Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

BAGIAN KEDUAPULUH TIGA: 

EKSPEDISI MU'TA

Perhatian Muhammad ke Syam - 484; Mengerahkan 3000 orang - 485; Pasukan Rumawi - 486; Dua pasukan bertemu - 487; Zaid b. Haritha sebagai panglima - 487; Ja'far b. Abi Talib - 487; Abdullah b. Rawaha - 487; Tiga orang panglima gugur berturut-turut - Pimpinan di tangan Khalid bin'l-Walid - 489; Siasat Khalid - 490; Muhammad menangisi para Syuhada - 491; Ekspedisi Dhat's-Salasil - 492.

	
	MUHAMMAD belum merasa perlu: tergesa-gesa  membebaskan  Mekah.
	Dia  mengetahui sekali, bahwa soalnya hanya tinggal soal waktu
	saja. Perjanjian Hudaibiya baru setahun berjalan.  Juga  bukan
	maksudnya  akan  mengadakan  pelanggaran.  Muhammad orang yang
	sangat setia tiada sebuah  kata  yang  pernah  diucapkan  atau
	perjanjian  yang pernah dibuat, akan dilanggarnya. Oleh karena
	itu tatkala ia kembali ke Medinah selama beberapa bulan  tidak
	terjadi   bentrokkan-bentrokan,  kecuali  kecil-kecilan  saja,
	seperti pengiriman 50 orang kepada Banu  Sulaim  dengan  tugas
	dakwah  mengajak  mereka menganut Islam, yang kemudian dibunuh
	oleh Banu Sulaim secara gelap dan  dengan  tidak  semena-mena,
	sehingga   pemimpinnya   yang   berhasil  lolos  hanya  karena
	kebetulan saja. Begitu juga Banu Laith dan  Zafar  yang  telah
	menyerang  dan  merampas  mereka itu. Sama pula dengan hukuman
	yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra  karena  pengkhianatan
	mereka  itu tadinya. Demikian juga adanya limabelas orang yang
	telah dikirim ke Dhat't-Talh di perbatasan Syam  dengan  tugas
	dakwah   mengajak   mereka   mengikut  Islam,  dibalas  dengan
	pembunuhan  juga,  sehingga  tak  ada  yang  selamat   kecuali
	pemimpinnya.
	
	Memang   perhatian   Nabi   tertuju   ke   wilayah   Syam  dan
	bagian-bagian utara  ini,  yaitu  setelah  di  bagian  selatan
	diadakan  perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah
	penguasa  di  Yaman   bersedia   menerima   seruannya.   Jalur
	penyebaran  dakwah  Islam  yang  pertama  setelah  keluar dari
	semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya  bahwa  Syam
	dan  daerah-daerah  di  dekatnya  itu  merupakan pintu pertama
	jalur dakwah itu. Oleh  karena  itu  beberapa  bulan  kemudian
	sekembalinya  dari  umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang
	yang kemudian di Mu'ta berhadapan dengan  seratus  ribu  orang
	pasukan lawan.
	
	Ahli-ahli    sejarah    masih    berbeda   pendapat   mengenai
	sebab-musabab  terjadinya  ekspedisi   Mu'ta   itu.   Sebagian
	mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat't-Talh itulah
	yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman atas mereka
	yang  telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika
	Nabi mengirim seorang  utusan  kepada  gubernur  Heraklius  di
	Bushra  (Bostra),  utusan  itu  dibunuh oleh orang badwi, dari
	Ghassan, atas nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka
	yang  sedang  berperang di Mu'ta supaya memberi hukuman kepada
	penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.
	
	Kalau    Perjanjian    Hudaibiya     merupakan     pendahuluan
	'umrat'l-qadza',  lalu  pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu'ta
	ini juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan setelah  Nabi  wafat
	kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja; yang
	menimbulkan ekspedisi Mu'ta itu karena dibunuhnya utusan  Nabi
	kepada   penguasa   Bushra,   atau  karena  lima  belas  orang
	sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat't-Talh.
	
	Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah [tahun 629  M.]
	Nabi   'a.s.   memanggil   tiga   ribu   orang  pilihan,  dari
	sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid
	b. Haritha dengan mengatakan:
	
	"Kalau  Zaid  gugur,  maka  Ja'far b. Abi Thalib yang memegang
	pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang
	memegang pimpinan.
	
	Ketika pasukan tentera ini berangkat Khalid bin'l-Walid secara
	sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan  keikhlasan  dan
	kesanggupannya   dalam  perang  hendak  memperlihatkan  itikad
	baiknya sebagai  orang  Islam.  Masyarakat  ramai  mengucapkan
	selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu,
	dan Muhammad juga turut mengantarkan  mereka  sampai  ke  luar
	kota,  dengan  memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh
	wanita,  bayi,  orang-orang  buta   atau   anak-anak,   jangan
	menghancurkan  rumah-rumah  atau  menebangi  pohon-pohon. Nabi
	'a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan  dengan
	berkata:  Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga
	kembali dengan selamat.
	
	Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak
	Syam  secara  tiba-tiba,  seperti  yang  biasa dilakukan dalam
	ekspedisi-ekspedisi   yang   sudah-sudah.   Dengan    demikian
	kemenangan  akan  diperoleh  lebih  cepat  dan  kembali dengan
	membawa  kemenangan.  Mereka  berangkat  sampai  di  Ma'an  di
	bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka
	hadapi di sana.
	
	Akan tetapi  berita  keberangkatan  mereka  sudah  lebih  dulu
	sampai.   Syurahbil   penguasa   Heraklius   di   Syam   sudah
	mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya.
	Pasukan  tentara  yang  terdiri  dari  orang-orang  Yunani dan
	orang-orang Arab sebagai bantuan  dari  Heraklius  didatangkan
	pula.   Beberapa   keterangan   menyebutkan,  bahwa  Heraklius
	sendirilah  yang  tampil  memimpin   pasukannya   itu   sampai
	bermarkas  di  Ma'ab  di  bilangan Balqa', terdiri dan seratus
	ribu orang Rumawi, ditambah  dengan  seratus  ribu  lagi  dari
	Lakhm,  Judham,  Qain,  Bahra'  dan Bali. Dikatakan juga bahwa
	Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan
	Heraklius sendiri.
	
	Ketika    pihak    Muslimin    berada    di    Ma'an,   adanya
	kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka  berada
	di  tempat  itu  sambil  melihat-lihat  apa  yang harus mereka
	lakukan berhadapan dengan  jumlah  yang  begitu  besar.  Salah
	seorang  dari  mereka  ada  yang  berkata:  Kita menulis surat
	kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah  pasukan
	musuh.  Kita  bisa  diberi  bala  bantuan,  atau kita mendapat
	perintah lain dan kita  maju  terus.  Saran  ini  hampir  saja
	diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha,
	yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata:
	
	"Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu  yang
	kita  cari  sekarang  ini,  yaitu  mati syahid. Kita memerangi
	musuh itu bukan karena perlengkapan,  bukan  karena  kekuatan,
	juga  bukan  karena  jumlah  orang  yang  besar.  Tetapi  kita
	memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang  dengan  itu
	Allah  telah  memuliakan  kita.  Oleh  karena itu marilah kita
	maju. Kita akan memperoleh satu dari dua  pahala  ini:  menang
	atau mati syahid."
	
	Rasa  bangga  dari  penyair  pemberani ini segera pula menular
	kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata:  Ibn
	Rawaha memang benar!
	
	Mereka  lalu  maju  terus.  Ketika  sudah sampai di perbatasan
	Balqa', di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan
	pasukan  Heraklius,  yang  terdiri dari orang-orang Rumawi dan
	Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin  segera
	mengelak  ke  Mu'ta,  yang  dilihatnya sebagai kubu pertahanan
	akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu'ta inilah pertempuran
	sengit  -  antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius
	dengan tiga ribu tentara Muslimin - mulai berkobar.
	
	Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi  dibawa
	oleh  Zaid  b.  Haritha  dan  dia  terus maju ke tengah-tengah
	musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat  dielakkan.
	Tetapi  mati  disini  berarti  syahid  di  jalan Allah. Selain
	kemenangan, hanya ada satu pilihan,  yaitu  mati  syahid.  Dan
	disinilah  Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur
	luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya  disambut
	oleh  Ja'far  b. Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya
	baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan
	dan berani, Ja'far terus bertempur dengan membawa bendera itu.
	Bilamana kudanya oleh musuh dikepung,  diterobosnya  kuda  itu
	dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh,
	menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang
	kena.
	
	Bendera  waktu  itu  dipegang  di  tangan kanan Ja'far; ketika
	tangan ini terputus, dipegangnya dengan  tangan  kirinya;  dan
	bila  tangan  kiri  ini  pun  terputus, dipeluknya bendera itu
	dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas. Konon  katanya
	yang  menghantamnya  orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga
	ia terbelah dua.
	
	Setelah Ja'far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha.
	Dia  maju  dengan  kudanya  membawa bendera itu. Sementara itu
	terpikir olehnya akan turun saja. Ia  nmasih  agak  ragu-ragu.
	Kemudian katanya:
	
	   O diriku, bersumpah aku
	   Akan turun engkau, akan turun
	   Atau masih terpaksa juga
	   Jika orang sudah berperang
	   dan genderang sudah berkumandang
	   Kenapa kulihat kau masih membenci surga?
	
	Kemudian  diambilnya  pedangnya  dan  dia maju terus bertempur
	sampai akhirnya dia pun tewas juga.
	
	Mereka itulah Zaid, Ja'far  dan  Ibn  Rawaha.  Mereka  bertiga
	telah mati syahid di jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi
	setelah berita ini diketahui  oleh  Nabi,  ia  sangat  terharu
	sekali,  terutama  terhadap  Zaid  dan  Ja'far. Lalu katanya :
	Mereka telah diangkat kepadaku di surga - seperti mimpi  orang
	yang  sedang  tidur  -  diatas  ranjang  emas. Lalu saya lihat
	ranjang Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang  kedua
	temannya  itu.  Lalu  ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang
	dua orang terus maju, tapi Abdullah agak  ragu-ragu.  Kemudian
	terus maju juga.
	
	Orang  sudah  melihat teladan dan nasehat yang baik ini! Tidak
	lain ini artinya, bahwa seorang mukmin tidak  boleh  ragu-ragu
	atau  takut  mati di jalan Allah. Bahkan sebaliknya, setiap ia
	menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin  bahwa  itu  untuk
	Tuhan  dan tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di tangan,
	siap dilemparkan ke muka siapa saja  yang  akan  merintanginya
	dari  jalan  itu. Salah satu: dia menang dan berhasil mencapai
	kebenaran Tuhan dan  tanah-air,  seperti  yang  sudah  menjadi
	keyakinannya,  atau  ia gugur sebagai syahid. Ini adalah suatu
	teladan yang hidup bagi angkatan kemudian, dan suatu  kenangan
	abadi  buat  jiwa  besar yang bisa mengerti, bahwa harga hidup
	itu ialah hidup yang dikurbankan  untuk  tujuan  cita-citanya;
	bahwa  mempertahankan  hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan
	hidup. Orang semacam itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam
	hidup  kita.  Ada  orang yang menerjunkan diri ke dalam bahaya
	bila terasa hidupnya terancam demikian rupa  sehingga  ia  pun
	menjadi  kurban  tujuan  yang  tidak  berharga. Begitu juga ia
	berarti  mengorbankan  diri  jika  ia   masih   mempertahankan
	hidupnya  padahal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ia diminta supaya
	hidupnya  dilemparkan  ke   muka   kebatilan,   supaya   dapat
	menghancurkan  kebatilan  itu.  Tetapi  ia lalu bersembunyi di
	balik tabir, ia sudah takut menghadapi  maut,  suatu  perasaan
	takut yang sebenarnya lebih celaka daripada maut.
	
	Jadi kalau sikap ragu-ragu yang hanya sedikit saja tampak pada
	Ibn  Rawaha,  padahal  sesudah  itu,  dengan  keberanian  yang
	luarbiasa  ia  pun  bertempur  lagi sampai mati sebagai syahid
	masih ditempatkan tidak  sama  dengan  Zaid  dan  Ja'far  yang
	menyerbu  barisan  maut dengan gembira menghadapi mati sebagai
	syahid, apalagi buat orang  yang  lalu  berbalik  surut  hanya
	karena  mengharapkan  kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan
	duniawi lainnya  !  Kalau  begitu  tidak  lebih  dia  hanyalah
	serangga  yang  hina saja, meskipun kedudukannya di muka orang
	banyak sudah tinggi dan hartanya sudah melampaui harta  karun.
	Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira apabila ia sudah
	dapat berkurban  untuk  sesuatu  yang  diyakininya  bahwa  itu
	benar,  sampai  akhirnya  ia pun gugur untuk.membela kebenaran
	itu, atau kebenaran itu dapat menguasai hidupnya!
	
	Ibn Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu lalu  tampil  lagi
	dengan  keberanian  yang luarbiasa. Sekali ini bendera diambil
	oleh Thabit b. Arqam [Banu 'Ajlan], yang kemudian berkata:
	
	"Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari  kita  mencalonkan  salah
	seorang dari kita."
	
	Mereka segera menjawab:
	
	"Engkau sajalah."
	
	"Tidak, saya tidak akan mampu,"
	
	Kemudian  pilihan  mereka  jatuh  kepada  Khalid  bin'l-Walid.
	Diambilnya bendera itu oleh Khalid setelah dilihatnya  barisan
	Muslimin  mulai  centang-perenang, kekuatan moril mereka mulai
	kendor. Khalid sendiri  seorang  jenderal  yang  cukup  ulung,
	seorang  penggerak  militer  yang  tidak  banyak bandingannya,
	Dengan demikian ia mulai memberikan komando. Barisan  Muslimin
	dapat  diaturnya  kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu
	sengaja ia  membuat  insiden-insiden  kecil  yang  diulur-ulur
	sampai  petang  hari.  Malamnya  kedua  pasukan itu tentu akan
	meletakkan senjata menunggu sampai pagi.
	
	Pada saat itulah Khalid mengambil kesempatan  menyusun  siasat
	perangnya.  Anak  buahnya dipencar-pencar demikian rupa dengan
	jumlah yang tidak kecil, dalam  suatu  garis  memanjang,  yang
	dikerahkan  maju  dari  barisan belakang. Pagi-pagi bila orang
	sudah  bangun,  dirasakannya  ada  kesibukan  dan  hiruk-pikuk
	demikian  rupa  yang  cukup  menimbulkan  perasaan  gentar  di
	kalangan musuh,  dengan  anggapan  bahwa  bala  bantuan  telah
	didatangkan  dari pihak Nabi. Kalau jumlah tiga ribu orang itu
	pada hari pertama telah membuat peranan begitu besar  terhadap
	pasukan Rumawi dan tidak sedikit pula jumlah mereka yang sudah
	terbunuh - meskipun tak dapat mereka pastikan - konon apa lagi
	yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang
	baru didatangkan  itu,  dengan  tiada  orang  yang  mengetahui
	berapa besarnya!
	
	Oleh  karena  itu  pihak  Rumawi  jadi  menjauhkan  diri  dari
	serangan Khalid dan senang sekali mereka  kalau  Khalid  tidak
	sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya Khalid lebih senang
	lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke  Medinah,
	setelah   mengalami   suatu  pertempuran  yang  tidak  membawa
	kemenangan buat pasukan Muslimin, dan  yang  juga  sama  tidak
	membawa kemenangan buat lawan mereka itu.
	
	Bilamana Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Medinah,
	Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sudah  pula  bersama-sama
	menyongsong mereka. Atas permintaan Muhammad kemudian Abdullah
	b. Ja'far dibawa dan  diangkatnya  di  depannya.  Orang  ramai
	datang  menaburkan  tanah  kepada  pasukan  tentara itu seraya
	berkata:
	
	"He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!"
	
	Tapi Rasul segera berkata:
	
	"Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka  orang-orang  yang  akan
	tampil kembali, insya Allah."
	
	Sungguh  pun  sudah begitu rupa Muhammad menghibur orang-orang
	yang baru kembali dari Mu'ta itu,  namun  Muslimin  belum  mau
	juga  memaafkan  mereka  karena  penarikan  mundur  dan mereka
	kembali itu; sampai-sampai Salama ibn Hisyam  tidak  mau  ikut
	sembahyang  bersama-sama  dengan  Muslimin  yang  lain, kuatir
	masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya:
	
	"He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah."
	
	Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti  dari
	mereka  yang  kembali dari Mu,ta itu, terutama tindakan Khalid
	sendiri, niscaya Mu'ta masih akan dianggap suatu cemar  karena
	pelarian  yang  telah dicontengkan saudara saudara seagania di
	kening mereka itu.
	
	Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati  Muhammad  setelah
	diketahuinya  Zaid  dan  Ja'far  telah  tewas. Begitu sedih ia
	menanggung dukacita karena mereka itu.
	
	Setelah Ja'far mendapat malapetaka, Muhammad pergi sendiri  ke
	rumahnya,  dijumpainya  isterinya  Asma  bt.  'Umais yang pada
	waktu itu ia sudah membuat  adonan  roti,  anak-anaknya  sudah
	dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan.
	
	"Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," kata Muhammad kepadanya.
	
	Setelah   mereka  dibawa,  diciuminya  anak-anak  itu,  dengan
	airmata yang sudah berlinangan.
	
	"Rasulullah," kata Asma' gelisah; ia  sudah  merasa  apa  yang
	terjadi. "Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada
	hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya barangkali?"
	
	"Ya,"  jawabnya.  "Hari  ini  mereka  tewas."  Berkata  begitu
	airmatanya  sudah  makin  tak  dapat  ditahan, deras berderai.
	Asma,  juga  lalu   menangis   keras-keras   sehingga   banyak
	wanita-wanita yang datang berkumpul.
	
	Bila Muhammad pulang ia berkata kepada keluarganya:
	
	"Keluarga   Ja'far  jangan  dilupakan.  Buatkan  makanan  buat
	mereka. Mereka sekarang dalam  kesusahan."  Ketika  dilihatnya
	puteri  Zaid  -  bekas budaknya itu - datang, dibelai-belainya
	bahunya sambil ia menangis. Ada  sahabat-sahabat  yang  merasa
	terkejut  melihat  Rasul menangisi orang yang mati syahid itu.
	Lalu katanya, yang maksudnya: Tapi itu airmata  seorang  kawan
	yang kehilangan kawannya.
	
	Ada  sumber  yang  menyebutkan, bahwa jenazah Ja'far dibawa ke
	Medinah dan dikebumikan di sana  tiga  hari  kemudian  setelah
	Khalid  dan  pasukannya  sampai. Sejak hari itu Rasul menyuruh
	orang supaya jangan lagi menangis. Kedua  tangan  Ja'far  yang
	terputus,  oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang
	menerbangkannya ke surga.
	
	Beberapa minggu  kemudian  setelah  Khalid  kembali,  Muhammad
	bermaksud  hendak  mengembalikan  pula  kewibawaan Muslimin di
	bagian utara jazirah itu. Dalam hal  ini  ia  menugaskan  'Amr
	bin'l-'Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam. Memang
	demikian, sebab ibn 'Amr ini berasal dari kabilah daerah  itu.
	Tentu  akan  lebih  mudah  ia  bergaul  dengan  mereka. Tetapi
	setelah ia sampai di sebuah pangkalan air  di  daerah  kabilah
	Judham  yang disebut Silsil, mulai ia merasa kuatir. Segera ia
	mengirim kurir kepada Nabi 'alaihissalam meminta bantuan.  Dan
	Nabi   pun  segera  mengirim  Abu  'Ubaida  bin'l-Jarrah  dari
	kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar.
	Sebagai  orang  yang  masih  baru dalam Islam, Muhammad kuatir
	'Amr  akan  berselisih  dengan  Abu  'Ubaida  sebagai  anggota
	Muhajirin  yang  mula-mula, maka dipesannya kepada Abu 'Ubaida
	ketika dilepaskan. Jangan berselisih.
 
	                               ***
	
	"Engkau datang kemari  sebagai  pembantuku.  Pimpinan  tentara
	ditanganku," kata 'Amr kemudian kepada Abu 'Ubaida.
	
	Abu  'Ubaida  adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba
	mudah dalam masalah-masalah duniawi.
	
	"Rasulullah sudah berpesan," katanya kepada 'Amr "Kita  jangan
	berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat
	kepadamu."
	
	Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga 'Amr  yang  menjadi
	imam.
	
	Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak
	Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah  diubrak-abrik.
	Dengan  demikian  kewibawaan  Muslimin  di bilangan daerah itu
	telah dapat dipulihkan
	
	Dalam pada itu Muhammad masih teringat  juga  pada  Mekah  dan
	segala  sesuatunya.  Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia
	sangat memegang  teguh  isi  Perjanjian  Hudaibiya.  Ia  harus
	menunggu   sampai   habis   waktu  dua  tahun.  Sementara  itu
	satuan-satuan   tetap   dikirimkan   guna    menjaga    adanya
	pemberontakan   kabilah-kabilah,   yang  berjiwa  memang  suka
	berontak itu.  Tetapi  hal  ini  tidak  banyak  makan  tenaga.
	Utusan-utusan   sudah   berdatangan   kepadanya  dari  segenap
	penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan  kesetiaan  yang
	penuh  kepadanya.  Hal  inilah  yang telah merupakan pengantar
	akan dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh
	di  tempat  ini,  sebagai  tempat  yang paling disucikan untuk
	selama-lamanya.
 	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1