Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4 ]

	BAGIAN KELIMA: DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR  (2/4)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Ia  minta  waktu  akan  berunding  dengan  ayahnya lebih dulu.
	Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi  besoknya  ia  memberi
	tahukan  kepada  suami-isteri  itu,  bahwa  ia  akan mengikuti
	mereka berdua, tidak perlu minta pendapat  Abu  Talib.  "Tuhan
	menjadikan  saya  tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib.
	Apa gunanya saya harus berunding dengan  dia  untuk  menyembah
	Allah."
 
	Jadi  Ali  adalah  anak  pertama yang menerima Islam. Kemudian
	Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih
	terbatas   hanya   dalam  lingkungan  keluarga  Muhammad:  dia
	sendiri, isterinya, kemenakannya  dan  bekas  budaknya.  Masih
	juga  ia  berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy
	itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula
	kuatnya  mereka  berpegang  pada  berhala yang disembah-sembah
	nenek moyang mereka itu.

	Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah
	teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah
	diketahuinya benar ia sebagai orang  yang  bersih,  jujur  dan
	dapat  dipercaya.  Oleh  karena  itu orang dewasa pertama yang
	diajaknya  menyembah   Allah   Yang   Esa   dan   meninggalkan
	penyembahan  berhala,  adalah  dia. Juga dia laki-laki pertama
	tempat dia membukakan isi hatinya  akan  segala  yang  dilihat
	serta  wahyu  yang  diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi
	memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya  itu.
	Jiwa  yang  mana  lagi yang memang mendambakan kebenaran masih
	akan ragu-ragu  meninggalkan  penyembahan  berhala  dan  untuk
	kemudian  menyembah  Allah  Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang
	masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih  mau
	menyembah  batu  yang  bagaimanapun  bentuknya! Jiwa yang mana
	lagi yang  sudah  bersih  masih  akan  ragu-ragu  membersihkan
	pakaian  dan  jiwanya,  berderma kepada orang yang membutuhkan
	dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!
 
	Keimanannya  kepada  Allah  dan  kepada  RasulNya  itu  segera
	diumumkan  oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang
	seorang pria yang rupawan. "Menjadi  kesayangan  masyarakatnya
	dan  amikal  sekali.  Dari  kalangan Quraisy ia termasuk orang
	Quraisy yang berketurunan tinggi dan  yang  banyak  mengetahui
	segala  seluk-beluk  bangsa  itu,  yang  baik  dan yang jahat.
	Sebagai pedagang  dan  orang  yang  berakhlak  baik  ia  cukup
	terkenal.   Kalangan   masyarakatnya  sendiri  yang  terkemuka
	mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya  karena
	ilmunya,  karena  perdagangannya  dan karena pergaulannya yang
	baik."

	Dari kalangan masyarakatnya  yang  dipercayai  oleh  Abu  Bakr
	diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b.
	'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b.  Abi  Waqqash  dan  Zubair
	bin'l-'Awwam   mengikutinya   pula  menganut  Islam.  Kemudian
	menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi  yang
	lain  dari  penduduk  Mekah.  Mereka yang sudah Islam itu lalu
	datang  kepada  Nabi  menyatakan  Islamnya,  yang  selanjutnya
	menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.
 
	Mengetahui  adanya  permusuhan  yang  begitu bengis dari pihak
	Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka
	kaum  Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila
	mereka akan  melakukan  salat,  mereka  pergi  ke  celah-celah
	gunung  di  Mekah.  Keadaan  serupa  ini  berjalan selama tiga
	tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk
	Mekah.  Wahyu  yang  datang  kepada  Muhammad selama itu makin
	memperkuat iman kaum Muslimin.
 
	Yang menambah pula dakwah  itu  berkembang  sebenarnya  karena
	teladan  yang  diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh
	bakti dan penuh kasih-sayang, sangat  rendah  hati  dan  penuh
	kejantanan,  tutur-katanya  lemah-lembut  dan  selalu  berlaku
	adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan.  Pandangannya
	terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara
	dan miskin adalah pandangan seorang  bapa  yang  penuh  kasih,
	lemah-lembut  dan  mesra.  Malam haripun, dalam ia bertahajud,
	malam ia tidak cepat tidur,  membaca  wahyu  yang  disampaikan
	kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari
	pertanda  dari  segenap  wujud   ini,   permohonannya   selalu
	dihadapkan  hanya  kepada  Allah.  Dia. yang menyerapkan hidup
	semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung  kehidupannya
	sendiri,  adalah  suatu teladan yang membuat mereka yang sudah
	beriman dan menyatakan diri Islam itu,  makin  besar  cintanya
	kepada  Islam  dan  makin  kukuh  pula  imannya.  Mereka sudah
	berketetapan  hati  meninggalkan  anutan  nenek-moyang  mereka
	dengan  menanggung  segala  siksaan  kaum musyrik yang hatinya
	belum lagi disentuh iman.
 
	Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal
	arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan
	arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum
	yang  lemah,  semua  orang  yang sengsara dan semua orang yang
	tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar
	di  Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria
	dan wanita.
 
	Orang   banyak   bicara   tentang   Muhammad    dan    tentang
	ajaran-ajarannya.   Akan  tetapi  penduduk  Mekah  yang  masih
	berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya  tidak
	menghiraukannya.  Mereka  menduga, bahwa kata-katanya tidakkan
	lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss,
	Umayya,  Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada
	kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan  menang  ialah
	Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai
	kurban.  Mereka  lupa  bahwa  iman  yang   murni   tak   dapat
	dikalahkan,   dan   bahwa   kebenaran   pasti   akan  mendapat
	kemenangan.

	Tiga  tahun  kemudian  sesudah  kerasulannya,  perintah  Allah
	datang  supaya  ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan
	itu, perintah  Allah  supaya  disampaikan.  Ketika  itu  wahyu
	datang:
 
	"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat.
	Limpahkanlah  kasih-sayang  kepada  orang-orang  beriman  yang
	mengikut  kau.  Kalaupun  mereka tidak mau juga mengikuti kau,
	katakanlah, 'Aku lepas tangan dari  segala  perbuatan  kamu.'"
	(Qur'an 26: 214-216)
 
	"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak
	usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94)
 
	Muhammadpun  mengundang   makan   keluarga-keluarga   itu   ke
	rumahnya,  dicobanya  bicara dengan mereka dan mengajak mereka
	kepada  Allah.  Tetapi  Abu  Talib,  pamannya,  lalu  menyetop
	pembicaraan  itu.  Ia  mengajak orang-orang pergi meninggalkan
	tempat.  Keesokan  harinya  sekali  lagi  Muhammad  mengundang
	mereka.
 
	Selesai  makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada
	seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan  sesuatu
	ke  tengah-tengah  mereka  lebih  baik  dari yang saya bawakan
	kepada kamu sekalian ini.  Kubawakan  kepada  kamu  dunia  dan
	akhirat  yang  terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu
	sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku  dalam
	hal ini?"
 
	Mereka    semua   menolak,   dan   sudah   bersiap-siap   akan
	meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu  ia
	masih anak-anak, belum lagi balig.
 
	"Rasulullah,  saya  akan  membantumu,"  katanya.  "Saya adalah
	lawan siapa saja yang kautentang."
 
	Banu   Hasyim   tersenyum,   dan   ada   pula   yang   tertawa
	terbahak-bahak.  Mata  mereka  berpindah-pindah dari Abu Talib
	kepada anaknya. Kemudian mereka  semua  pergi  meninggalkannya
	dengan ejekan.
 
	Sesudah  itu  Muhammad  kemudian  mengalihkan  seruannya  dari
	keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah.
	Suatu  hari  ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat
	Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu  lalu  membalas:  "Muhammad
	bicara  dari  atas  Shafa."  Mereka lalu datang berduyun-duyun
	sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"
 
	"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa
	pada  permukaan  bukit  ini  ada  pasukan  berkuda. Percayakah
	kamu?"
 
	"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak  pernah  disangsikan.  Belum
	pernah kami melihat engkau berdusta."
 
	"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang
	sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf,
	Banu  Zuhra,  Banu  Taim,  Banu  Makhzum  dan  Banu Asad Allah
	memerintahkan     aku      memberi      peringatan      kepada
	keluarga-keluargaku  terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau
	akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan  yang  dapat
	kuberikan  kepada  kamu,  selain  kamu  ucapkan: Tak ada tuhan
	selain Allah."
 
	Atau  seperti  dilaporkan:  Abu  Lahab  -  seorang   laki-laki
	berbadan  gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil
	meneriakkan: "Celaka kau hari ini.  Untuk  ini  kau  kumpulkan
	kami?"
 
	Muhammad  tak  dapat  bicara.  Dilihatnya pamannya itu. Tetapi
	kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:
 
	"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia.  Tak  ada
	gunanya  kekayaan  dan  usahanya  itu. Api yang menjilat-jilat
	akan menggulungnya" (Qur'an 102:1-8)
 
	Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang
	lain  tidak  dapat  merintangi  tersebarnya  dakwah  Islam  di
	kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja
	orang  yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih
	mereka yang tidak terpesona oleh  pengaruh  dunia  perdagangan
	untuk   sekedar   melepaskan  renungan  akan  apa  yang  telah
	diserukan kepada mereka. Mereka sudah  melihat  Muhammad  yang
	berkecukupan,  baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri.
	Tidak   dipedulikannya   harta   itu,    juga    tidak    akan
	memperbanyaknya   lagi.   Ia   mengajak   orang   hidup  dalam
	kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh
	(lapang  dada,  toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu
	menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan
	terhadap jiwa.
 
	"Kamu  telah  dilalaikan  oleh perlombaan saling memperbanyak.
	Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu
	ketahui  juga  nanti.  Jangan.  Kalau  kamu  mengetahui dengan
	meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat  neraka.  Kemudian,  tentu
	akan  kamu  lihat  itu  dengan  mata yang meyakinkan. Hari itu
	kemudian baru kamu  akan  ditanyai  tentang  kesenangan  itu."
	(Qur'an 111: 1-3)
 
	Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu!
	Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang  tak
	ada  batasnya.  Kebebasan  yang  sungguh  bernilai bagi setiap
	manusia Arab itu, sama  dengan  nilai  hidupnya  sendiri!  Ya!
	Bukankah  orang  mau  melepaskan  diri  dari  belenggu  dengan
	pengabdian  yang  bagaimanapun  selain  pengabdiannya   kepada
	Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada
	Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari  orang
	Mesir,  tak  ada  bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin
	(pengikut-pengikut Isa),  tak  ada  seorang  manusiapun,  atau
	malaikat  ataupun  jin  yang  akan  menjadi batas antara Allah
	dengan manusia. Di hadapan Allah,  hanya  di  hadapanNya  Yang
	Tunggal     tak     bersekutu,     manusia    akan    dimintai
	pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan,
	yang  baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah
	yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang  akan  menimbang
	semua  perbuatan.  Hanya  itulah  yang  berkuasa atas dirinya.
	Dengan itulah dipertanggungkan  ketika  setiap  jiwa  mendapat
	balasan  sesuai  dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang
	lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad  itu?  Adakah  Abu
	Lahab  dan  kawan-kawannya  mengajarkan  yang  semacam  itu  -
	sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan  supaya  manusia
	tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni
	oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah
	menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?

	Akan  tetapi  Abu  Lahab,  Abu  Sufyan dan bangsawan-bangsawan
	Quraisy  terkemuka  lainnya,  hartawan-hartawan   yang   gemar
	bersenang-senang,  mulai  merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu
	merupakan  bahaya  besar  bagi  kedudukan  mereka.  Jadi  yang
	mula-mula  harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara
	mendiskreditkannya,   dan   mendustakan   segala   apa    yang
	dinamakannya kenabian itu.
 
	Langkah  pertama  yang  mereka  lakukan  dalam  hal  ini ialah
	membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr
	bin'l-'Ash  dan  Abdullah  ibn'z-Ziba'ra,  supaya mengejek dan
	menyerangnya. Dalam pada  itu  penyair-penyair  Muslimin  juga
	tampil  membalas  serangan  mereka tanpa Muhammad sendiri yang
	harus melayani.
 
	Sementara  itu,  selain  penyair-penyair  itu  beberapa  orang
	tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan
	dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat  seperti  pada
	Musa  dan  Isa.  Kenapa  bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak
	disulapnya menjadi emas, dan  kitab  yang  dibicarakannya  itu
	dalam  bentuk  tertulis  diturunkan  dari  langit?  Dan kenapa
	Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak  muncul
	di  hadapan  mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang
	yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat
	Mekah  terkurung  karenanya?  Kenapa ia tidak memancarkan mata
	air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam,  padahal  ia  tahu
	betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
 
	Tidak   hanya  sampai  disitu  saja  kaum  musyrikin  itu  mau
	mengejeknya dalam soal-soal  mujizat,  malahan  ejekan  mereka
	makin  menjadi-jadi,  dengan  menanyakan:  kenapa Tuhannya itu
	tidak memberikan wahyu tentang  harga  barang-barang  dagangan
	supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?
 
	Debat  mereka  itu  berkepanjangan.  Tetapi  wahyu yang datang
	kepada Muhammad menjawab debat mereka
 
	"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan  atau  menolak
	bahaya  untuk  diriku  sendiri,  kalau  tidak  dengan kehendak
	Allah. Dan sekiranya aku mengetahui  yang  gaib-gaib,  niscaya
	kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku.
	Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa  berita  gembira
	bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188)
 
	Ya,  Muhammad  hanya  mengingatkan dan membawa berita gembira.
	Bagaimana mereka akan  menuntutnya  dengan  hal-hal  yang  tak
	masuk  akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali
	yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?
	!   Bagaimana   mereka   menuntutnya   dengan   hal-hal   yang
	bertentangan dengan  kodrat  jiwa  yang  tinggi  padahal  yang
	diharapkannya  dari mereka agar mereka mau menerima suara yang
	sesuai dengan kodrat jiwa yang  tinggi  itu?!  Bagaimana  pula
	mereka  masih  menuntutnya  dengan  beberapa  mujizat, padahal
	kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan
	yang  benar  itu  adalah  mujizat  dari segala mujizat? Kenapa
	mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu  diperkuat  lagi
	dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu
	nanti merekapun  akan  ragu-ragu  lagi,  akan  mengikutinyakah
	mereka atau tidak?
 
	Dan  ini,  yang  mereka  katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak
	lebih  adalah  batu-batu  atau   kayu   yang   disangga   atau
	berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang
	tidak  dapat  membawa   kebaikan   ataupun   menolak   bahaya.
	Sungguhpun  begitu  mereka  menyembahnya  juga, tanpa menuntut
	pembuktian sifat-sifat ketuhanannya.  Dan  kalaupun  itu  yang
	dituntut,  pasti  ia  akan  tetap batu atau kayu, tanpa hidup,
	tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau
	membawa  kebaikan.  Dan  jika ada yang datang menghancurkannya
	iapun takkan dapat mempertahankan diri.

	Muhammadpun  sudah  terang-terangan  menyebut  berhala-berhala
	mereka,  yang  sebelum  itu  tidak pernah disebut-sebutnya. Ia
	mencelanya, yang  juga  sebelum  itu  tidak  pernah  dilakukan
	demikian.   Hal  ini  menjadi  soal  besar  bagi  Quraisy  dan
	dirasakan menusuk hati mereka. Tentang  laki-laki  itu,  serta
	apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia,
	sekarang  mulai  sungguh-sungguh  menjadi  perhatian   mereka.
	Sampai   sebegitu   jauh   mereka   baru   sampai   memperolok
	kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa,3 atau
	disekitar  Ka'bah  dengan berhala-berhala yang ada, membuallah
	mereka dengan sikap tidak lebih  dari  senyuman  mengejek  dan
	berolok-olok.  Akan  tetapi,  jika  yang dihina dan diejek itu
	sekarang dewa-dewa mereka  yang  mereka  sembah  dan  disembah
	nenek-moyang  mereka,  termasuk  Hubal,  Lat,  'Uzza dan semua
	berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan  cemoohan,
	melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau,
	andaikata orang itu  sampai  dapat  menghasut  penduduk  Mekah
	melawan  mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil
	apa yang akan diperolehnya dari  perdagangan  Mekah  itu?  Dan
	bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?
 
	Abu  Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia
	sebagai pelindung  dan  penjaga  kemenakannya  itu.  Ia  sudah
	menyatakan   kesediaannya  akan  membelanya.  Atas  dasar  itu
	pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan  diketahui  oleh  Abu
	Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.
 
	"Abu  Talib,"  kata  mereka,  "kemenakanmu  itu  sudah  memaki
	berhala-berhala kita, mencela  agama  kita,  tidak  menghargai
	harapan-harapan  kita  dan menganggap sesat nenek-moyang kita.
	Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau  tidak  biarlah
	kami  sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga
	seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah  engkau  dari  pihak
	kami menghadapi dia."
 
	Akan  tetapi  Abu  Talib  menjawab  mereka dengan baik sekali.
	Sementara itu Muhammad  juga  tetap  gigih  menjalankan  tugas
	dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.
 
	Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi
	mereka pergi menemui Abu Talib.  Sekali  ini  disertai  'Umara
	bin'l-Walid  bin'l-Mughira,  seorang  pemuda  yang  montok dan
	rupawan, yang akan diberikan kepadanya  sebagai  anak  angkat,
	dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka.
	Tetapi inipun ditolak.  Muhammad  terus  juga  berdakwah,  dan
	Quraisypun terus juga berkomplot.
 
	Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.
 
	"Abu   Talib'"   kata   mereka,  "Engkau  sebagai  orang  yang
	terhormat, terpandang  di  kalangan  kami.  Kami  telah  minta
	supaya   menghentikan   kemenakanmu   itu,   tapi  tidak  juga
	kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap  orang  yang
	memaki  nenek-moyang  kita,  tidak  menghargai harapan-harapan
	kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum  kausuruh  dia
	diam  atau  sama-sama  kita  lawan dia hingga salah satu pihak
	nanti binasa."
 
	Berat sekali bagi Abu  Talib  akan  berpisah  atau  bermusuhan
	dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau
	membuat kemenakannya  itu  kecewa.  Gerangan  apa  yang  harus
	dilakukannya?
 
	Dimintanya  Muhammad  datang  dan diceritakannya maksud seruan
	Quraisy. Lalu  katanya:  "Jagalah  aku,  begitu  juga  dirimu.
	Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul."
 
	Muhammad  menekur  sejenak,  menekur  berhadapan dengan sebuah
	sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak  tahu
	hendak  ke  mana  tujuannya.  Dalam  kata-kata  yang  kemudian
	menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi
	dunia:  adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus
	dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan  Kristen  yang  sudah
	gagal   dan   kacau,  dan  dengan  demikian  paganisma  dengan
	kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah  rapuk  dan
	busuk?  Atau  ia  harus memancarkan terus sinar kebenaran itu,
	memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran  manusia
	dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan
	mengangkatnya kemartabat  yang  lebih  tinggi,  sehingga  jiwa
	manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?

	Pamannya,  ini  pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela
	dan   memeliharanya.   Ia   sudah   mau    meninggalkan    dan
	melepaskannya.  Sedang  kaum  Muslimin masih lemah, mereka tak
	berdaya akan berperang, tidak  dapat  mereka  melawan  Quraisy
	yang  punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah
	rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran.
	Dan  atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang.
	Tak punya apa-apa  ia  selain  imannya  kepada  kebenaran  itu
	sebagai  perlengkapan.  Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian
	itu  baginya  lebih  baik  daripada  yang  sekarang.  Ia  akan
	meneruskan   misinya,   akan   mengajak   orang  seperti  yang
	diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman
	kebenaran  yang  telah  diwahyukan kepadanya daripada menyerah
	atau ragu-ragu.
 
	Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan  dan  kemauan,  ia
	menoleh kepada pamannya seraya berkata:
 
	"Paman,  demi  Allah,  kalaupun  mereka meletakkan matahari di
	tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan  kiriku,  dengan
	maksud  supaya  aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan
	kutinggalkan,  biar  nanti   Allah   yang   akan   membuktikan
	kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya."
 
	Ya,  demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman
	itu!  Gemetar  orang  tua  ini  mendengar  jawaban   Muhammad,
	tertegun  ia.  Ternyata  ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan
	kemauan yang begitu tinggi, di atas  segala  kemampuan  tenaga
	hidup yang ada.
 
	Muhammad  berdiri.  Airmatanya  terasa  menyumbat karena sikap
	pamannya  yang  tiba-tiba   itu,   sekalipun   tak   terlintas
	kesangsian   dalam   hatinya   sedikitpun   akan   jalan  yang
	ditempuhnya itu.
 
	Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan  terpesona.  Ia
	masih  dalam  kebingungan  antara tekanan masyarakatnya dengan
	sikap kemanakannya itu. Tetapi  kemudian  dimintanya  Muhammad
	datang   lagi,   yang   lalu   katanya:   "Anakku,  katakanlah
	sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan  engkau  bagaimanapun
	juga!"
	                                   			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1