Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

BAGIAN KETUJUH BELAS: ISTERI-ISTERI NABI               (2/3)
 
Muhammad hidup hanya  dengan  Khadijah  selama  tujuh  belas
tahun  sebelum  kerasulannya  dan sebelas tahun sesudah itu;
dan dalam pada itu  pun  sama  sekali  tak  terlintas  dalam
pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain. Baik pada
masa Khadijah masih hidup, atau  pun  pada  waktu  ia  belum
kawin  dengan  Khadijah,  belum  pernah  terdengar  bahwa ia
termasuk  orang   yang   mudah   tergoda   oleh   kecantikan
wanita-wanita  yang  pada  waktu  itu  justeru wanita-wanita
belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan  diri  dan
memamerkan  segala  macam  perhiasan, yang kemudian dilarang
oleh Islam. Sudah tentu tidak wajar sekali apabila akan kita
lihat,  sesudah  lampau  limapuluh tahun, mendadak sontak ia
berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat Zainab bint
Jahsy  -  padahal  waktu  itu  isterinya  sudah  lima  orang
diantaranya Aisyah yang selalu dicintainya  -  tiba-tiba  ia
tertarik  sampai  ia  hanyut siang-malam memikirkannya. Juga
tidak  wajar  sekali  apabila  kita  lihat,  sesudah  lampau
limapuluh  tahun  usianya,  yang  selama  lima  tahun  sudah
beristerikan lebih dari tujuh orang, dan dalam  tujuh  tahun
sembilan  orang  isteri. Semuanya itu, motifnya hanya karena
dia  terdorong  oleh  nafsu  kepada  wanita,  sehingga   ada
beberapa  penulis  Muslim  -  dan juga penulis-penulis Barat
mengikuti jejaknya - melukiskannya sedemikian rupa, demikian
merendahkan  yang  bagi  seorang  materialis sekalipun sudah
tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya  dapat
mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih
selalu akan mengubah dunia sekali lagi,  dan  akan  mengubah
jalannya roda sejarah sekali lagi.

Apabila  ini  suatu hal yang aneh dan tidak wajar, maka akan
jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan
Khadijah   telah   memberikan   keturunan,   laki-laki   dan
perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia limapuluh  tahun,
dan  bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia
enampuluh tahun dan hanya dari yang dua  orang  ini  sajalah
yang  membawa  keturunan. Padahal isteri-isteri itu ada yang
dalam usia muda, yang akan dapat juga hamil dan  melahirkan,
baik  dari pihak suami atau pihak isteri, dan ada yang sudah
cukup usia, sudah lebih dari tigapuluh  tahun  umurnya,  dan
sebelum  itu  pun  pernah  pula  punya  anak. Bagaimana pula
gejala aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan,  suatu  gejala
yang  tidak  tunduk  kepada  undang-undang  yang biasa, yang
sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai  manusia,
sudah  tentu  jiwa  Muhammad  cenderung sekali ingin beroleh
seorang putera, sekalipun - dalam kedudukannya sebagai  nabi
dan  rasul  - dari segi rohani ia sudah menjadi bapa seluruh
umat Muslimin.

Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah  serta  logikanya  juga
menjadi   saksi  yang  jujur  mendustakan  cerita  misi-misi
penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami
Nabi.  Seperti  kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya
beristerikan Khadijah  seorang,  tiada  yang  lain.  Setelah
Khadijah  wafat,  ia  kawin  dengan  Sauda bint Zam'a, janda
Sakran b. 'Amr b. 'Abd Syams. Tidak ada  suatu  sumber  yang
menyebutkan,  bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik,
atau berharta atau mempunyai  kedudukan  yang  akan  memberi
pengaruh  karena  hasrat  duniawi  dalam  perkawinannya itu.
Melainkan soalnya ialah,  Sauda  adalah  isteri  orang  yang
termasuk  mula-mula  dalam  lslam, termasuk orang-orang yang
dalam  membela   agama,   turut   memikul   pelbagai   macam
penderitaan,  turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan
Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga  sudah  Islam
dan  ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut
menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian  mengawininya
untuk  memberikan  perlindungan  hidup  dan untuk memberikan
tempat setarap dengan Umm'l-Mu'minin,  maka  hal  ini  patut
sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.
 
Adapun  Aisyah  dan  Hafsha  adalah  puteri-puteri dua orang
pembantu dekatnya, Abu  Bakr  dan  Umar.  Segi  inilah  yang
membuat  Muhammad  mengikatkan  diri  dengan kedua orang itu
dengan  ikatan  semenda  perkawinan   dengan   puteri-puteri
mereka.  Sama  juga  halnya ia mengikatkan diri dengan Usman
dan Ali dengan  jalan  mengawinkan  kedua  puterinya  kepada
mereka.  Kalaupun  benar  kata  orang  mengenai Aisyah serta
kecintaan Muhammad kepadanya  itu,  maka  cinta  itu  timbul
sesudah   perkawinan,   bukan   ketika   kawin.   Gadis  itu
dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia  berusia  sembilan
tahun   dan   dibiarkannya   dua  tahun  sebelum  perkawinan
dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia
sudah  mencintainya  dalam usia yang masih begitu kecil. Hal
ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar
yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya
sendiri sebagai saksi.
 
"Sungguh," kata Umar, "tatkala kami  dalam  zaman  jahiliah,
wanita-wanita  tidak  lagi  kami  hargai. Baru setelah Tuhan
memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula  hak
kepada  mereka." Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam
suatu  urusan  tiba-tiba  isteri  saya  berkata:  'Coba  kau
berbuat  begini  atau  begitu."  Jawab saya: "Ada urusan apa
engkau disini, dan perlu apa engkau  dengan  urusanku!"  Dia
pun  membalas:  "Aneh  sekali  engkau Umar. Engkau tidak mau
ditentang,  padahal  puterimu  menentang  Rasulullah  s.a.w.
sehingga  ia  gusar  sepanjang hari." Kata Umar selanjutnya:
"Kuambil mantelku, lalu aku keluar,  pergi  menemui  Hafsha.
"Anakku,"  kataku  kepadanya.  "Engkau  menentang Rasulullah
s.a.w. sampai  ia  merasa  gusar  sepanjang  hari?!"  Hafsha
menjawab:  "Memang  kami menentangnya." "Engkau harus tahu,"
kataku.  "Kuperingatkan  engkau  akan  siksaan  Tuhan  serta
kemurkaan  RasulNya.  Anakku,  engkau  jangan teperdaya oleh
kecintaan orang  yang  telah  terpesona  oleh  kecantikannya
sendiri  dengan  kecintaan  Rasulullah s.a.w." Katanya lagi:
"Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu,  dan
kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan."
 
Kita  sudah  melihat  bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah
atau mengawini Hafsha  bukan  karena  cintanya  atau  karena
suatu  dorongan  berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali
masyarakat Islam yang  baru  tumbuh  dalam  diri  dua  orang
pembantu  dekatnya  itu.  Sama halnya ketika ia kawin dengan
Sauda,  maksudnya  supaya   pejuang-pejuang   Muslimin   itu
mengetahui,  bahwa  kalau  mereka  gugur  untuk agama Allah,
isteri-isteri dan  anak-anak  mereka  tidak  akan  dibiarkan
hidup sengsara dalam kemiskinan.
 
Perkawinannya  dengah  Zainab  bt.  Khuzaima  dan dengan Umm
Salama  mempertegas  lagi  hal  itu.  Zainab  adalah  isteri
'Ubaida  bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah mati syahid,
gugur dalam perang Badr. Dia tidak  cantik,  hanya  terkenal
karena  kebaikan  hatinya dan suka menolong orang, sampai ia
diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya
pun  sudah  tidak  muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah
itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah  dialah  satu-satunya
isteri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.
 
Sedang  Umm  Salama  sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu
Salama, seperti  sudah  disebutkan  di  atas,  bahwa  dalam
perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali.
Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk  menghadapi  Banu  Asad
yang  berhasil  di  kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah
dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud
itu  terbuka  dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya
terus sampai meninggalnya.  Ketika  sudah  di  atas  ranjang
kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil
mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia  wafat.  Empat  bulan
setelah  kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.
Tetapi wanita ini menolak  dengan  lemah  lembut  karena  ia
sudah  banyak  anak  dan  sudah tidak muda lagi. Hanya dalam
pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan  dia  sendiri
yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.

Adakah  sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis
itu masih akan  mendakwakan,  bahwa  karena  kecantikan  Umm
Salama  itulah  maka Muhammad terdorong hendak mengawininya?
Kalau hanya karena itu saja, masih banyak  gadis-gadis  kaum
Muhajirin  dan  Anshar  yang  lain,  yang jauh lebih cantik,
lebih muda, lebih kaya dan bersemarak,  dan  tidak  pula  ia
akan  dibebani  dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya,
ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga,
sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima,
yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya  dan
membuat  mereka  lebih-lebih  lagi memandangnya sebagai Nabi
dan Rasul Allah. Di samping itu mereka  semua  memang  sudah
menganggapnya  sebagai  ayah mereka. Ayah bagi segenap orang
miskin,  orang  yang  tertekan,  orang  lemah,  orang   yang
sengsara  dan  tak  berdaya.  Ayah  bagi  setiap  orang yang
kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
 
Dari apa yang sudah diuraikan di  atas,  apakah  yang  dapat
disimpulkan  oleh  penelitian sejarah yang murni? Yang dapat
disimpulkan  ialah   bahwa   Muhammad   menganjurkan   orang
beristeri  satu  dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara
demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama  masa
Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Qur'an menyebutkan:
 
"Dan  kalau  kamu kuatir takkan dapat berlaku lurus terhadap
anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang  kamu
sukai:  dua,  tiga  dan  (sampai)  empat.  Tetapi kalau kamu
kuatir takkan dapat berlaku  adil,  hendaklah  seorang  saja
atau yang sudah ada menjadi milik kamu." (Qur'an, 4:3)
 
"Dan  (itu  pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap
wanita, betapa kamu sendiri  menginginkan  itu.  Sebab  itu,
janganlah  kamu  terlalu  condong  kepada yang seorang, lalu
kamu biarkan dia terkatung-katung." (Qur'an, 4:129)
 
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah,
setelah  Nabi  kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk
membatasi jumlah isteri itu sampai  empat  orang,  sementara
sebelum  turun  ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga
yang   telah   menggugurkan   kata-kata   orang:    Muhammad
membolehkan  buat  dirinya  sendiri  dan melarang buat orang
lain. Kemudian  turun  ayat  yang  memperkuat  diutamakannya
isteri  satu  dan  menganjurkan  demikian karena dikuatirkan
takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu
tidak  akan  disanggupi.  Hanya saja dalam keadaan kehidupan
masyarakat yang dikecualikan ia  melihat  suatu  kemungkinan
yang  mendesak  perlunya  kawin  sampai  empat dengan syarat
berlaku adil. Dia telah melakukan  itu  dengan  contoh  yang
diberikannya  ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan
dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
 
Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan sedang berkecamuk,
panyakit   menular  berjangkit  dan  pemberontakan  berkobar
merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah  orang
memastikan,  bahwa membatasi pada isteri satu itu lebih baik
dan poligami yang dibolehkan dengan jalan  kekecualian  itu?
Dapatkah orang-orang Eropa - pada waktu ini, setelah selesai
Perang Dunia - mengatakan bahwa sistem monogami  itu  sistem
yang  paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah
mengatakan   bahwa   sistem   itu   tepat    sekali    dalam
undang-undang?  Bukankah  tirnbulnya  kekacauan  ekonomi dan
sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama
yang  teratur antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu
kerjasama yang kiranya sedikit  banyak  akan  dapat  membawa
keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini hendak
membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada
ahli-ahli  pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan
merencanakannya,  dengan  catatan  selalu,  bahwa   bilamana
keadaan  hidup  sudah  kembali  biasa, maka yang paling baik
dapat  menjamin  kebahagiaan  masyarakat   ialah   membatasi
laki-laki hanya pada satu isteri.
 
Sehubungan  dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa
yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh
kaum    Orientalis    dan    misi-misi    penginjil   dengan
bermacam-macam tabir khayal  sehingga  ia  dijadikan  sebuah
cerita  roman  percintaan,  sejarah  yang  sebenarnya  dapat
mencatat, bahwa teladan yang  diberikan  oleh  Muhammad  dan
patut  dibanggakan,  dan  sebagai contoh iman yang sempurna,
ialah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya:
Iman   seseorang   belum   sempurna   sebelum  ia  mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1 Dirinya telah
dijadikan  contoh  pertama  manakala  ia  melaksanakan suatu
hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala
adat-istiadat  jahiliah,  dan  yang  sekaligus dengan itu ia
menetapkan peraturan baru,  yang  diturunkan  Tuhan  sebagai
bimbingan dan rahmat buat semesta alam.

Untuk  menghapuskan  semua  cerita mereka yang kita baca itu
dari dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa  Zainab  bt.
Jahsy  ini  adalah  puteri  Umaima  bt. Abd'l-Muttalib, bibi
Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan
dengan  bantuannya  pula.  Maka  dengan  demikian  ia  sudah
seperti puterinya atau seperti  adiknya  sendiri.  Ia  sudah
mengenal  Zainab dan mengetahui benar apakah dia cantik atau
tidak,  sebelum  ia  dikawinkan  dengan   Zaid.   Ia   sudah
melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang
masih merangkak hingga menjelang gadis  remaja  dan  dewasa,
dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
 
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua ini, maka hancurlah
segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan bahwa
dia  pernah  kerumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu
dilihatnya  Zainab,  ia  terpesona  sekali  melihat   begitu
cantik,  sampai  ia  berkata:  "Maha  suci Tuhan, Yang telah
membalikkan hati manusia!" Atau juga ketika ia membuka pintu
rumah  Zaid,  kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar
Zainab, lalu dilihatnya wanita  itu  dengan  gaunnya  sedang
berbaring  -  seolah-olah seperti Madame Recamier - mendadak
sontak  hatinya  berubah.  Lupa  ia  kepada  Sauda,  Aisyah,
Hafsha,  Zainab  bt.  Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah
sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa  dirinya
tidak  pernah  cemburu  terhadap  isteri-isteri Nabi seperti
terhadap Khadijah ketika disebut-sebut. Kalau perasaan cinta
itu sedikit banyak sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan
melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk  Zaid.
Dengan  melihat  hubungan  Zainab  dengan Muhammad ini serta
gambaran yang kita kemukakan  di  atas,  maka  segala  macam
cerita  khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi dapat
dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai
dasar yang benar.
                                            		Next >>>

         
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
  oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
  diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
  Penerbit PUSTAKA JAYA
  Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
  Cetakan Kelima, 1980
  Seri PUSTAKA ISLAM No.1