Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

	BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
	SAMPAI KE HUDAIBIYA                                      (3/3)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah bibir; dia memasuki
	Medinah  di  depan  mata  orang  banyak,  di  belakang pasukan
	tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga
	tidak  perlu  harus  menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang
	disaksikan  oleh  orang  banyak  dengan   wajah   bersih   dan
	berseri-seri,   tak  ada  tanda-tanda  yang  akan  menimbulkan
	kecurigaan. Seharusnya biarlah kota Medinah  berjalan  seperti
	biasa.  Biarlah  hasil rampasan perang dan tawanan perang Banu
	Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum Muslimin, biarlah
	mereka  menikmati hidup sejahtera, yang makin hari sudah makin
	terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga diri
	dalam  menghadapi  musuh,  di samping adanya kesungguhan hati,
	keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama  dan  untuk
	kebebasan  orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan
	yang sebelum itu tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.

	Juwairia bint'l-Harith termasuk salah seorang  tawanan  perang
	Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia
	jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam  hal  ini  ia
	ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia puteri seorang
	pemuka Banu Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu  menebus  berapa
	saja  diminta,  maka  tebusan  yang  diminta itu cukup tinggi.
	Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairia
	sendiri  segera  pergi  menemui  Nabi,  yang ketika itu sedang
	berada di rumah Aisyah.
 
	"Saya Juwairia  puteri  al-Harith  bin  Abi  Dzirar,  pemimpin
	masyarakat,"  katanya.  "Saya mengalami bencana, seperti sudah
	tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi  milik
	si  anu,  maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan
	diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan  tuan
	mengenai penawaran saya itu."
 
	"Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?" tanya Nabi
 
	"Apa ?"
 
	"Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin dengan kau."
 
	Setelah   berita  itu  tersiar,  sebagai  penghormatan  kepada
	semenda  Rasulullah  dengan  Banu  Mushtaliq,  tawanan-tawanan
	perang  yang  ada  di  tangan  mereka  segera mereka bebaskan;
	sehingga mengenai Juwairia  ini  Aisyah  pernah  berkata:  Tak
	pernah  saya  lihat  ada  seorang  wanita  lebih besar membawa
	keuntungan buat golongannya seperti dia ini.
 
	Demikianlah sebuah sumber menyebutkan  Ada  pula  sumber  lain
	yang   mengatakan,   bahwa  al-Harith  b.  Abi  Dzirar  datang
	mengunjungi Nabi hendak menebus puterinya itu, dan dia sendiri
	pun  masuk  Islam  setelah  dia  percaya akan ajaran Nabi, dan
	bahwa dia mengambil Juwairia puterinya yang  juga  lalu  masuk
	Islam  seperti  ayahnya.  Kemudian  Muhammad  meminangnya  dan
	mengawininya, dengan mas kawin sebesar 400 dirham.
 
	Seterusnya sumber  ketiga  menyebutkan,  bahwa  ayahnya  tidak
	senang  dengan  perkawinan  ini,  bahkan dia tidak setuju, dan
	bahwa yang mengawinkannya  dengan  Nabi  ialah  salah  seorang
	kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya.
 
	Setelah  Muhammad kawin dengan Juwairia, dibuatkannya rumah di
	samping rumah-rumah isterinya yang lain didekat mesjid. Dengan
	demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.
 
	Sementara itu orang di luaran mulai pula berbisik-bisik kenapa
	Aisyah  terlambat  di  belakang  pasukan  tentara  dan  datang
	bersama  Shafwan  menumpang  untanya,  sedang  Shafwan seorang
	pemuda yang tampan dan tegap.
 
	Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang bernama  Hamna,  sudah
	mengetahui  bahwa  Aisyah dalam hati Muhammad mempunyai tempat
	melebihi saudaranya itu.  Ia  segera  menyebarkan  desas-desus
	orang  tentang  Aisyah  ini.  Ia  mendapat  dukungan Hassan b.
	Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.
 
	Dengan demikian Abdullah b. Ubayy merasa mendapat  tanah  yang
	subur  dalam  usahanya  menyebarkan  bibit  berita  itu,  yang
	sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap  api  kebencian
	yang    ada    dalam    hatinya.   Mati-matian   ia   berusaha
	menyebar-luaskan  berita  itu.  Akan  tetapi  dalam  hal   ini
	kalangan  Aus  telah  menentukan  sikap hendak membela Aisyah.
	Aisyah  adalah  lambang  kesucian  dan  seorang  wanita   yang
	berakhlak  tinggi,  yang  patut  menjadi teladan Peristiwa ini
	hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.

	Berita-berita ini kemudian sampai  juga  kepada  Muhammad.  Ia
	jadi gelisah. Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak mungkin!
	Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa  cinta
	dan  kasihnya  kepada  Aisyah  hal  yang hanya didasarkan pada
	prasangka semacam itu adalah  suatu  dosa  besar.  Ya.  Tetapi
	wanita! Cih! Siapa pula gerangan yang dapat menduga lubuk hati
	mereka. Lagi pula Aisyah masih muda belia. Kalung  serupa  apa
	benar  yang  hilang  dan dicarinya pada malam buta serupa itu?
	Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka masih  berada
	di  markas?  Nabi  sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu
	ia, akan percayakah atau tidak.
 
	Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu  kepada
	Aisyah,  meskipun  ia  sendiri sudah merasa aneh melihat sikap
	suaminya yang kaku, yang belum pernah di lihatnya  dan  memang
	tidak  sesuai  dengan  perangainya  yang  selalu lemah-lembut,
	selalu penuh kasih kepadanya.
 
	Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras.  Bila  ia
	datang  menengoknya  dan  ibunya ada di tempat itu merawatnya,
	tidak lebih ia hanya berkata: "Bagaimana?" Sungguh  pilu  hati
	Aisyah  merasakannya  bila  ia  melihat sikap Nabi begitu kaku
	kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri,  tidakkah  karena
	Juwairia  yang  sekarang  menggantikan  tempatnya  dalam  hati
	suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Muhammad yang kaku
	kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata:
 
	"Kalau  kauijinkan,  aku  akan  pindah ke rumah ibu, supaya ia
	dapat merawatku."
 
	Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan
	itu  menimbulkan  kepedihan  pula dalam hatinya sendiri. Lebih
	dari duapuluh  hari  ia  menderita  sakit,  baru  kemudian  ia
	sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya,
	dia tidak tahu.
 
	Sebaliknya  Muhammad,  ia  merasa  sangat   terganggu   karena
	berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan
	pidato ini di hadapan orang banyak.
 
	"Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya  mengenai
	keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya
	mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka itu orang
	baik-baik.  Lalu  mereka  mengatakan  sesuatu  yang  ditujukan
	kepada seseorang, yang saya  ketahui,  demi  Allah,  dia  juga
	orang  baik;  tak  pernah  ia  datang ke salah satu rumah saya
	hanya jika bersama dengan saya."
 
	Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya berkata:
 
	"Rasulullah,  kalau  mereka  itu  dan   saudara-saudara   kami
	kalangan  Aus,  biarlah  kami selesaikan, dan kalau mereka itu
	dan saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah  juga
	kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal."
 
	Akan  tetapi  Sa'd  b.  'Ubada lalu menjawab, bahwa dia berani
	mengatakan  itu  karena  dia  mengetahui  bahwa  mereka   dari
	golongan  Khazraj.  Kalau  mereka  itu  dari  Aus tentu takkan
	mengatakannya. Orang ramai  lalu  mengadakan  berundingan  dan
	hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena
	Rasul segera campur tangan  dengan  suatu  kebijaksanaan  yang
	baik sekali.
 
	Akhirnya,   berita   itu   pun   sampai  juga  kepada  Aisyah,
	diceritakan  oleh  seorang  wanita  dari  Muhajirin.  Terkejut
	sekali  mendengar  berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan.
	Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi  ia  menahan  airmata
	yang  begitu  deras  berderai,  sehingga  terasa  seolah pecah
	jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya,  dengan  membawa  beban
	perasaan   yang   cukup  berat,  hampir-hampir  terbawa  jatuh
	terhuyung.
 
	"Ampun, Ibu," katanya, dengan suara tersekat  oleh  air  mata.
	"Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali
	tidak ibu katakan kepada saya."
 
	Melihat  kesedihan  yang  begitu  menekan   perasaan,   ibunya
	berusaha  hendak  meringankannya.  "Anakku,"  katanya, "Jangan
	terlampau gundah. Seorang  wanita  cantik  yang  dimadu,  yang
	dicintai  suami,  tidak  jarang menjadi buah bibir madunya dan
	buah bibir orang."
 
	Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum  terhibur  juga.
	Kembali  ia  merasa  lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi
	kepadanya   yang   terasa   kaku,   padahal   tadinya   sangat
	lemah-lembut.  Ia  merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan
	juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia  jadi  curiga.  Tetapi,
	gerangan  apa  yang  akan  dapat diperbuatnya? Akan dimulainya
	sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan  akan
	bersumpah  bahwa  ia  sama  sekali  tidak  berdosa? Jadi kalau
	begitu ia menuduh diri sendiri,  kemudian  menyanggah  tuduhan
	itu  dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang
	muka seperti dia,  dan  juga  membalasnya  bersikap  kepadanya
	seperti  dia,  pula?  Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah
	memilihnya diatas isteri-isterinya yang lain. Bukan salah  dia
	kalau  orang  sampai  menyiarkan  desas-desus tentang dirinya,
	karena dia telah terlambat dari pasukan  tentara  dan  kembali
	pulang  dengan  Shafwan.  Ya  Allah!  Berikanlah  jalan keluar
	kepadanya  dalam  suasana  yang  demikian  rumit  itu,  supaya
	terbuka   kepada  Muhammad  keadaan  yang  sebenarnya  tentang
	dirinya itu, supaya  ia  pun  kembali  seperti  dalam  suasana
	semula,  penuh  cinta,  penuh  kasih  dan  selalu lemah-lembut
	kepadanya.

	Tetapi keadaan  Muhammad  sebenarnya  tidak  lebih  enak  dari
	Aisyah.  Ia  merasa  tersiksa karena percakapan orang mengenai
	dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa  ia  meminta  pendapat
	sahabat-sahabatnya  yang terdekat: apa yang akan diperbuatnya.
	Ia  pergi  ke  ramah  Abu  Bakr,  Ali  dan  Usama   bin   Zaid
	dipanggilnya  akan  dimintai  pendapat. Usama ternyata menolak
	sama sekali  segala  tuduhan  yang  dilemparkan  orang  kepada
	Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi
	mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai  seorang
	wanita   yang   sangat   baik.  Sebaliknya  Ali.  Ia  berkata:
	"Rasulullah, wanita yang lain banyak."  Lalu  sarannya  supaya
	menanyai   bujang   pembantu   Aisyah,  kalau-kalau  ia  dapat
	dipercaya. Pembantu  rumah  itu  pun  dipanggil.  Ali  berdiri
	menghampirinya,  lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu
	merasa kesakitan seraya berkata: "Katakanlah  yang  sebenarnya
	kepada Rasulullah!"
 
	"Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik," jawab pembantu
	rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan  kepada  Aisyah
	dibantahnya.

	Akhirnya  tak  ada  jalan  lain Muhammad harus menemui sendiri
	isterinya dan dimintanya  supaya  mengaku.  Ia  masuk  menemui
	Aisyah;  di  tempat  itu  ada  ayahnya dan seorang wanita dari
	Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut  pula
	menangis. Tiada terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya
	itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui  bahwa  oleh
	Muhammad  ia  dicurigai.  Dicurigai  oleh  itu  laki-laki yang
	sangat   dicintainya,   dipujanya,   laki-laki   yang   sangat
	dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.
 
	Melihat kedatangannya itu, disekanya airmatanya, dan terdengar
	olehnya ketika ia berkata:
 
	"Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi  pembicaraan
	orang.  Hendaknya  engkau takut kepada Allah jika engkau telah
	melakukan suatu kejahatan seperti apa  yang  dikatakan  orang.
	Bertaubatlah  engkau  kepada  Allah, sebab Allah akan menerima
	segala taubat yang datang dari hambaNya."
 
	Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya  sudah
	mendidih.  Airmatanya  jadi  kering. Ia menoleh ke arah ibunya
	dan  ke  arah  ayahnya.  Ia  menunggu  bagaimana  mereka  akan
	menjawab.  Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun
	yang keluar dari  mereka.  Hati  Aisyah  makin  panas,  seraya
	katanya:
 
	"Kenapa kalian tidak menjawab?"
 
	"Sungguh  kami  tidak  tahu bagaimana harus kami jawab," jawab
	mereka.
 
	Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia  tak
	dapat  menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Airmatanya
	itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah
	hendak  membakar  jantungnya.  Sambil menangis itu kemudian ia
	bicara, ditujukan kepada Nabi:
 
	"Demi Allah, sama sekali  saya  tidak  akan  bertaubat  kepada
	Tuhan  seperti  yang  kausebutkan  itu.  Saya tahu, kalau saya
	mengiakan  apa  yang  dikatakan  orang   itu,   sedang   Tuhan
	mengetahui  bahwa  saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan
	sesuatu yang tak ada. Tetapi kalau  pun  saya  bantah,  kalian
	takkan  percaya."  Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi:
	"Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah
	Yusuf:  'Maka  sabar  itulah yang baik, dan hanya Allah tempat
	meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!"

	Sejenak jadi sunyi,  setelah  terjadi  pergolakan  itu.  Orang
	tidak  tahu  pasti  sampai  berapa lama hal itu berjalan. Akan
	tetapi  begitu  Muhammad  hendak   meninggalkan   tempat   itu
	tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya.
	Pakaiannya segera diselimutkan  kepadanya  dan  sebuah  bantal
	dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.
 
	Dalam  hal ini Aisyah berkata: "Saya sendiri sama sekali tidak
	merasa takut dan tidak peduli setelah  melihat  kejadian  ini.
	Saya  sudah  mengetahui,  bahwa  saya  tidak berdosa dan Allah
	tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri  saya.  Sebaliknya
	orangtua  saya,  setelah  Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira
	nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau  wahyu
	dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang."
 
	Setelah  Muhammad terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran
	keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia berkata:
 
	"Gembirakanlah hatimu, Aisyah!  Tuhan  telah  membebaskan  kau
	dari tuduhan."
 
	"Alhamdulillah," kata Aisyah.
 
	Kemudian  Muhammad  pergi  ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat
	berikut ini kepada kaum Muslimin:
 
	"Mereka yang datang membawa berita bohong itu sebenarnya  dari
	golonganmu  juga.  Jangan  kamu mengira ini suatu bencana buat
	kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu. Setiap
	orang  dari  mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa
	yang mereka perbuat. Dan  orang  yang  mengetuai  penyiarannya
	diantara  mereka  itu  akan mendapat siksa yang berat. Mengapa
	orang-orang  beriman  -  laki-laki  dan  perempuan  -   ketika
	mendengar  berita itu, tidak berprasangka baik terhadap sesama
	mereka sendiri, dan mengatakan: ini adalah suatu berita bohong
	yang  nyata sekali? Mengapa dalam hal ini mereka tidak membawa
	empat orang saksi. Kalau mereka tak dapat membawa  saksi-saksi
	itu, maka mereka itu disisi Allah adalah orang-orang pendusta.
 
	Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan dan kasih-sayangNya
	juga kepadamu - di dunia dan di akhirat - niscaya siksa  Allah
	yang  besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu lakukan
	itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan
	kamu  katakan  pula  dengan  mulut kamu sendiri apa yang tidak
	kamu ketahui dengan pasti,  dan  kamu  mengiranya  hanya  soal
	kecil  saja,  padahal pada Allah itu adalah perkara besar. Dan
	tatkala kamu mendengarnya, mengapa tidak  kamu  katakan  saja:
	tidak  sepatutnya  kami  membicarakan  masalah  ini. Maha Suci
	Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan kamu,
	jangan  sekali-kali  hal  serupa  itu  akan terulang jika kamu
	memang   orang-orang   yang   beriman.    Allah    menjelaskan
	keterangan-keterangan   itu   kepada   kamu.  Dan  Allah  Maha
	Mengetahui,  Maha  Bijaksana.   Mereka   yang   suka   melihat
	tersebarnya  perbuatan  keji  di kalangan orang-orang beriman,
	akan mengalami siksaan pedih di  dunia  dan  di  akhirat.  Dan
	Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Qur'an, 24 :
	11-19)
 
	Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan  hukuman  terhadap
	orang  yang  melemparkan  tuduhan buta kepada kaum wanita yang
	baik-baik.
 
	"Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada wanita-wanita
	yang  baik-baik,  lalu  mereka  tak  dapat membawa empat orang
	saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali  pukulan,
	dan  jangan  sekali-kali  menerima  lagi kesaksian mereka itu.
	Mereka itu adalah orang-orang yang jahat." (Qur'an, 24: 4)
 
	Untuk  melaksanakan  ketentuan  Qur'an,  mereka   yang   telah
	menyebarkan  berita  keji  itu  - Mistah b. Uthatha, Hassan b.
	Thabit dan Hamna bt.  Jahsy,  masing-masing  mendapat  hukuman
	dera delapanpuluh kali.
 
	Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya semula, dalam
	rumah tangga dan dalam hati Muhammad.

	Sebagai  komentar  atas  peristiwa  ini   Sir   William   Muir
	menyebutkan  sebagai  berikut:  "Sejarah  Aisyah, baik sebelum
	atau  sesudah  peristiwa  itu  mengharuskan   kita   mengambil
	keputusan  yang  pasti  bahwa  dia,  adalah bersih dari segala
	tuduhan itu dan mengharuskan kita pula untuk  tidak  ragu-ragu
	lagi menggugurkan segala macam prasangka terhadap dirinya."
 
	Akan  tetapi sesudah itu pun Hassan b. Thabit kembali diterima
	dan  mendapat  kasih  sayang  Muhammad  lagi.  Demikian   juga
	Muhammad  minta  kepada  Abu  Bakr,  supaya  jangan mengurangi
	kasih-sayangnya kepada Mistah seperti yang sudah-sudah.  Sejak
	itu selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas
	di  seluruh  Medinah.  Aisyah  pun  cepat  pula  sembuh   dari
	sakitnya,  lalu  kembali  ke  rumahnya  di  tempat  Rasul, dan
	kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali  dalam  kedudukannya
	yang   tinggi   dalam  hati  sahabat-sahabatnya  seluruh  kaum
	Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan  diri
	kepada  ajarannya  dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai
	suatu persiapan guna menghadapi perjanjian  Hudaibiya.  Semoga
	Allah memberikan kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin.
 
	Catatan kaki:
 
	 1 Qur'an 53
 
	 2 Sebuah desa atau pangkalan air terletak antara Mekah
	   dengan Medinah, kira-kira 66 km dari Mekah (A).
	   
	 3 min ka'abat'l-munqalab, 'menarik diri dari perjalanan
	   dan kembali ke kampung halaman, yakni ia kembali ke
	   rumah dengan melihat segala sesuatu yang menyedihkan'
	   (N), (A).
	   
	 4 Aslinya secara harfiah: 'Gemukkan anjingmu, engkau
	   akan dimakannya.' (A).
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1