Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

	BAGIAN KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN                   (2/3) 
	SAMPAI PERKAWINANNYA
	Muhammad Husain Haekal
	
	Baik  kaum  Orientalis  maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
	sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan
	menganggap   sumber  itu  lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua
	laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu
	hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya.
	Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
	itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah
	Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata
	peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun,
	dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya  kepada
	ibunya,  tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
	itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa  penulis
	berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
	kalinya.
	
	Dalam hal ini Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita
	tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
	bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya  suatu
	gangguan  kepada  anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
	gangguan krisis urat-saraf, dan kalau  hal  itu  tidak  sampai
	mengganggu  kesehatannya  ialah  karena  bentuk  tubuhnya yang
	baik. Barangkali yang  lainpun  akan  berkata:  Baginya  tidak
	diperlukan  lagi  akan  ada  yang  harus  membelah  perut atau
	dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan  sudah  mempersiapkannya
	supaya  menjalankan  risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
	cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari  yang  diketahui
	orang  dari  teks  ayat  yang  berbunyi:  "Bukankah sudah Kami
	lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
	telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)
	
	Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti
	rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan)
	dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
	meneruskannya  seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala
	beban karena Risalah yang berat itu.
	
	Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum Orientalis dan
	pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah  bahwa  peri  hidup
	Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
	kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu
	memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa
	dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.
	Dengan  demikian  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan
	penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
	yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
	dikemukakan itu tidak sejalan dengan  apa  yang  diminta  oleh
	Qur'an   supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa
	undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
	dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau
	mendalami dan tidak mau mengerti juga.
	
	Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia  lima
	tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
	sahara  yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar
	mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia
	mengatakan kepada teman-temannya kemudian:  "Aku  yang  paling
	fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
	tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."
	
	Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
	yang  indah  sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
	Halimah dan keluarganya  tempat  dia  menumpahkan  rasa  kasih
	sayang dan hormat selama hidupnya itu.
	
	Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik
	sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana  Halimah
	kemudian  mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
	Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor
	kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
	paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah  sebagai  tanda
	penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
	bersama-sama pihak Hawazin setelah  Ta'if  dikepung,  kemudian
	dibawa  kepada  Muhammad,  ia segera mengenalnya. Ia dihormati
	dan dikembalikan kepada keluarganya  sesuai  dengan  keinginan
	wanita itu.
	
	Sesudah  lima  tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
	Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
	membawanya    pulang    ketempat    keluarganya   tapi   tidak
	menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan  memberitahukan
	bahwa  Muhammad  telah  sesat jalan ketika berada di hulu kota
	Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya,  yang
	akhirnya   dikembalikan   oleh  Waraqa  bin  Naufal,  demikian
	setengah orang berkata.
	
	Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh  cucunya  itu.
	Ia   memeliharanya   sungguh-sungguh  dan  mencurahkan  segala
	kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
	pemimpin  seluruh  Quraisy  dan pemimpin Mekah - diletakkannya
	hamparan  tempat  dia  duduk  di  bawah  naungan  Ka'bah,  dan
	anak-anaknya  lalu  duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
	penghormatan kepada orang tua. Tetapi  apabila  Muhammad  yang
	datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
	sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
	rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
	di belakang dari tempat mereka duduk itu.
	
	Lebih-lebih lagi kecintaan kakek  itu  kepada  cucunya  ketika
	Aminah   kemudian   membawa   anaknya  itu  ke  Medinah  untuk
	diperkenalkan  kepada  saudara-saudara  kakeknya  dari   pihak
	Keluarga Najjar.
	
	Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
	yang ditinggalkan ayahnya dulu.  Sesampai  mereka  di  Medinah
	kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
	dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kali
	ia  merasakan  sebagai  anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
	pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
	itu,   yang   setelah  beberapa  waktu  tinggal  bersama-sama,
	kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari  pihak
	ibu.  Sesudah  Hijrah  pernah  juga  Nabi  menceritakan kepada
	sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
	dengan  ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
	yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
	
	Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah  sudah
	bersiap-siap  akan  pulang.  Ia  dan  rombongan kembali pulang
	dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
	tengah  perjalanan,  ketika  mereka  sampai  di Abwa',2 ibunda
	Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
	pula di tempat itu.
	
	Anak  itu  oleh  Umm  Aiman  dibawa  pulang  ke  Mekah, pulang
	menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
	kehilangan;  sudah  ditakdirkan  menjadi  anak  yatim.  Terasa
	olehnya hidup yang makin sunyi,  makin  sedih.  Baru  beberapa
	hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  Ibunda  keluhan  duka
	kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini  ia
	melihat  sendiri  dihadapannya,  ibu pergi untuk tidak kembali
	lagi, seperti ayah dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini
	dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
	
	Lebih-lebih  lagi  kecintaan  Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
	sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
	bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
	Qur'anpun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan
	nikmat  yang  dianugerahkan  kepadanya  itu:  "Bukankah engkau
	dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya  orang  yang  akan
	melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman,  lalu
	ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)
	
	Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak
	meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
	hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal,
	dalam  usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
	berumur  delapan  tahun.  Sekali   lagi   Muhammad   dirundung
	kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah
	dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia,
	sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda
	jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
	
	Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
	sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
	perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik   sekali,   mendapat
	perlindungan  sampai  masa  kenabiannya,  yang  terus demikian
	sampai pamannya itupun achirnya meninggal.
	
	Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
	bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
	yang  seperti  dia:  mempunyai  keteguhan  hati,   kewibawaan,
	pandangan  yang  tajam,  terhormat dan berpengaruh di kalangan
	Arab semua. Dia menyediakan makanan dan  minuman  bagi  mereka
	yang  datang  berziarah,  memberikan  bantuan  kepada penduduk
	Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak  ada
	lagi  dari  anak-anaknya  itu yang akan dapat meneruskan. Yang
	dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu,  sedang  yang
	kaya  hidupnya  kikir  sekali.  Oleh  karena itu maka Keluarga
	Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
	yang  memang  sejak  dulu  diinginkan  itu, tanpa menghiraukan
	ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
	
	Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu  Talib,  sekalipun  dia
	bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
	adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
	yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
	itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
	rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
	Talib  mempunyai  perasaan  paling  halus  dan  terhormat   di
	kalangan   Quraisy.   Dan   tidak   pula   mengherankan  kalau
	Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
	Talib.
	
	Abu    Talib   mencintai   kemenakannya   itu   sama   seperti
	Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan
	kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
	yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,  itulah  yang
	lebih  menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
	pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
	duabelas  tahun  -  mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
	padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad.
	Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan
	menemani pamannya  itu,  itu  juga  yang  menghilangkan  sikap
	ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
	
	Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga
	sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku
	riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan
	inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu
	telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan
	petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber  menceritakan,
	bahwa   rahib   itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan
	terlampau  dalam  memasuki  daerah  Syam,  sebab   dikuatirkan
	orang-orang   Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan
	berbuat jahat terhadap dia.
	
	Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah  itu
	melihat  luasnya  padang  pasir,  menatap bintang-bintang yang
	berkilauan  di  langit  yang  jernih   cemerlang.   Dilaluinya
	daerah-daerah    Madyan,    Wadit'l-Qura   serta   peninggalan
	bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan  telinganya  yang
	tajam  segala  cerita  orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
	tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
	Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
	yang lebat dengan buab-buahan  yang  sudah  masak,  yang  akan
	membuat  ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
	orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
	dengan  dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
	sekeliling Mekah itu. Di Syam  ini  juga  Muhammad  mengetahui
	berita-berita  tentang  Kerajaan  Rumawi dan agama Kristennya,
	didengarnya berita tentang Kitab  Suci  mereka  serta  oposisi
	Persia  dari  penyembah  api  terhadap mereka dan persiapannya
	menghadapi perang dengan Persia.
	
	Sekalipun  usianya  baru  dua  belas  tahun,  tapi  dia  sudah
	mempunyai  persiapan  kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
	otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam  dan  ingatan
	yang  cukup  kuat  serta  segala  sifat-sifat semacam itu yang
	diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
	risalah  (misi)  maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
	ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki,  meneliti.  Ia  tidak
	puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
	kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
	
	Tampaknya  Abu  Talib  tidak   banyak   membawa   harta   dari
	perjalanannya   itu.   Ia  tidak  lagi  mengadakan  perjalanan
	demikian.  Malah  sudah  merasa  cukup   dengan   yang   sudah
	diperolehnya  itu.  Ia  menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
	yang  banyak  sekalipun  dengan  harta  yang  tidak  seberapa.
	Muhammad  juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
	Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka  yang
	seusia  dia.  Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
	Mekah  dengan  keluarga,  kadang  pergi  bersama   mereka   ke
	pekan-pekan   yang   berdekatan   dengan  'Ukaz,  Majanna  dan
	Dhu'l-Majaz,  mendengarkan  sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh
	penyair-penyair  Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat.3 Pendengarannya
	terpesona oleh sajak-sajak yang fasih  melukiskan  lagu  cinta
	dan  puisi-puisi  kebanggaan,  melukiskan nenek moyang mereka,
	peperangan  mereka,  kemurahan  hati  dan  jasa-jasa   mereka.
	Didengarnya  ahli-ahli  pidato di antaranya orang-orang Yahudi
	dan  Nasrani  yang  membenci  paganisma  Arab.  Mereka  bicara
	tentang  Kitab-kitab  Suci  Isa  dan Musa, dan mengajak kepada
	kebenaran  menurut  keyakinan  mereka.  Dinilainya  semua  itu
	dengan  hati  nuraninya,  dilihatnya  ini  lebih baik daripada
	paganisma yang telah  menghanyutkan  keluarganya  itu.  Tetapi
	tidak sepenuhnya ia merasa lega.
	
	Dengan  demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
	ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
	mula  pertama  datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
	menyampaikan  risalahNya  itu.  Yakni  risalah  kebenaran  dan
	petunjuk bagi seluruh umat manusia.
	
	Kalau  Muhammad  sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
	dengan pamannya  Abu  Talib,  sudah  mendengar  para  penyair,
	ahli-ahli  pidato  membacakan  sajak-sajak  dan  pidato-pidato
	dengan  keluarganya  dulu  di  pekan  sekitar   Mekah   selama
	bulan-bulan  suci,  maka ia juga telah mengenal arti memanggul
	senjata, ketika ia  mendampingi  paman-pamannya  dalam  Perang
	Fijar.  Dan  Perang  Fijar  itulah  di  antaranya  yang  telah
	menimbulkan  dan  ada  sangkut-pautnya  dengan  peperangan  di
	kalangan  kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
	ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu  kabilah-kabilah
	seharusnya   tidak   boleh   berperang.   Pada   waktu  itulah
	pekan-pekan dagang diadakan di  'Ukaz,  yang  terletak  antara
	Ta'if  dengan  Nakhla  dan  antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
	tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling  tukar  menukar
	perdagangan,  berlumba  dan  berdiskusi,  sesudah itu kemudian
	berziarah ke tempat berhala-berhala mereka  di  Ka'bah.  Pekan
	'Ukaz  adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
	Arab  lainnya.  Di  tempat   itu   penyair-penyair   terkemuka
	membacakan  sajak-sajaknya  yang  terbaik,  di tempat itu Quss
	(bin Sa'ida) berpidato dan  di  tempat  itu  pula  orang-orang
	Yahudi,  Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
	mengemukakan pandangan dengan bebas,  sebab  bulan  itu  bulan
	suci.
	
	Akan  tetapi  Barradz  bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
	menghormati  bulan  suci  itu  dengan   mengambil   kesempatan
	membunuh  'Urwa  ar-Rahhal  bin  'Utba  dari  kabilah Hawazin.
	Kejadian  ini  disebabkan  oleh  karena  Nu'man  bin'l-Mundhir
	setiap  tahun  mengirimkan  sebuah  kafilah dari Hira ke 'Ukaz
	membawa muskus,  dan  sebagai  gantinya  akan  kembali  dengan
	membawa  kulit  hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
	Barradz tampil  sendiri  dan  membawa  kafilah  itu  ke  bawah
	pengawasan  kabilah  Kinana.  Demikian  juga 'Urwa lalu tampil
	pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
	
	Adapun pilihan  Nu'man  terhadap  'Urwa  (Hawazin)  ini  telah
	menimbulkan   kejengkelan   Barradz  (Kinana),  yang  kemudian
	mengikutinya dari belakang,  lalu  membunuhnya  dan  mengambil
	kabilah  itu.  Sesudah  itu  kemudian  Barradz  memberitahukan
	kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
	balas  kepada  Quraisy.  Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
	sebelum masuknya bulan suci.  Maka  terjadilah  perang  antara
	mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
	pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin  memberi  peringatan
	bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.
 
	Perang  demikian  ini  berlangsung  antara  kedua  belah pihak
	selama empat tahun terus-menerus  dan  berakhir  dengan  suatu
	perdamaian   model  pedalaman,  yaitu  yang  menderita  korban
	manusia lebih  kecil  harus  membayar  ganti  sebanyak  jumlah
	kelebihan  korban  itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
	Quraisy telah  membayar  kompensasi  sebanyak  duapuluh  orang
	Hawazin.  Nama  Barradz  ini  kemudian menjadi peribahasa yang
	menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak  memberikan  kepastian
	mengenai  umur  Muhammad  pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
	Ada yang mengatakan umurnya limabelas  tahun,  ada  juga  yang
	mengatakan  duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
	perang tersebut berlangsung selama  empat  tahun.  Pada  tahun
	permulaan   ia   berumur   limabelas   tahun  dan  pada  tahun
	berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
	
	                                   			Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1