BAGIAN KEDUAPULUH LIMA: HUNAIN DAN TA'IF (2/2)
Muhammad Husain Haekal
Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad diperintahkan berangkat
ke Ta'if dan mengepung Thaqif yang dipimpin oleh Malik b.
'Auf. Ta'if adalah sebuah kota yang sangat kukuh tertutup
rapat oleh pintu-pintu gerbang seperti kebanyakan kota-kota
negeri Arab ketika itu. Penduduk kota ini sudah punya
pengetahuan dalam soal kepung-mengepung dalam peperangan dan
punya kekayaan yang cukup besar pula untuk membuat perkubuan
yang kuat. Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di
tempat ini ada sebuah benteng khusus buat Malik b. 'Auf, yang
kemudian mereka hancurkan, demikian juga sebuah kebun
kepunyaan pihak Thaqif mereka hancurkan selama dalam
perjalanan itu.
Bilamana Muslimin sudah sampai di Ta'if, Nabi memerintahkan
pasukannya berhenti dan bermarkas di dekat kota itu.
Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan
mereka lakukan. Tetapi pihak Thaqif begitu melihat mereka dari
atas perbentengan, dihujaninya mereka dengan serangan panah,
sehingga tidak sedikit pihak Muslimin yang terbunuh. Dan tidak
pula mudah kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng yang
sangat kukuh itu. Suatu cara lain harus mereka tempuh bukan
seperti yang selama ini mereka lakukan ketika mengepung
Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita menduga, bahwa kalau hanya
dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak Thaqif itu akan
mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu saja, dengan cara
baru bagaimana harus mereka lakukan?
Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan akan memakan
waktu. Jadi sebaiknya pasukan ini harus ditarik mundur
jauh-jauh dari sasaran panah, supaya jangan ada lagi
orang-orang Islam yang akan mengalami bencana dan tewas
karenanya. Sesudah itu boleh Muhammad memikirkan apa yang
harus dilakukannya.
Dengan perintah Nabi 'a.s. markas itu sekarang dipindahkan
jauh dari sasaran panah, dipindahkan ke sebuah tempat yang
kemudian setelah Ta'if menyerah dan menerima Islam dibangunnya
mesjid Ta'if di tempat itu. Hal ini sudah menjadi suatu
keharusan. Anak panah Thaqif sudah menewaskan delapanbelas
orang Islam, dan tidak sedikit pula yang telah mendapat
luka-luka, diantaranya salah seorang anak Abu Bakr. Disamping
tempat itu, yang sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula
dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk tempat-tinggal
kedua isteri Nabi - Umm Salama dan Zainab - yang sejak ia
meninggalkan Medinah, ikut bersama-sama dalam perjalanan
menghadapi peristiwa-peristiwa itu. Diantara kedua kemah
inilah Muhammad melakukan salat. Dan agaknya Mesjid Ta'if itu
pun di tempat ini pula dibangun.
Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil menantikan apa yang
akan ditentukan Tuhan terhadap mereka dan terhadap lawan
mereka itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata
kepada Nabi: Orang-orang Thaqif yang dalam benteng itu sama
seperti rubah yang di dalam liangnya. Untuk dapat mengeluarkan
mereka meminta waktu lama. Kalau dibiarkan saja, juga ia
takkan mengganggu. Tetapi Muhammad sudah tidak mau kembali
lagi sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thaqif. Banu Daus
[salah satu kabilah yang tinggal di bawah Mekah] yang sudah
berpengalaman dalam menggunakan manjaniq3 dan "tank,"4 salah
seorang pemimpinnya adalah Tufail, yang sudah bersahabat
dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang sekarang ikut
pula mengepung Ta'if. Orang ini oleh Nabi diutus memintakan
bantuan kepada kabilahnya itu.
Kemudian orang ini datang kembali sudah membawa beberapa orang
dari golongan itu lengkap dengan alat-alat. Mereka sampai di
Ta'if empat hari kemudian setelah kota itu dikepung oleh
Muslimin. Disinilah pihak Muslimin menyerang Ta'if dengan
manjaniq, dan beberapa orang menyerbu dengan masuk ke dalam
"tank" untuk menerobos dinding-dinding benteng itu. Tetapi
pihak Ta'if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka dapat
memaksa lawannya harus melarikan diri juga. Beberapa batang
besi mereka panaskan; bilamana sudah mencair, besi itu
dilemparkannya ke arah "tank" dan alat itu pun terbakar.
Karena takut terbakar juga tentara Muslirnin pun menyusup lari
dari bawah alat-alat itu. Oleh pihak Thaqif mereka terus
diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.
Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil. Pihak Muslimin tidak
dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.
Sesudah itu, kiranya apa pula yang harus mereka lakukan? Lama
sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah ia sudah
dapat mengalahkan dan mengosongkan Banu Nadzir dari
perkampungannya dengan jalan membakar kebun kurma mereka?
Sekarang kebun anggur Ta'if jauh lebih berharga daripada kebun
kurma Banu Nadzir Apalagi anggur ini sangat terkenal sekali di
seluruh tanah Arab yang membuat Ta'if bangga sebagai tempat
yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta'if
seolah surga di tengah-tengah padang sahara.
Perintah Muhammad oleh kaum Muslimin sudah akan dilaksanakan.
Mereka akan menebangi dan membakari tanaman-tanaman anggur itu
- yang sampai sekarang masih tetap terkenal seperti dulu juga.
Melihat hal ini orang-orang Thafiq yakin sekali bahwa Muhammad
memang bersungguh-sungguh. Mereka mengutus orang kepadanya
supaya kebun itu diambil saja kalau mau, kalau tidak supaya
dibiarkan mengingat pertalian keluarga antara dia dengan
mereka yang masih berkerabat itu. Muhammad segera menangguhkan
hal itu, dan kemudian ia berseru kepada kalangan Thaqif, bahwa
barangsiapa dari penduduk Ta'if yang bersedia datang
kepadanya, orang itu akan dimerdekakan. Hampir sebanyak
duapuluh orang dari mereka lalu melarikan diri dan datang
kepadanya. Dari mereka inilah kemudian diketahui, bahwa dalam
benteng-benteng itu terdapat persediaan makanan yang cukup
untuk waktu lama. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa
pengepungan ini akan meminta waktu yang panjang, sedang
pasukannya sudah mau pulang akan membagi-bagikan barang
rampasan perang yang sudah mereka peroleh. Kalau diminta
supaya mereka tetap tinggal juga, mungkin mereka akan
kehilangan kesabaran. Disamping itu bulan suci pun sudah dekat
pula dan perang tidak diperkenankan.
Oleh karena itu ia lebih senang pengepungan itu dibubarkan
saja sesudah satu bulan berjalan. Ketika itu bulan Zulhijah,
bulan muda sudah keluar. Dengan pasukannya itu ia kembali
hendak melakukan umrah, dan diingatkannya pula, bahwa ia sudah
bersiap hendak ke Ta'if bila bulan suci sudah lalu.
Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sekarang berangkat
meninggalkan Ta'if menuju Ji'rana, tempat barang rampasan dan
tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti
mengadakan pembagian. Seperlima di antaranya oleh Rasul
dipisahkan buat dirinya dan yang selebihnya dibaginya kepada
para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji'rana ini, tiba-tiba
datang utusan dari pihak Hawazin yang sudah masuk Islam.
Mereka ini mengharapkan, supaya harta mereka, wanita dan
anak-anak dikembalikan kepada mereka karena sudah sekian lama
mereka berpisah, dan sudah sekian lama pula mereka mengalami
kepahitan hidup. Utusan itu datang menemui Muhammad. Salah
seorang dari mereka berkata:
"Rasulullah, di tempat-tempat berpagar,5 orang-orang tawanan
itu terdapat juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak ibu,
ibu-ibu yang dulu pernah memeliharamu. Jika sekiranya kami
yang menyusui Harith b. Abi Syimr atau Nu'man bin'l-Mundhir,
kemudian ia datang melihat keadaan kami seperti yang kaualami
sekarang ini, tentu kami manfaatkan dan kami mintai
belas-kasihannya. Konon pula engkau, yang sudah mendapat
pemeliharaan yang terbaik."
Mereka tidak salah dalam mengingatkan Muhammad akan adanya
hubungan dan pertalian keluarga itu. Dari kalangan tawanan
perang itu terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut
mendapat perlakuan keras dari tentara Muslimin. Wanita itu
berkata kepada mereka: "Kamu tahu, bahwa aku masih saudara
susuan dengan kawanmu itu."
Karena mereka tidak percaya, oleh mereka ia dibawa kepada
Muhammad, yang ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu
Syaima' bint'l-Harith ibn 'Abd'l-Uzza. Dimintanya ia
kedekatnya dan dihamparkannya mantelnya supaya ia duduk. Ia
dipersilakan memilih - kalau senang tinggal, boleh tinggal dan
kalau ingin pulang akan diantarkan kepada kabilahnya. Tetapi
ternyata wanita itu ingin pulang juga kepada masyarakatnya
sendiri.
Meningkat hubungan Muhammad dengan mereka yang datang
menyerahkan diri dari Hawazin itu demikian rupa, sudah wajar
sekali apabila ia bersikap penuh kasih sayang kepada mereka
dan memenuhi pula permintaan mereka. Sejak dahulu memang
demikian inilah sifatnya, kepada siapa saja yang pernah
mengulurkan tangan kepadanya. Tahu berterima kasih dan
mengingat budi orang sudah menjadi bawaan dan sifatnya.
Setelah mendengar kata-kata mereka itu ia bertanya:
"Anak-anak dan isteri-isteri kamu ataukah harta kamu yang
lebih kamu sukai?"
"Rasulullah," jawab mereka, "kami disuruh memilih antara harta
dengan sanak keluarga kami? Mengembalikan isteri-isteri dan
anak-anak kami tentu itulah yang kami sukai."
Lalu kata Nabi 'a.s.;
"Apa yang ada padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib, itu akan
kuserahkan kembali kepadamu. Bilamana nanti sudah selesai aku
memimpin orang salat lohor hendaklah kamu berdiri dan katakan:
'Kami meminta bantuan Rasulullah kepada kaum Muslimin dan
meminta bantuan kaum Muslimin kepada Rasulullah mengenai
anak-anak kami dan wanita-wanita kami.' Maka ketika itu akan
kuserahkan kepadamu, dan akan kumintakan buat kamu."
Setelah apa yang diucapkan Nabi itu dilaksanakan oleh Hawazin,
ia berkata lagi:
"Apa yang ada padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib, itu akan
kuserahkan kembali kepadamu."
Ketika itu juga kaum Muhajirin berkata:
"Apa yang ada pada kami, itu kami serahkan kepada Rasulullah."
Dan ini juga yang dikatakan oleh kaum Anshar.
Tetapi Aqra' ibn Habis atas nama Tamim dan 'Uyaina b. Hishn
menolak, demikian juga Abbas b. Mirdas atas nama Banu Sulaim.
Akan tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas
itu. Dalam hal ini Nabi berkata:
"Barangsiapa mau mempertahankan haknya atas tawanan itu, maka
untuk setiap orang ia akan mendapat ganti enam bagian dari
tawanan yang mula-mula didapat."
Dengan demikian wanita-wanita dan anak-anak Hawazin itu
dikembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan diri
masuk Islam. Kepada utusan Hawazin itu Muhammad menanyakan
Malik b. 'Auf. Setelah diberitahukan bahwa orang itu masih di
Ta'if dengan Thaqif, dimintanya kepada mereka supaya
disampaikan: kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam,
maka keluarga dan harta bendanya akan dikembalikan dan akan
diberi pula seratus ekor unta.
Sekarang orang mulai merasa kuatir - kalau Muhammad memberikan
ini kepada setiap utusan yang datang - rampasan perang yang
menjadi bagian mereka akan jadi berkurang. Oleh karena itu
mereka mendesak supaya tiap-tiap orang mengambil bagiannya.
Dan mereka terus saling berbisik. Bisikan demikian ini
tampaknya sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia lalu
berdiri di samping seekor unta, diambilnya seutas bulu dari
ponok unta itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan
ke atas ia berkata:
"Saudara-saudara.6 Demi Allah! Bagianku dari harta rampasan
dan dari bulu ini hanya seperlima; ini pun sudah dikembalikan
kepada kamu." Kemudian dimintanya kepada mereka masing-masing
supaya harta rampasan itu dikembalikan dan dengan demikian
dapat dibagi secara adil. "Barangsiapa mengambil ini secara
tidak adil sekalipun hanya sebentar jarum, maka buat yang
bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai hari kiamat."
Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah setelah mantelnya
yang mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada
mereka: "Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah,
andaikata kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini,
tentu kubagi-bagikan kepada kamu, kemudian akan kamu lihat
bahwa aku bukan orang yang kikir, pengecut dan pembohong."
Kemudian rampasan perang itu dibagi lima dan yang seperlima
diberikan kepada mereka yang paling sengit memusuhinya.
Seratus ekor unta diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan
dan Mu'awiya anaknya, Harith bin'l-Harith b. Kalada, Harith b.
Hasyim, Suhail b. 'Amr, Huwaitib b. 'Abd'l-'Uzza, kepada
bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa pemuka kabilah yang
telah mulai lunak hatinya setelah pembebasan Mekah. Kepada
mereka yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang tadi,
diberi lima puluh ekor unta. Jumlah yang mendapat bagian itu
mencapai puluhan orang. Ketika itu Muhammad menunjukkan sikap
sangat ramah dan murah hati, yang membuat orang yang tadinya
sangat memusuhinya, lidah mereka telah berbalik jadi
memujinya. Tiada seorang dari mereka yang perlu diambil
hatinya itu yang tidak dikabulkan segala keperluannya
Ketika Abbas b. Mirdas mendapat beberapa ekor unta ia tidak
senang hati dan mencela karena menurut anggapannya 'Uyaina,
Aqra' dan yang lain tampaknya lebih diutamakan. Lalu Nabi
berkata: "Temui dia dan berilah lagi supaya dia puas dan
diam."7
Lalu diberi lagi sampai dia puas. Dan itulah yang membuat dia
diam.
Akan tetapi tindakan Nabi mengambil hati orang-orang yang
tadinya merupakan musuh besar itu, telah menjadi bahan
pembicaraan di kalangan Anshar, dan satu sama lain mereka
berkata:
"Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri." Dalam
hal ini Sa'd b. 'Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata
Anshar itu kepada Nabi dan akan mendukung pula pendapat mereka
itu
"Sekarang kumpulkan masyarakatmu di tempat berpagar ini,"8
kata Nabi.
Setelah oleh Sa'd mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang,
maka terjadi dialog berikut:
Muhammad: "Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus9
berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu
merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatirnu terhadap
diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang
lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan
memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan
mempersekutukan kamu?"
Anshar: "Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah
hati."
Muhammad: "Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab
kata-kataku?"
Anshar: "Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala
kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya
juga."
Muhammad: "Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu
masih dapat mengatakan - kamu benar dan pasti dibenarkan:
'Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang
mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang
menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat.
Engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu.' Saudara-saudara
dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam
hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan
supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu
aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar,
apabila orang-orang itu pergi membawa karnbing, membawa unta,
sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia
Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu
aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di
celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku
akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah
orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar."
Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan,
penuh rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka yang pernah
memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama
lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu,
sehingga orang-orang Anshar pun menangis, sambil berkata,
"Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami."
Dengan demikian Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya
pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang di
Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan
perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan
ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam
mengambil hati mereka - yang dalam beberapa minggu yang lalu
masih musyrik - dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu
ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi
harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga
menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini
telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah bermurah
hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan
demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan
yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan
demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini -
semua dengan senang hati, dengan perasaan lega - bersedia
memberikan nyawanya demi jalan Allah.
Selanjutnya Rasul pun berangkat dari Ji'rana menuju Mekah,
hendak menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk
'Attab b. Asid sebagai tenaga pengajar untuk Mekah dengan
didampingi oleh Mu'adh b. Jabal guna mengajar orang-orang
memperdalam agama dan mengajarkan Qur'an.
Ia kembali pulang ke Medinah bersama orang-orang Anshar dan
Muhajirin. Sementara Nabi tinggal di kota ini lahir pula
anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu, setelah agak
merasakan adanya ketenangan hidup, kemudian ia pun harus
bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.
Catatan kaki:
1 Harfiah, 'kupenuhi panggilanmu', yakni aku siap (A).
2 'Uqiya. 'Dahulu kala sama dengan 40 dirham (drakhma)
dan di luar hadis sama dengan setengah 1/6 rati, yakni
1/12 bagian, dan ini tergantung kepada istilah negeri
masing-masing' (N). Pada umumnya 'uqiya sekarang ditaksir
sekitar 30 gram (A).
3 Sebuah pesawat pelempar batu (junuq). Mungkin sama
dengan ballista yang biasa digunakan dalam peperangan
dahulu kala (A).
4 Aslinya, dabbaba; dabba melata perlahan-lahan, yakni
semacam alat dibuat daripada kayu dan kulit, orang masuk
ke dalam alat tersebut lalu mendekat benteng yang sedang
dikepung untuk dilubangi atau dibongkar dan mereka
terlindung dan serangan yang datang dan atas (LA) mungkin
dapat disamakan dengan testudo semacam alat perang dahulu
kala, dari bahasa Latin, berarti kura-kura atau kulitnya
yang dapat melindungi badan. Dalam pengertian sekarang
kira-kira sama dengan tank (A).
5 Hazira, 'segala yang dilingkungi sesuatu, kadang
terdiri dari buluh dan papan' (LA) yakni tempat berpagar
(A).
6 Ayyuhan nas, harfiah: 'Hai manusia' (A).
7 Iqta'u anni lisanahu, yakni 'berilah lagi supaya dia
puas dan diam' (LA) Harfiah, 'potongkan lidahnya tentang
aku' (A).
8 Lihat catatan bawah halaman 531 (A).
9 Qalatun, 'Banyak bicara yang akan menimbulkan
permusuhan' (N), yakni desas-desus (A).
---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
Seri PUSTAKA ISLAM No.1
|