Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

BAGIAN KEDUAPULUH ENAM: IBRAHIM DAN ISTERI-ISTERI NABI (3/3)
 
"Rabah,  mintakan  aku  ijin kepada Rasulullah s.a.w. Kukira
dia sudah menduga kedatanganku ini ada  hubungannnya  dengan
Hafsha.  Sungguh,  kalau  dia  menyuruh  aku memenggal leher
Hafsha, akan kupenggal."
 
Sekali ini Nabi memberi ijin dan Umar  pun  masuk.  Bila  ia
sudah  duduk  dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu,
ia menangis.
 
"Apa yang membuat  engkau  menangis,  Ibn'l-Khattab?"  tanya
Muhammad.
 
Yang  membuatnya  menangis  ialah  melihat tikar tempat Nabi
berbaring itu sampai membekas di rusuknya, dan bilik  sempit
yang   tiada   berisi   apa-apa   selain  segenggam  gandum,
kacang-kacangan5 dan kulit yang digantungkan.
 
Setelah oleh Umar disebutkan apa yang  telah  menyebabkannya
menangis  itu  dan  Nabi  mengatakan  perlunya  meninggalkan
kehidupan duniawi, ia pun mulai kembali tenang.
 
Kemudian kata Umar:
 
"Rasulullah, apa yang menyebabkan  tuan  tersinggung  karena
para  isteri  itu.  Kalau  mereka itu tuan ceraikan, niscaya
Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikat - Jibril dan
Mikail  - juga saya, Abu Bakr, dan semua orang-orang beriman
berada di pihakmu."
 
Kemudian ia  terus  bicara  dengan  Nabi  sehingga  bayangan
kemarahannya  berangsur  hilang  dari  wajahnya  dan  ia pun
tertawa. Setelah Umar melihat hal  ini  lalu  diceritakannya
keadaan  Muslimin  yang  di  mesjid  serta  apa  yang mereka
katakan,  bahwa  Nabi  telah  menceraikan  isteri-isterinya.
Dengan   adanya   keterangan   dari   Nabi  bahwa  ia  tidak
menceraikan mereka, ia minta ijin akan mengumumkan  hal  ini
kepada  orang-orang  yang  sekarang  masih tinggal di mesjid
menunggu.
 
Ia pergi ke mesjid, dan dengan suara keras ia berkata kepada
mereka: "Rasulullah - s.a.w. - tidak menceraikan isterinya."
Sehubungan dengan peristiwa inilah ayat-ayat suci ini turun:
 
"Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu  yang  oleh
Tuhan dihalalkan untukmu; hanya karena engkau ingin memenuhi
segala yang disenangi para  isterimu?  Dan  Allah  jua  Maha
Pengampun   dan   Penyayang.  Tuhan  telah  mewajibkan  kamu
melepaskan sumpah kamu itu. Dan Tuhan jua  Pelindungmu,  Dia
mengetahui dan Bijaksana."
 
Tatkala  Nabi  membisikkan  cerita  itu kepada salah seorang
isterinya,  maka  bila  ia  (isteri)  itu  mengumumkan   hal
tersebut dan Tuhan mengungkapkan hal itu kepadanya, sebagian
diterangkannya dan yang sebagian lagi tidak.  Bila  hal  itu
kemudian  disampaikan  kepada isterinya, ia bertanya: "Siapa
yang mengatakan itu kepadamu?" Ia menjawab:
 
"Yang mengatakan itu kepadaku Allah  Yang  Maha  mengetahui.
Kalau  kamu  berdua  mau  bertaubat kepada Allah maka hatimu
sudah sudi menerima. Tetapi kalau kamu berdua bantu-membantu
menyusahkannya,  maka  Tuhanlah  Pelindungnya; demikian juga
Jibril dan setiap orang baik-baik  di  kalangan  orang-orang
beriman; di samping itu para malaikat juga jadi penolongnya.
Jika ia menceraikan kamu, boleh  jadi  Tuhan  memberi  ganti
kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu
- yang berserah diri, yang beriman, berbakti dan  bertaubat,
yang  rendah  hati  beribadat dan berpuasa, janda-janda atau
perawan." (Qur'an, 66: 1-5)
 
Dengan demikian peristiwa itu  selesai.  Isteri-isteri  Nabi
kembali  sadar,  dan  dia  pun kembali kepada mereka setelah
mereka benar-benar bertaubat, menjadi  manusia  yang  rendah
hati   beribadat   dan   beriman.  Kehidupan  rumahtangganya
sekarang kembali tenang,  yang  memang  demikian  diperlukan
oleh  setiap  manusia  yang  sedang melaksanakan suatu beban
besar yang ditugaskan kepadanya.
 
Apa yang sudah saya ceritakan tentang  Muhammad  yang  sudah
meninggalkan  isteri-isterinya  dan  menyuruh  mereka supaya
memilih,  peristiwa-peristiwa  yang  terjadi   sebelum   dan
sesudah  ditinggalkan  serta  beberapa kejadian yang sebelum
itu dan akibatnya, menurut hemat  saya  itulah  cerita  yang
sebenarnya  mengenai sejarah kejadian ini. Cerita ini saling
menguatkan  satu  sama  lain,   seperti   yang   ada   dalam
kitab-kitab  tafsir  dan  kitab-kitab  hadis.  Demikian juga
adanya  keterangan-keterangan  di  sana-sini  mengenai  diri
Muhammad  dan  isteri-isterinya dalam pelbagai buku biografi
itu. Sungguhpun begitu tiada sebuah juga  buku-buku  sejarah
itu   yang   membawa   peristiwa   ini   atau   mengemukakan
peristiwa-peristiwa sebelumnya  serta  kesimpulan-kesimpulan
yang  diambilnya seperti yang saya kemukakan dalam buku ini.
Dalam menghadapi kejadian seperti ini oleh buku-buku sejarah
Nabi  itu  kebanyakan  dilewati  begitu  saja tanpa ditelaah
lebih lanjut; seolah-olah ini dilihatnya sebagai barang yang
kesat  dipegang dan takut sekali mendekatinya. Ada lagi yang
menelaah soal madu dan maghafir,  tanpa  sepatah  kata  juga
menyebut-nyebut soal Hafsha dan Maria.
 
Sebaliknya  oleh  pihak  Orientalis - soal Hafsha dan Maria,
soal Hafsha yang membuka rahasia kepada Aisyah  -  hal  yang
dijanjikan  kepada  Nabi  akan  dirahasiakan  - dijadikannya
pangkal sebab semua kejadian  itu.  Dengan  demikian  mereka
berusaha  hendak  menambah  hal-hal  baru  untuk  meyakinkan
pembacanya tentang  diri  Nabi,  bahwa  dia  laki-laki  yang
senang  kepada wanita dengan cara yang tidak bersih. Menurut
hemat saya, penulis-penulis sejarah dari  kalangan  Muslimin
sendiri     tidak     punya    alasan    akan    mengabaikan
kejadian-kejadian ini  dengan  segala  artinya  yang  sangat
dalam  itu  seperti  sudah  sebagian kita kemukakan soalnya.
Sedang  pihak  Orientalis,  yang   dalam   hal   ini   sudah
terpengaruh   oleh   nafsu   ke-kristenannya,  mereka  sudah
menyalahi cara-cara penelitian sejarah. Terhadap  siapa  pun
lepas  dari  orang  besar  seperti Muhammad - kritik sejarah
yang murni tidak dapat menerima  bahwa  pengungkapan  Hafsha
kepada   Aisyah  karena  ia  telah  menemui  suaminya  dalam
rumahnya dengan hamba sahayanya yang  sudah  menjadi  haknya
itu  dan  dengan  demikian ia halal baginya - akan dijadikan
suatu sebab kenapa Muhammad sampai meninggalkan semua isteri
selama  sebulan  penuh,  serta  mengancam  mereka semua akan
diceraikan. Juga  kritik  sejarah  yang  murni  tidak  dapat
menerima  bahwa  cerita  madu itu telah juga dijadikan sebab
adanya perpisahan dan ancaman itu.
 
Apabila orang itu orang besar seperti Muhammad, lemah-lembut
seperti  Muhammad,  berlapang  dada,  tahan menderita, orang
berwatak dengan segala sifat-sifat yang ada  pada  Muhammad,
yang  sudah  sepakat  diakui pula oleh semua penulis sejarah
hidupnya, maka menggambarkan salah satu dari kedua peristiwa
itu  an  sich sebagai sebab ia memisahkan diri dan mengancam
hendak   menceraikan   isteri,   adalah   suatu   hal   yang
kebalikannya,  jauh  daripada  suatu  cara  kritik  sejarah.
Sebaliknya,  kritik  yang  akan  dapat  diterima  orang  dan
sejalan   pula   dengan   logika   sejarah   ialah   apabila
peristiwa-peristiwa itu  mengikuti  jejak  yang  sebenarnya,
yang  akan  membawa  kepada  kesimpulankesimpulan yang sudah
pasti tidak bisa lain akan ke sana. Maka dengan demikian  ia
akan  menjadi  masalah  biasa,  masuk akal dan secara ilmiah
dapat diterima. Dan apa yang sudah kita lakukan ini  menurut
hemat  saya  adalah  langkah yang wajar dalam peristiwa itu,
yakni yang  sesuai  dengan  kebijaksanaan  Muhammad,  dengan
segala  kebesarannya, keteguhan hati serta pandangannya yang
jauh.
 
Ada beberapa Orientalis yang juga bicara  tentang  ayat-ayat
yang  turun pada permulaan Surah At-Tahrim (66) seperti yang
sudah saya kutip itu. Disebutkannya bahwa semua  kitab-kitab
suci  di  Timur  tidak  ada  yang  menyebut-nyebut peristiwa
rumahtangga dengan cara semacam itu.
 
Rasanya tidak perlu kita mengatakan lagi apa  yang  tersebut
dalam  kitab-kitab  suci  itu  semua  -  termasuk  Qur'an di
antaranya tentang masyarakat Lut dengan segala cacat mereka,
di  samping  bagaimana mereka mendebat dua malaikat tamu Lut
itu serta tentang apa yang disebutkan dalam kitab-kitab suci
itu  tentang  isteri  Lut, dan bahwa dia termasuk orang yang
tertinggal di  belakang.  Bahkan  Taurat  (Perjanjian  Lama)
membawa  cerita  tentang  Lut dan dua anaknya yang perempuan
ketika  mereka  memberikan  minuman  anggur  kepada  bapanya
sehingga  dua  malam  berturut-turut ia mabuk, dengan maksud
supaya dapat berseketiduran dengan  anak  itu  masing-masing
dan   dengan   demikian  supaya  beroleh  keturunan,  karena
dikuatirkan keluarga Lut kelak  akan  punah,  setelah  Tuhan
menurunkan  bencana  kepada  mereka itu. Sebabnya maka semua
kitab suci membuat kisah-kisah para  rasul  serta  apa  yang
mereka  lakukan  dan  segala apa yang terjadi, ialah sebagai
suri teladan bagi umat manusia.
 
Banyak  sekali  kisah-kisah  demikian  dalam  Qur'an.  Tuhan
menyampaikan  kisah-kisah  yang  baik  sekali  kepada Rasul.
Sedang  Qur'an  bukan  hanya  diturunkan  kepada   Muhammad,
melainkan  kepada  seluruh  umat  manusia.  Muhammad  adalah
seorang nabi dan seorang rasul, sebelum dia pun telah banyak
rasul-rasul lain yang dibawakan kisahnya dalam Qur'an. Kalau
Qur'an  menyampaikan  berita-berita  tentang  Muhammad   dan
menyangkut  pula  kehidupan  pribadinya  yang  perlu menjadi
contoh buat kaum Muslimin dan teladan yang baik pula,  serta
memberi    isyarat   tentang   arti   dalam   tindakan   dan
kebijaksanaannya  itu,  maka  kisah-kisah  para  nabi   yang
terdapat  dalam  Qur'an  itu samasekali tidak berarti keluar
daripada apa yang  terdapat  dalam  kitab-kitab  suci  lain.
Apabila kita mengatakan, bahwa masalah Muhammad meninggalkan
isterinya itu bukan sebab yang berdiri  sendiri  di  samping
sebab-sebab  lain  yang  telah  menimbulkan cerita itu, juga
bukan  karena  Hafsha  bercerita  kepada  Aisyah  apa   yang
dilakukan  Muhammad  dengan  Maria  -  suatu hal yang memang
patut dilakukan oleh  setiap  laki-laki  terhadap  isterinya
atau  siapa saja yang menjadi miliknya yang sah - orang akan
melihat,  bahwa  tinjauan  yang  dikemukakan  oleh  beberapa
Orientalis  itu,  dari  segi kritik sejarah samasekali tidak
dapat dibenarkan, juga tidak pula sejalan  dengan  apa  yang
ada dalam kitab-kitab suci sehubungan dengan kisah-kisah dan
kehidupan para nabi itu.
 
Catatan kaki:
 
1 Ka'b ibn Zuhair seorang penyair kenamaan hidup dalam  masa
paganisma  dan  Islam.  Ayahnya,  Zuhair b. Abi Sulma, salah
seorang penyair Mu'allaqat (lihat halaman  63  jilid  satu).
Sajak  ini  panjang,  dan  terkenal  sekali,  dimulai dengan
melukiskan kekasihnya, Su'ad. Kemudian dilukiskannya  betapa
kagumnya  ia kepada Rasul, yang baru dijumpainya itu, karena
telah   memaafkannya.   Padahal    sebelum    itu,    dengan
sajak-sajaknya  ia  mengejek  dan memaki-makinya. Di samping
itu Rasul bahkan membuka mantelnya (burda)  dan  dibenkannya
kepada Ka'b. Serangkum puisi yang indah ini sebenarnya hidup
sampai  sekarang  dengan  beberapa  adaptasi,  antara   lain
melalui  Bushiri  (lihat  halaman  xxiii)  dan penyair Ahmad
Syauqi (1868-1932), penyair Mesir kenamaan,  dan  yang  juga
dijadikan   tema   dalam   beberapa  komposisi  musik  Mesir
kontemporer (A).
2 Diberi julukan demikian, konon karena dia terkenal sebagai
penunggang  kuda  yang  mahir.  Dia  juga  penyair,  orator,
pemberani dan pemurah (A).
3 Demikian menurut Muslim,  tapi  berlainan  dengan  Tabari,
yang   memaparkan   isteri-isteri  Umar  yang  bernama  Bint
Kharija, dan dalam (Ruh'l-Ma'ani: 'kalau tuan  melihat  Bint
Zaid É' dst.
4  Maghafir  jamak mighfar, ialah getah yang dihasilkan dari
pohon 'urfut, rasanya manis dan baunya tidak  sedap.  'Urfut
sebangsa  pohon  paku  yang  mengeluarkan getah berbau tidak
sedap, yang bila diisap oleh lebah  menghasilkan  madu  yang
sama  baunya.  (LA)  TerJemahannya  yang  persis  dalam kata
Indonesia belum tersua. Mungkin  pohon  ini  termasuk  jenis
paku atau akasia (A).
5  qaraz  kacang-kacangan  dari  sejenis  pohon paku (acacia
nilotica?) (A).

S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1