Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 ]

	BAGIAN KEDUAPULUH LIMA: HUNAIN DAN TA'IF                 (2/2)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad diperintahkan berangkat
	ke  Ta'if  dan  mengepung  Thaqif  yang dipimpin oleh Malik b.
	'Auf. Ta'if adalah sebuah  kota  yang  sangat  kukuh  tertutup
	rapat  oleh  pintu-pintu  gerbang seperti kebanyakan kota-kota
	negeri  Arab  ketika  itu.  Penduduk  kota  ini  sudah   punya
	pengetahuan  dalam  soal kepung-mengepung dalam peperangan dan
	punya kekayaan yang cukup besar pula untuk  membuat  perkubuan
	yang  kuat.  Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di
	tempat ini ada sebuah benteng khusus buat Malik b. 'Auf,  yang
	kemudian   mereka   hancurkan,   demikian  juga  sebuah  kebun
	kepunyaan  pihak  Thaqif   mereka   hancurkan   selama   dalam
	perjalanan itu.
 
	Bilamana  Muslimin  sudah  sampai di Ta'if, Nabi memerintahkan
	pasukannya  berhenti  dan  bermarkas  di   dekat   kota   itu.
	Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan
	mereka lakukan. Tetapi pihak Thaqif begitu melihat mereka dari
	atas  perbentengan,  dihujaninya mereka dengan serangan panah,
	sehingga tidak sedikit pihak Muslimin yang terbunuh. Dan tidak
	pula  mudah  kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng yang
	sangat kukuh itu. Suatu cara lain harus  mereka  tempuh  bukan
	seperti  yang  selama  ini  mereka  lakukan  ketika  mengepung
	Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita menduga, bahwa kalau  hanya
	dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak Thaqif itu akan
	mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu  saja,  dengan  cara
	baru bagaimana harus mereka lakukan?
 
	Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan akan memakan
	waktu.  Jadi  sebaiknya  pasukan  ini  harus  ditarik   mundur
	jauh-jauh   dari   sasaran   panah,  supaya  jangan  ada  lagi
	orang-orang  Islam  yang  akan  mengalami  bencana  dan  tewas
	karenanya.  Sesudah  itu  boleh  Muhammad  memikirkan apa yang
	harus dilakukannya.
 
	Dengan perintah Nabi 'a.s.  markas  itu  sekarang  dipindahkan
	jauh  dari  sasaran  panah,  dipindahkan ke sebuah tempat yang
	kemudian setelah Ta'if menyerah dan menerima Islam dibangunnya
	mesjid  Ta'if  di  tempat  itu.  Hal  ini  sudah menjadi suatu
	keharusan. Anak panah  Thaqif  sudah  menewaskan  delapanbelas
	orang  Islam,  dan  tidak  sedikit  pula  yang  telah mendapat
	luka-luka, diantaranya salah seorang anak Abu Bakr.  Disamping
	tempat  itu, yang sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula
	dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk  tempat-tinggal
	kedua  isteri  Nabi  -  Umm  Salama dan Zainab - yang sejak ia
	meninggalkan  Medinah,  ikut  bersama-sama  dalam   perjalanan
	menghadapi   peristiwa-peristiwa  itu.  Diantara  kedua  kemah
	inilah Muhammad melakukan salat. Dan agaknya Mesjid Ta'if  itu
	pun di tempat ini pula dibangun.

	Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil menantikan apa yang
	akan ditentukan  Tuhan  terhadap  mereka  dan  terhadap  lawan
	mereka  itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata
	kepada Nabi: Orang-orang Thaqif yang dalam  benteng  itu  sama
	seperti rubah yang di dalam liangnya. Untuk dapat mengeluarkan
	mereka meminta waktu  lama.  Kalau  dibiarkan  saja,  juga  ia
	takkan  mengganggu.  Tetapi  Muhammad  sudah tidak mau kembali
	lagi sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thaqif. Banu  Daus
	[salah  satu  kabilah  yang tinggal di bawah Mekah] yang sudah
	berpengalaman dalam menggunakan manjaniq3 dan  "tank,"4  salah
	seorang  pemimpinnya  adalah  Tufail,  yang  sudah  bersahabat
	dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang  sekarang  ikut
	pula  mengepung  Ta'if.  Orang ini oleh Nabi diutus memintakan
	bantuan kepada kabilahnya itu.
 
	Kemudian orang ini datang kembali sudah membawa beberapa orang
	dari  golongan  itu lengkap dengan alat-alat. Mereka sampai di
	Ta'if empat hari  kemudian  setelah  kota  itu  dikepung  oleh
	Muslimin.  Disinilah  pihak  Muslimin  menyerang  Ta'if dengan
	manjaniq, dan beberapa orang menyerbu dengan  masuk  ke  dalam
	"tank"  untuk  menerobos  dinding-dinding  benteng itu. Tetapi
	pihak Ta'if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka  dapat
	memaksa  lawannya  harus  melarikan diri juga. Beberapa batang
	besi  mereka  panaskan;  bilamana  sudah  mencair,  besi   itu
	dilemparkannya  ke  arah  "tank"  dan  alat  itu pun terbakar.
	Karena takut terbakar juga tentara Muslirnin pun menyusup lari
	dari  bawah  alat-alat  itu.  Oleh  pihak  Thaqif mereka terus
	diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.
 
	Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil. Pihak Muslimin  tidak
	dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.

	Sesudah  itu, kiranya apa pula yang harus mereka lakukan? Lama
	sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah  ia  sudah
	dapat   mengalahkan   dan   mengosongkan   Banu   Nadzir  dari
	perkampungannya dengan  jalan  membakar  kebun  kurma  mereka?
	Sekarang kebun anggur Ta'if jauh lebih berharga daripada kebun
	kurma Banu Nadzir Apalagi anggur ini sangat terkenal sekali di
	seluruh  tanah  Arab  yang membuat Ta'if bangga sebagai tempat
	yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta'if
	seolah surga di tengah-tengah padang sahara.
 
	Perintah  Muhammad oleh kaum Muslimin sudah akan dilaksanakan.
	Mereka akan menebangi dan membakari tanaman-tanaman anggur itu
	- yang sampai sekarang masih tetap terkenal seperti dulu juga.
	Melihat hal ini orang-orang Thafiq yakin sekali bahwa Muhammad
	memang  bersungguh-sungguh.  Mereka  mengutus  orang kepadanya
	supaya kebun itu diambil saja kalau mau,  kalau  tidak  supaya
	dibiarkan  mengingat  pertalian  keluarga  antara  dia  dengan
	mereka yang masih berkerabat itu. Muhammad segera menangguhkan
	hal itu, dan kemudian ia berseru kepada kalangan Thaqif, bahwa
	barangsiapa  dari  penduduk   Ta'if   yang   bersedia   datang
	kepadanya,   orang  itu  akan  dimerdekakan.  Hampir  sebanyak
	duapuluh orang dari mereka  lalu  melarikan  diri  dan  datang
	kepadanya.  Dari mereka inilah kemudian diketahui, bahwa dalam
	benteng-benteng itu terdapat  persediaan  makanan  yang  cukup
	untuk  waktu  lama.  Oleh  karena  itu  ia  berpendapat  bahwa
	pengepungan  ini  akan  meminta  waktu  yang  panjang,  sedang
	pasukannya   sudah  mau  pulang  akan  membagi-bagikan  barang
	rampasan perang  yang  sudah  mereka  peroleh.  Kalau  diminta
	supaya   mereka   tetap  tinggal  juga,  mungkin  mereka  akan
	kehilangan kesabaran. Disamping itu bulan suci pun sudah dekat
	pula dan perang tidak diperkenankan.
 
	Oleh  karena  itu  ia  lebih senang pengepungan itu dibubarkan
	saja sesudah satu bulan berjalan. Ketika itu  bulan  Zulhijah,
	bulan  muda  sudah  keluar.  Dengan  pasukannya itu ia kembali
	hendak melakukan umrah, dan diingatkannya pula, bahwa ia sudah
	bersiap hendak ke Ta'if bila bulan suci sudah lalu.
 
	Muhammad  dan  kaum  Muslimin  yang  lain  sekarang  berangkat
	meninggalkan Ta'if menuju Ji'rana, tempat barang rampasan  dan
	tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti
	mengadakan  pembagian.  Seperlima  di  antaranya  oleh   Rasul
	dipisahkan  buat  dirinya dan yang selebihnya dibaginya kepada
	para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji'rana ini,  tiba-tiba
	datang  utusan  dari  pihak  Hawazin  yang  sudah masuk Islam.
	Mereka ini  mengharapkan,  supaya  harta  mereka,  wanita  dan
	anak-anak  dikembalikan kepada mereka karena sudah sekian lama
	mereka berpisah, dan sudah sekian lama pula  mereka  mengalami
	kepahitan  hidup.  Utusan  itu  datang menemui Muhammad. Salah
	seorang dari mereka berkata:
 
	"Rasulullah, di tempat-tempat berpagar,5  orang-orang  tawanan
	itu  terdapat  juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak ibu,
	ibu-ibu yang dulu pernah  memeliharamu.  Jika  sekiranya  kami
	yang  menyusui  Harith b. Abi Syimr atau Nu'man bin'l-Mundhir,
	kemudian ia datang melihat keadaan kami seperti yang  kaualami
	sekarang   ini,   tentu   kami   manfaatkan  dan  kami  mintai
	belas-kasihannya.  Konon  pula  engkau,  yang  sudah  mendapat
	pemeliharaan yang terbaik."
 
	Mereka  tidak  salah  dalam  mengingatkan Muhammad akan adanya
	hubungan dan pertalian keluarga  itu.  Dari  kalangan  tawanan
	perang  itu  terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut
	mendapat perlakuan keras dari  tentara  Muslimin.  Wanita  itu
	berkata  kepada  mereka:  "Kamu  tahu, bahwa aku masih saudara
	susuan dengan kawanmu itu."
 
	Karena mereka tidak percaya,  oleh  mereka  ia  dibawa  kepada
	Muhammad,  yang  ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu
	Syaima'   bint'l-Harith   ibn   'Abd'l-Uzza.   Dimintanya   ia
	kedekatnya  dan  dihamparkannya  mantelnya supaya ia duduk. Ia
	dipersilakan memilih - kalau senang tinggal, boleh tinggal dan
	kalau  ingin  pulang akan diantarkan kepada kabilahnya. Tetapi
	ternyata wanita itu ingin  pulang  juga  kepada  masyarakatnya
	sendiri.
 
	Meningkat   hubungan   Muhammad   dengan  mereka  yang  datang
	menyerahkan diri dari Hawazin itu demikian rupa,  sudah  wajar
	sekali  apabila  ia  bersikap penuh kasih sayang kepada mereka
	dan memenuhi  pula  permintaan  mereka.  Sejak  dahulu  memang
	demikian  inilah  sifatnya,  kepada  siapa  saja  yang  pernah
	mengulurkan  tangan  kepadanya.  Tahu  berterima   kasih   dan
	mengingat budi orang sudah menjadi bawaan dan sifatnya.
 
	Setelah mendengar kata-kata mereka itu ia bertanya:
 
	"Anak-anak  dan  isteri-isteri  kamu  ataukah  harta kamu yang
	lebih kamu sukai?"
 
	"Rasulullah," jawab mereka, "kami disuruh memilih antara harta
	dengan  sanak  keluarga  kami? Mengembalikan isteri-isteri dan
	anak-anak kami tentu itulah yang kami sukai."
 
	Lalu kata Nabi 'a.s.;
 
	"Apa yang ada padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib,  itu  akan
	kuserahkan  kembali kepadamu. Bilamana nanti sudah selesai aku
	memimpin orang salat lohor hendaklah kamu berdiri dan katakan:
	'Kami  meminta  bantuan  Rasulullah  kepada  kaum Muslimin dan
	meminta  bantuan  kaum  Muslimin  kepada  Rasulullah  mengenai
	anak-anak  kami  dan wanita-wanita kami.' Maka ketika itu akan
	kuserahkan kepadamu, dan akan kumintakan buat kamu."
 
	Setelah apa yang diucapkan Nabi itu dilaksanakan oleh Hawazin,
	ia berkata lagi:
 
	"Apa  yang  ada padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib, itu akan
	kuserahkan kembali kepadamu."
 
	Ketika itu juga kaum Muhajirin berkata:
 
	"Apa yang ada pada kami, itu kami serahkan kepada Rasulullah."
 
	Dan ini juga yang dikatakan oleh kaum Anshar.
 
	Tetapi Aqra' ibn Habis atas nama Tamim dan  'Uyaina  b.  Hishn
	menolak,  demikian juga Abbas b. Mirdas atas nama Banu Sulaim.
	Akan tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas
	itu. Dalam hal ini Nabi berkata:
 
	"Barangsiapa  mau mempertahankan haknya atas tawanan itu, maka
	untuk setiap orang ia akan mendapat  ganti  enam  bagian  dari
	tawanan yang mula-mula didapat."

	Dengan   demikian  wanita-wanita  dan  anak-anak  Hawazin  itu
	dikembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan  diri
	masuk  Islam.  Kepada  utusan  Hawazin itu Muhammad menanyakan
	Malik b. 'Auf. Setelah diberitahukan bahwa orang itu masih  di
	Ta'if   dengan   Thaqif,   dimintanya   kepada  mereka  supaya
	disampaikan: kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam,
	maka  keluarga  dan  harta bendanya akan dikembalikan dan akan
	diberi pula seratus ekor unta.
 
	Sekarang orang mulai merasa kuatir - kalau Muhammad memberikan
	ini  kepada  setiap  utusan yang datang - rampasan perang yang
	menjadi bagian mereka akan jadi  berkurang.  Oleh  karena  itu
	mereka  mendesak  supaya  tiap-tiap orang mengambil bagiannya.
	Dan  mereka  terus  saling  berbisik.  Bisikan  demikian   ini
	tampaknya  sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia lalu
	berdiri di samping seekor unta, diambilnya  seutas  bulu  dari
	ponok unta itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan
	ke atas ia berkata:
 
	"Saudara-saudara.6 Demi Allah! Bagianku  dari  harta  rampasan
	dan  dari bulu ini hanya seperlima; ini pun sudah dikembalikan
	kepada kamu." Kemudian dimintanya kepada mereka  masing-masing
	supaya  harta  rampasan  itu  dikembalikan dan dengan demikian
	dapat dibagi secara adil. "Barangsiapa  mengambil  ini  secara
	tidak  adil  sekalipun  hanya  sebentar  jarum, maka buat yang
	bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai hari kiamat."
 
	Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah  setelah  mantelnya
	yang  mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada
	mereka: "Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah,
	andaikata  kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini,
	tentu kubagi-bagikan kepada kamu,  kemudian  akan  kamu  lihat
	bahwa aku bukan orang yang kikir, pengecut dan pembohong."
 
	Kemudian  rampasan  perang  itu dibagi lima dan yang seperlima
	diberikan  kepada  mereka  yang  paling  sengit   memusuhinya.
	Seratus  ekor  unta  diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan
	dan Mu'awiya anaknya, Harith bin'l-Harith b. Kalada, Harith b.
	Hasyim,  Suhail  b.  'Amr,  Huwaitib  b.  'Abd'l-'Uzza, kepada
	bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa  pemuka  kabilah  yang
	telah  mulai  lunak  hatinya  setelah pembebasan Mekah. Kepada
	mereka yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang  tadi,
	diberi  lima  puluh ekor unta. Jumlah yang mendapat bagian itu
	mencapai puluhan orang. Ketika itu Muhammad menunjukkan  sikap
	sangat  ramah  dan murah hati, yang membuat orang yang tadinya
	sangat  memusuhinya,  lidah   mereka   telah   berbalik   jadi
	memujinya.  Tiada  seorang  dari  mereka  yang  perlu  diambil
	hatinya itu yang tidak dikabulkan segala keperluannya
 
	Ketika Abbas b. Mirdas mendapat beberapa ekor  unta  ia  tidak
	senang  hati  dan  mencela karena menurut anggapannya 'Uyaina,
	Aqra' dan yang lain  tampaknya  lebih  diutamakan.  Lalu  Nabi
	berkata:  "Temui  dia  dan  berilah  lagi  supaya dia puas dan
	diam."7
 
	Lalu diberi lagi sampai dia puas. Dan itulah yang membuat  dia
	diam.
 
	Akan  tetapi  tindakan  Nabi  mengambil  hati orang-orang yang
	tadinya  merupakan  musuh  besar  itu,  telah  menjadi   bahan
	pembicaraan  di  kalangan  Anshar,  dan  satu sama lain mereka
	berkata:
 
	"Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri." Dalam
	hal  ini  Sa'd b. 'Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata
	Anshar itu kepada Nabi dan akan mendukung pula pendapat mereka
	itu
 
	"Sekarang  kumpulkan  masyarakatmu  di  tempat berpagar ini,"8
	kata Nabi.
 
	Setelah oleh Sa'd mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang,
	maka terjadi dialog berikut:
 
	Muhammad:  "Saudara-saudara  kaum  Anshar.  Suatu desas-desus9
	berasal  dari  kamu  yang  telah  disampaikan   kepadaku   itu
	merupakan  suatu  perasaan  yang  ada  dalam  hatirnu terhadap
	diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang
	lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan
	memberikan kecukupan kepadamu, kamu  dalam  permusuhan,  Tuhan
	mempersekutukan kamu?"
 
	Anshar:  "Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah
	hati."
 
	Muhammad: "Saudara-saudara kaum Anshar.  Kamu  tidak  menjawab
	kata-kataku?"
 
	Anshar:  "Dengan  apa  harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala
	kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah  dan  Rasul-Nya
	juga."
 
	Muhammad: "Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu
	masih dapat mengatakan -  kamu  benar  dan  pasti  dibenarkan:
	'Engkau  datang  kepada  kami  didustakan  orang, kamilah yang
	mempercayaimu.  Engkau  ditinggalkan   orang,   kamilah   yang
	menolongmu.  Engkau  diusir,  kamilah  yang  memberimu tempat.
	Engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu.' Saudara-saudara
	dari  Anshar!  Adakah  sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam
	hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu  golongan
	supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu
	aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar,
	apabila  orang-orang itu pergi membawa karnbing, membawa unta,
	sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia
	Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu
	aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan  di
	celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku
	akan menempuh jalan  Anshar.  Allahuma  ya  Allah,  rahmatilah
	orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar."
 
	Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan,
	penuh rasa cinta dan kasih sayang kepada  mereka  yang  pernah
	memberikan  ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama
	lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu,
	sehingga  orang-orang  Anshar  pun  menangis,  sambil berkata,
	"Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami."
 
	Dengan demikian  Nabi  telah  memperlihatkan  ketidaksukaannya
	pada  harta  yang  telah  diperoleh sebagai rampasan perang di
	Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah  ada  suatu  rampasan
	perang    diperoleh    sebanyak    itu.    Ia   memperlihatkan
	ketidaksukaannya  pada  harta  itu   sebagai   langkah   dalam
	mengambil  hati  mereka - yang dalam beberapa minggu yang lalu
	masih musyrik - dapat melihat bahwa dalam agama yang baru  itu
	ada  kebahagiaan  hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi
	harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali  sehingga
	menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini
	telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah  bermurah
	hati  kepada  mereka  yang  perlu dijinakkan itu, namun dengan
	demikian ia telah memperlihatkan sikap  yang  adil,  pandangan
	yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan
	demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang  Arab  ini  -
	semua  dengan  senang  hati,  dengan  perasaan lega - bersedia
	memberikan nyawanya demi jalan Allah.
 
	Selanjutnya Rasul pun berangkat  dari  Ji'rana  menuju  Mekah,
	hendak  menunaikan  umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk
	'Attab b. Asid sebagai  tenaga  pengajar  untuk  Mekah  dengan
	didampingi  oleh  Mu'adh  b.  Jabal  guna mengajar orang-orang
	memperdalam agama dan mengajarkan Qur'an.
 
	Ia kembali pulang ke Medinah bersama  orang-orang  Anshar  dan
	Muhajirin.  Sementara  Nabi  tinggal  di  kota  ini lahir pula
	anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu,  setelah  agak
	merasakan  adanya  ketenangan  hidup,  kemudian  ia  pun harus
	bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.
 
	Catatan kaki:
 
	 1 Harfiah, 'kupenuhi panggilanmu', yakni aku siap (A).
	   
	 2 'Uqiya. 'Dahulu kala sama dengan 40 dirham (drakhma)
	   dan di luar hadis sama dengan setengah 1/6 rati, yakni
	   1/12 bagian, dan ini tergantung kepada istilah negeri
	   masing-masing' (N). Pada umumnya 'uqiya sekarang ditaksir
	   sekitar 30 gram (A).
	   
	 3 Sebuah pesawat pelempar batu (junuq). Mungkin sama
	   dengan ballista yang biasa digunakan dalam peperangan
	   dahulu kala (A).
	   
	 4 Aslinya, dabbaba; dabba melata perlahan-lahan, yakni
	   semacam alat dibuat daripada kayu dan kulit, orang masuk
	   ke dalam alat tersebut lalu mendekat benteng yang sedang
	   dikepung untuk dilubangi atau dibongkar dan mereka
	   terlindung dan serangan yang datang dan atas (LA) mungkin
	   dapat disamakan dengan testudo semacam alat perang dahulu
	   kala, dari bahasa Latin, berarti kura-kura atau kulitnya
	   yang dapat melindungi badan. Dalam pengertian sekarang
	   kira-kira sama dengan tank (A).
	   
	 5 Hazira, 'segala yang dilingkungi sesuatu, kadang
	   terdiri dari buluh dan papan' (LA) yakni tempat berpagar
	   (A).
	   
	 6 Ayyuhan nas, harfiah: 'Hai manusia' (A).
	   
	 7 Iqta'u anni lisanahu, yakni 'berilah lagi supaya dia
	   puas dan diam' (LA) Harfiah, 'potongkan lidahnya tentang
	   aku' (A).
	   
	 8 Lihat catatan bawah halaman 531 (A).
	   
	 9 Qalatun, 'Banyak bicara yang akan menimbulkan
	   permusuhan' (N), yakni desas-desus (A).
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1