Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

	BAGIAN KESEMBILANBELAS: DARI DUA PEPERANGAN
	SAMPAI KE HUDAIBIYA                                      (2/3)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Demikian  inilah  persiapan  kehidupan  sosial  yang baru yang
	dikehendaki oleh Islam untuk suatu  masyarakat  umat  manusia.
	Landasannya  ialah  mengubah  sama-sekali pandangan masyarakat
	itu akan hubungan  laki-laki  dengan  wanita.  Ia  menghendaki
	dihapusnya   segala   tanggapan   tentang  sex  (libido)  yang
	menguasai pikiran manusia selama ini,  dan  dalam  segala  hal
	menganggapnya   sebagai  satu-satunya  yang  berkuasa.  Dengan
	demikian yang dikehendaki  ialah  mengarahkan  masyarakat  itu
	sesuai  dengan  tujuan  hidup  umat  manusia yang lebih tinggi
	dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu  kesenangan
	hidup  yang  tidak  akan  mengurangi  pula  kebebasannya untuk
	berkeinginan - apalagi  sampai  akan  menghilangkan  kebebasan
	untuk  berkeinginan  ini  -  dan yang akan melahirkan hubungan
	manusia dengan  semesta  alam.  Dari  tingkat  hidup  mengolah
	tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan,
	yang bagaimana pun, ke  tingkat  yang  lebih  tinggi,  setaraf
	dengan  kehidupan  orang-orang  suci,  dan  akan berkomunikasi
	dengan  cara  malaikat.  Puasa,  salat,   zakat   yang   telah
	ditentukan  oleh  Islam,  ialah alat untuk mencapai taraf ini;
	yang  akan  mencegah   perbuatan   keji,   kemungkaran   serta
	pelanggaran.  Sekaligus  ia  akan  membersihkan  jiwa dan hati
	orang dari segala penyakit  menghambakan  diri  selain  kepada
	Allah,  disamping  memperkuat  tali persaudaraan antara sesama
	orang  beriman,  memperkuat  hubungan  antara  manusia  dengan
	segala yang ada dalam semesta alam ini.
 
	Penyusunan  suatu  kehidupan  sosial  secara  berangsur-angsur
	sebagai suatu  persiapan  kearah  transisi  besar  yang  telah
	disediakan  oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi
	pihak  Quraisy  dan   kabilah-kabilah   Arab   lainnya   dalam
	menantikan  kesempatan  hendak  menghancurkan Muhammad. Tetapi
	juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia
	bergerak  untuk  menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh,
	bila dianggap perlu.
 
	Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu  Quraiza  dapat
	dihancurkan,  ia  sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di
	sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib
	b. 'Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan
	di Raji' dua tahun yang lalu itu. Akan  tetapi  maksudnya  ini
	tidak  diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga.
	Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke  Syam.
	Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah
	utara.

	Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan  sekutu-sekutunya  yang
	berdekatan  tak  ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok
	ke  arah  Mekah  dengan  berjalan  lebih  cepat  lagi.  Tetapi
	sesampainya  di  perkampungan Banu Lihyan di 'Uran, masyarakat
	setempat telah melihatnya  ketika  pertama  kali  ia  menyusur
	jalan  ke  selatan.  Dari mereka inilah Banu Lihyan mengetahui
	bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung
	ke  puncak-puncak  bukit  dengan membawa harta-benda yang ada.
	Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.
 
	Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa  seratus
	orang pasukan menuju 'Usfan2 tidak jauh dari Mekah. Rasulullah
	sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika  itu  panas  musim
	sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata:
 
	"Yang kembali dan  yang  bertobat      jika  dikehendaki Allah
	kiranya    kepada  Tuhan  juga  kami   memuji   syukur.   Saya
	berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan
	ini, serta  kedukaan  karena  diri  kembali  dari  perjalanan3
	dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda."

	Baru   beberapa   malam  saja  Muhammad  kembali  ke  Medinah,
	tiba-tiba datang 'Uyaina b.  Hishn  menyerang  pinggiran  kota
	itu.   Di   tempat   tersebut  ada  beberapa  ekor  unta  yang
	digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan  isterinya.
	Laki-laki  itu  oleh  'Uyaina dan kawan-kawannya dibunuh, unta
	diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera  pergi  dengan
	perkiraan  bahwa  mereka  telah  dapat menyelamatkan diri dari
	pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. 'Amr bin'l-Akwa'  yang
	sudah   lebih   dulu   memacu   kudanya  menuju  hutan  dengan
	bersenjatakan    panah    dan    busur,    ketika    melintasi
	Thaniat'l-Wada'  dan  menjenguk  ke bawah dari arah bukit Sal'
	rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa  wanita  itu
	dilihatnya.  Ketika  itu  pula  ia  berteriak  meminta bantuan
	sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak
	panahnya  ke  arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat.
	Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan
	Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian
	ia pun memanggil-manggil penduduk  Medinah:  Ada  bahaya!  Ada
	bahaya!
 
	Seketika  itu  juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap
	penjuru.  Setelah  mendapat  perintah  mereka  pun   berangkat
	mengikuti  jejak  gerombolan  itu.  Dia  sendiri mempersiapkan
	pasukannya lalu berangkat  menyusul  mereka.  Ia  berhenti  di
	sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.
 
	Sementara  itu  'Uyaina  dan  anak  buahnya  sudah mempercepat
	langkah,  ingin  lekas-lekas  bergabung  dengan  Ghatafan  dan
	melepaskan  diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan
	Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka.  Sebahagian
	unta  itu  dapat  diselamatkan  kembali  dari  tangan  mereka.
	Kemudian Muhammad datang menyusul dan  memberikan  bantuannya.
	Wanita  beriman  yang  dibawa  oleh  orang-orang  Arab itu pun
	selamat pula.
 
	Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi,  terdorong  oleh
	rasa panas hati, ingin terus mengejar 'Uyaina. Tetapi dilarang
	oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya  bahwa  'Uyaina  dan
	anak  buahnya  sudah  sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung
	kepada mereka.

	Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga
	itu  pun  datang  pula  menyusul di atas seekor unta kepunyaan
	kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernadar, bahwa kalau unta itu
	dapat  diselamatkan,  akan disembelihnya seekor sebagai kurban
	buat Tuhan. Tetapi setelah nadarnya disampaikan  kepada  Nabi'
	Nabi  berkata:  "Suatu  balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah
	mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta  itu,
	lalu  unta  itu  yang  akan  kausembelih. Nadar dengan berdosa
	kepada Tuhan tidak  berlaku,  juga  atas  sesuatu  yang  tidak
	kaupunyai."
 
	Sesudah  itu  Muhammad  tinggal  di  Medinah  hampir dua bulan
	sudah.  Kemudian  terjadi  suatu   ekspedisi   terhadap   Banu
	Mushtaliq  di  Muraisi' - suatu ekspedisi yang telah dijadikan
	bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup
	Nabi.  Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau
	karena kedua belah pihak - Muslimin dan musuhnya  -  bertempur
	mati-matian  sampai  melampaui  batas, tetapi karena kenyataan
	adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar kedalam  tubuh
	Muslimin  sendiri  kalau  tidak segera Rasul mengambil langkah
	yang sangat baik sekali, tegas  dan  meyakinkan;  juga  karena
	kemudian  Rasul  kawin  dengan  Juwairiah  bt.  al-Harith, dan
	karena ekspedisi ini telah  pula  menimbulkan  hadith'l-ifk  -
	peristiwa  kebohongan  -  tentang  diri  Aisyah. Peristiwa ini
	telah menempatkannya kedalam persoalan iman dan kekuatan  hati
	- sementara usianya masih enambelas tahun - sehingga segalanya
	tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman  dan  kekuatan
	hati itu jugalah.
 
	Bahwa  kegiatan  Banu  Mushtaliq  - yang merupakan bagian dari
	Khuza'a   -   yang   telah   mengadakan   persepakatan   dalam
	perkampungan  mereka  di  dekat  Mekah, beritanya telah sampai
	pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi
	dengan  maksud  hendak  membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh
	komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh
	Muhammad   dari   salah   seorang   orang  badwi.  Maka  iapun
	cepat-cepat berangkat sementara mereka sedang lengah,  seperti
	biasanya  bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin
	di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan  Sa'd
	b.  'Ubada.  Pihak  Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah
	pangkalan air yang bernama Muraisi', tidak jauh  dari  wilayah
	Banu  Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak
	yang tadinya datang  hendak  memberikan  pertolongan  sekarang
	mereka sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh'
	dari  Muslimin  seorang,  konon  bernama  Hisyam  b.  Shubaba,
	dibunuh  oleh  salah  seorang  dari Anshar, yang keliru dikira
	dari pihak musuh.

	Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan  panah,  tak  ada
	jalan  lain  buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah dibawah
	tekanan pihak Muslimin  yang  kuat  dan  bergerak  cepat  itu.
	Mereka  dibawa  sebagai  tawanan  perang,  begitu  juga wanita
	mereka, unta dan binatang  ternak  yang  lain.  Dalam  pasukan
	tentara  itu  Umar  ibn'l-Khattab  mempunyai orang upahan yang
	bertugas menuntunkan kudanya. Selesai  pertempuran  orang  ini
	pernah  berselisih  dengan salah seorang dari kalangan Khazraj
	karena  soal  air.  Mereka  jadi   berkelahi   dan   sama-sama
	berteriak.  Pihak  Khazraj  berkata: "Saudara-saudara Anshar!"
	Sedang  orang  sewaan  Umar  berkata  pula:   "Saudara-saudara
	Muhajirin!"
 
	Teriakan  demikian  itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy,
	yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik  turut
	pula  dalam  ekspedisi  dengan  harapan  akan  beroleh  bagian
	rampasan perang. Dendamnya kepada pihak  Muslimin  dan  kepada
	Muhammad  segera  timbul.  Dalam  hal  ini  ia  berkata kepada
	kawan-kawannya:
 
	"Di kota kita ini sudah banyak  kaum  Muhajirin.  Penggabungan
	kita  dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Membesarkan
	anak harimau.'4 Sungguh, kalau kita sudah kembali ke  Medinah,
	orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."
 
	Kemudian  kepada  golongannya yang hadir waktu itu ia berkata:
	"Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan  mereka
	tinggal  di  negerimu  ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan
	mereka. Demi Allah, kalau apa yang  ada  pada  kamu  itu  kamu
	pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain."
 
	Percakapannya  itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika
	itu  baru  selesai   menghadapi   musuh.   Ketika   itu   Umar
	ibn'l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.
 
	"Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya," katanya.
 
	Seperti  biasanya,  disini  Nabi  memperlihatkan sikap sebagai
	seorang  pemimpin  yang  sudah  matang,  bijaksana  dan  punya
	pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:
 
	"Umar  bagaimana  kalau  sampai  menjadi pembicaraan orang dan
	orang mengatakan, bahwa Muhammad  membunuh  sahabat-sahabatnya
	sendiri?"
 
	Akan  tetapi  dalam  pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa
	soalnya akan jadi rumit  sekali  kalau  tidak  segera  diambil
	langkah  yang  tegas.  Oleh  karena  itu diperintahkannya agar
	diumumkan  untuk  segera  berangkat  dalam  waktu  yang  tidak
	biasanya  kaum  Muslimin  meninggalkan tempat itu. Berita yang
	disampaikan orang kepada  Nabi  itu  sampai  juga  kepada  Ibn
	Ubayy.  Cepat-cepat  ia  menemui  Nabi hendak membantah adanya
	berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas  nama
	Tuhan,  bahwa  dia  tidak  mengatakan  dan tidak pernah bicara
	begitu. Tetapi ini tidak mengubah  keputusan  Muhammad  hendak
	meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan
	sepanjang malam hingga  pagi  harinya  lagi  terus-menerus  ia
	memimpin  perjalanan  itu  hingga  pada pertengahan hari kedua
	tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.
 
	Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka
	menyentuh  lantai,  mereka  pun segera tertidur. Karena sangat
	lelah orang sudah lupa cakap Ibn  Ubayy.  Sesudah  itu  mereka
	pulang   ke   Medinah   dengan  membawa  rampasan  perang  dan
	orang-orang  tawanan  Banu  Mushtaliq,  diantaranya   Juwairia
	bint'l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang
	sudah dikalahkan itu.

	Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy  pun
	sudah  di  sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah
	selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada  Muhammad  dan  kepada
	Muslimin.  Pura-pura  ia  sebagai  orang Islam, bahkan sebagai
	orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah  berita  yang
	bersumber  dari  dia  ditujukan  kepada Rasulullah di Muraisi'
	itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:
 
	"Mereka  itulah  yang  berkata:  "Jangan  memberikan   bantuan
	apa-apa  kepada  mereka  yang  di  sekitar  Rasulullah, supaya
	mereka berpisah." Padahal  segala  perbendaharaan  langit  dan
	bumi   milik  Allah.  Tetapi  orang-orang  munafik  itu  tidak
	mengerti. Kata mereka: "Kalau kita sudah kembali  ke  Medinah,
	orang  yang  berkuasa  akan  mengusir  orang yang lebih hina."
	Padahal sebenarnya kekuasaan itu  milik  Allah  dan  Rasul-Nya
	beserta  orang-orang  yang  beriman,  hanya  saja  orang-orang
	munafik itu tidak mengetahui." (Qur'an, 63: 7-8)

	Dengan  demikian  lalu  ada  orang-orang  yang  mengira  bahwa
	ayat-ayat  itu  merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy,
	dan Muhammad  pasti  akan  memerintahkan  supaya  ia  dibunuh.
	Ketika  itu  Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi
	seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:
 
	"Rasulullah, saya mendengar  tuan  ingin  supaya  Abdullah  b.
	Ubayy  itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan
	itu kepada saya. Akan  saya  bawakan  kepalanya  kepada  tuan.
	Orang-orang  Khazraj  sudah  mengetahui,  tak  ada  orang yang
	begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya
	kuatir  tuan  akan  menyerahkan  tugas  ini kepada orang lain.
	Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan
	dapat  menahan  diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya
	itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya
	membunuh  orang  beriman  yang membunuh orang kafir. Maka saya
	akan masuk neraka."
 
	Begitulah kata-kata  Abdullah  b.  Abdullah  b.  Ubayy  kepada
	Muhammad.  Saya  rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam
	dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun  singkat  dalam
	melukiskan  suasana  batin  yang  sedang  gelisah,  batin yang
	dibawa oleh pengaruh  pergolakan  yang  dahsyat  sekali  dalam
	jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan
	pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa  harga  diri
	sebagai  orang  Arab  serta  rasa  cintanya akan kesejahteraan
	Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.
 
	Inilah  perasaan  seorang  anak  yang  melihat  ayahnya   akan
	dibunuh.  Dia  tidak  minta  kepada Nabi supaya ayahnya jangan
	dibunuh, sebab dia  Nabi,  dia  akan  tunduk  kepada  perintah
	Tuhan,  dan  yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena
	kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan
	membunuh  ayahnya  yang  diharuskan  oleh rasa baktinya kepada
	ayah dan oleh rasa  kehormatan  dan  harga  diri  -  maka  dia
	sendirilah  yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan
	membunuh ayahnya;  kepalanya  akan  dibawanya  sendiri  kepada
	Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.

	Dengan  imannya  itu  ia  merasa  agak  mendapat  hiburan juga
	menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir
	akan  masuk  neraka  apabila  ia  membunuh seorang mukmin yang
	telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya.  Sungguh  suatu
	perjuangan  yang  sangat  dahsyat  antara  iman  di satu pihak
	dengan perasaan dan moral  di  pihak  lain.  Suatu  perjuangan
	batin  yang  sungguh  fatal  menghunjam ke dalam hati, sungguh
	tragis!  Tetapi,  tahukah  kita  betapa  jawaban  Nabi  kepada
	Abdullah setelah mendengar itu?
 
	"Kita  tidak  akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik
	kepadanya,  harus  menemaninya  baik-baik  selama  dia   masih
	bersama dengan kita."
 
	Memaafkan.  Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku
	begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah
	supaya  memusuhinya  dan  memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah
	sikap baiknya dan kemaafannya itu  memberi  bekas  yang  lebih
	dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.
 
	Sejak  itu  apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api,
	golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan  membuatnya
	ia  merasa  bahwa  sisa  hidupnya itu dari pemberian Muhammad.
	Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan  Umar
	mengenai    masalah-masalah   kaum   Muslimin,   sampai   juga
	menyebut-nyebut  Abdullah  b.  Ubayy'  begitu   juga   tentang
	golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.
 
	"Umar,  bagaimana  pendapatmu,"  kata Muhammad. "Ya, kalau kau
	bunuh dia ketika  kaukatakan  kepadaku  supaya  dibunuh  saja,
	tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh
	tentu akan kaubunuh."
 
	"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah  Rasulullah  lebih
	besar artinya daripada perintah saya."

	Semua  peristiwa  itu  terjadi  setelah kaum Muslimin - dengan
	membawa tawanan dan rampasan perang - kembali ke Medinah. Akan
	tetapi  lalu  ada  suatu  peristiwa  yang  pada  mulanya tidak
	memberi bekas apa-apa,  tetapi  kemudian  menjadi  pembicaraan
	yang  panjang  juga.  Soalnya  ialah  Nabi  mengadakan  undian
	terhadap  isteri-isterinya  bila  akan  berangkat   mengadakan
	ekspedisi.  Barangsiapa  yang  keluar namanya maka dialah yang
	ikut  serta.  Sorenya  pada  waktu  mau  mengadakan  ekspedisi
	terhadap  kepada  Banu  Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama
	Aisyah. Jadi dia yang dibawa.  Aisyah  adalah  seorang  wanita
	yang   berperawakan   kecil,   ringan.  Bila  pelangkin  sudah
	diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik.
	Lalu  mereka  membawanya pada punggung unta. Karena ringannya,
	mereka hampir tidak dapat merasakan.
 
	Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia
	berangkat  lagi  meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat
	meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia  menuju
	Medinah.  Sampai  di  suatu  tempat dekat kota ia berhenti dan
	bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan  kepada  rombongan,
	perjalanan akan diteruskan lagi.
 
	Karena  hendak  menunaikan  hajat,  Aisyah  ketika  itu sedang
	keluar dari kemah Nabi, sedang  pelangkin  sudah  menunggu  di
	depan  kemah,  menantikan  ia masuk kembali. Aisyah mengenakan
	seutas kalung yang ketika sedang  menyelesaikan  keperluannya,
	kalung  itu  lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan
	berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak  ada.  Ia  kembali
	menyusur  jalan  sambil  mencari-carinya.  Dan barangkali lama
	juga ia mencarinya, baru  kemudian  benda  itu  diketemukannya
	kembali.  Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu
	lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas  untuk
	kemudian  naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah
	dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan  bahwa  dia
	sudah  berada  didalamnya  lalu  mereka  berangkat juga dengan
	anggapan bahwa mereka sedang  membawa  Umm'l-Mu'minin,  isteri
	yang  sangat  dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang
	yang akan dapat ditanyai tidak ada.  Dia  tidak  merasa  takut
	bahkan  dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui
	dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya  semula.
	Jadi  lebih  baik  dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada
	mengarungi  padang  pasir  tanpa  pedoman;   ia   akan   sesat
	karenanya.  Tanpa  merasa  takut, dengan berselimutkan pakaian
	luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang
	akan datang mencarinya.
 
	Sementara  ia  sedang  berbaring  itu,  Shafwan bin'l-Mu'attal
	lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat  dari  rombongan
	tentara  karena  harus  menunaikan  urusannya  pula.  Ia sudah
	pernah  melihatnya  sebelum  ada  ketentuan   hijab   terhadap
	isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan
	surut sambil berkata: "Inna lillahi wa  inna  ilaihi  raji'un!
	Isteri  Rasulullah  s.a.w.?  Kenapa  sampai tertinggal? Semoga
	rahmat  Tuhan  juga."  Aisyah  tidak  menjawab.  Didekatkannya
	untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: "Naiklah."
 
	Setelah  Aisyah  naik  kemudian  ia  berangkat dengan unta itu
	cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi  tidak
	terkejar  juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan,
	ingin  segera  sampai  di  Medinah,  agar  dapat  beristirahat
	setelah  mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga
	diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan  fitnah  yang
	hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.
 
	Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang
	banyak sementara Aisyah  di  atas  untanya.  Sampai  di  depan
	rumahnya  dalam  rangkaian  rumah  isteri-isteri Rasul, ia pun
	masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa  hal  ini  akan
	dijadikan  buah  bibir,  atau  akan menimbulkan syak karena ia
	terlambat  dari  rombongan,  juga  dalam  hati   Rasul   tidak
	terlintas  suatu  prasangka  buruk  terhadap  Shafwan, seorang
	orang mukmin yang beriman teguh.
 
	                                    			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1