menebusnya, padahal ia dalam  Islam  sedang  suaminya  masih
syirik,  di  samping begitu gigih ia memerangi ayahnya, yang
kalau  kemenangan  itu  berada  di  tangan  Quraisy,   pasti
Muhammad tidak akan dibiarkan hidup.
 
Semua   itu   teringat   oleh   Muhammad   betapa  lembutnya
perasaannya, betapa  indahnya  kesetiaannya.  Teringat  pula
olehnya  betapa  ia  menderita  sakit, sejak ia kembali dari
Mekah sampai ia wafat. Muhammad, yang dalam  kemalangan,  ia
pergi  ke pelosok-pelosok dan ke ujung kota, menengoki orang
yang sedang sakit, ia menghibur orang yang dalam  menderita,
dalam  kesakitan.  Maka  bilamana sampai pula takdir menimpa
puterinya ini, setelah lebih dulu menimpa  kedua  saudaranya
yang  laki-laki  tidak  salah  apabila ia akan sangat merasa
duka, akan sangat bertambah luka di  hati,  meskipun  dengan
adanya  rahmat  dan  kasih  sayang  Tuhan  kepadanya ia akan
merasa sudah terhibur.
 
Akan tetapi tidak lama ia mengalami  kesedihan  itu,  dengan
melalui  Maria  orang  Kopti  Tuhan  telah  memberi  karunia
seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim,  nama  yang
diambil  dari  Ibrahim  leluhur  para  nabi, para hunif yang
patuh kepada Tuhan.  Sejak  Maria  diberikan  oleh  Muqauqis
kepada  Nabi  sampai  pada  waktu  itu masih berstatus hamba
sahaja. Oleh karena itu tempatnya tidak  di  samping  mesjid
seperti  isteri-isteri  Nabi  Umm'l-Mukminin yang lain. Oleh
Muhammad ia  ditempatkan  di  'Alia,  di  bagian  luar  kota
Medinah,  di  tempat  yang sekarang diberi nama Masyraba Umm
Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah  kebun  anggur.
Ia   sering   berkunjung  ke  sana  seperti  biasanya  orang
mengunjungi hak-miliknya.  Ia  mengambilnya  sebagai  hadiah
dari Muqauqis bersama-sama saudaranya yang perempuan, Sirin,
dan Sirin ini diberikannya kepada Hassan b. Thabit.  Sesudah
Khadijah  wafat, dari semua isterinya, baik yang muda remaja
atau yang sudah setengah umur, yang dulu  pernah  memberikan
keturunan,  Muhammad  tidak  pernah  menantikan mereka masih
akan memberikan keturunan lagi, yang  selama  sepuluh  tahun
berturut-turut belum ada tanda-tanda kesuburan pada mereka.
 
Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim
- ketika itu usianya sudah lampau enampuluh tahun  -  sangat
gembira sekali ia. Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia
besar ini. Dengan kelahirannya  itu  kedudukan  Maria  dalam
pandangannya  tampak  lebih tinggi, dari tingkat bekas-bekas
budak ke derajat isteri. Ini menambah ia lebih disenangi dan
lebih dekat lagi.
 
Wajar sekali hal ini akan menambah rasa iri hati di kalangan
isteri-isterinya yang lain,  lebih-lebih  karena  Maria  ibu
Ibrahim,  sedang  mereka  semua  tidak  beroleh putera. Juga
pandangan Nabi  kepada  bayi  ini  sehari  ke  sehari  makin
memperbesar kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma,
isteri Abu Rafi', yang bertindak sebagai bidan Maria. Ketika
lahirnya  itu  ia memberikan sedekah uang dengan ukuran tiap
seutas  rambut  kepada  setiap  fakir  miskin,   dan   untuk
menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm Saif disertai
tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air  susunya  buat  si
bayi.  Setiap  hari  ia singgah ke rumah Maria sekadar ingin
melihat Ibrahim, dan ia pun tambah  gembira  setiap  melihat
senyuman  bayi  yang masih suci dan bersih itu; makin senang
hatinya setiap melihat pertumbuhan bayi bertambah indah. Apa
lagikah   yang   akan  lebih  besar  dari  semua  ini,  akan
menimbulkan rasa iri  hati  dalam  diri  isteri-isteri  yang
tidak  mempunyai  anak itu? Dan sampai di mana pula pengaruh
iri hati itu pada mereka?
 
Dengan penuh perasaan gembira pada suatu  hari  Nabi  datang
dengan  memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah
supaya melihat  betapa  besarnya  persamaan  Ibrahim  dengan
dirinya  itu.  Aisyah  melihat  kepada  bayi  itu,  kemudian
katanya, bahwa  dia  tidak  melihat  adanya  persamaan  itu.
Setelah  dilihatnya  Nabi  begitu gembira karena pertumbuhan
bayi itu, ia tampak marah; semua  bayi  yang  mendapat  susu
seperti  Ibrahim,  akan  sama pertumbuhannya atau akan lebih
baik. Isteri-isteri Nabi telah marah  dan  tidak  suka  hati
karena  kelahiran Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas
hanya pada jawaban-jawaban yang kasar,  bahkan  sudah  lebih
dari  itu,  sampai-sampai  dalam  sejarah Muhammad dan dalam
sejarah  Islam   telah   meninggalkan   pengaruh,   sehingga
karenanya datang pula wahyu dan disebutkan dalam Kitabullah

Dan wajar sekali pengaruh demikian ini akan timbul, Muhammad
telah memberi tempat dan kedudukan  kepada  isteri-isterinya
demikian  rupa,  suatu  hal  yang  tidak  pernah  dikenal di
kalangan Arab. Dalam  suatu  keterangan  Umar  bin'l-Khattab
berkata,  "Sungguh,"  kata  Umar,  "kalau  kami  dalam zaman
jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah
Tuhan  memberikan  ketentuan  tentang  mereka dan memberikan
pula hak kepada mereka."
                                           		Next >>>

         
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1