Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 ]

BAGIAN KEDUABELAS: 

SATUAN-SATUAN1 DAN BENTROKAN-BENTROKAN PERTAMA

Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang pertama - 245; Nabi berangkat sendiri - 246; Pendapat ahli-ahli sejarah tentang ekspedisi pertama - 247; Pendapat kami tentang satuan-satuan ini - 248; Menyudutkan perdagangan Quraisy - 248; Anshar dan perang Agresi - 250; Watak penduduk Medinah - 251; Menakut-nakuti Yahudi - 252; Intrik-intrik Yahudi - 252; Islam dan Perang - 253; Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen - 260; Islam agama kodrat - 261.

	                           
	SESUDAH hijrah  beberapa  bulan  keadaan  kaum  Muslimin  yang
	tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
	Muhajirin ke Mekah terasa  makin  bertambah  adanya.  Terpikir
	oleh  mereka  siapa-siapa  dan apa saja yang mereka tinggalkan
	itu, serta betapa pula pihak  Quraisy  menyiksa  mereka  dulu?
	Tetapi  sungguhpun  begitu,  gerangan  apa  yang  harus mereka
	lakukan?  Banyak  penulis-penulis  sejarah  yang  berpendapat,
	bahwa  mereka  - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan
	mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta  mulai  membuka
	permusuhan   dan  akan  mengadakan  perang.  Bahkan  ada  yang
	berpendapat,  bahwa  sejak  mereka  sampai  di  Medinah   niat
	mengadakan  perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja,
	yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
	karena  mereka  masih  sibuk  menyiapkan tempat-tempat tinggal
	serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian  mereka
	mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan
	Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja.  Dan
	sudah  wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan
	Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah  membuat
	pihak  Quraisy  segera menyadari akibat perjanjian 'Aqaba itu.
	Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan  Aus  dan  Khazraj
	tentang dia.
 
	Mereka  memperkuat  pendapat ini dengan apa yang telah terjadi
	delapan bulan sesudah Rasul  dan  para  Muhajirin  tinggal  di
	Medinah,  yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b.
	Abd'l-Muttalib ke tepi  laut  (Laut  Merah)  di  sekitar  'Ish
	dengan  membawa  30  orang  pasukan yang terdiri dari kalangan
	Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini  ia  bertemu
	dengan  Abu  Jahl  b.  Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
	dari  penduduk  Mekah;  dan  bahwa  Hamzah  sudah  siap   akan
	memerangi  Quraisy  tapi  lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang
	bertindak sebagai pendamai kedua  belah  pihak.  Masing-masing
	kelompok  itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
	ketika Muhammad mengirimkan  'Ubaida  bin'l-Harith  dengan  60
	orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka
	pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang  disebut  Wadi
	Rabigh.  Disini  mereka  bertemu  dengan kelompok Quraisy yang
	terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
	bubar   juga   tanpa   suatu  pertempuran;  kecuali  apa  yang
	diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu  telah
	melepaskan  anak  panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama
	dilepaskan dalam  Islam."  Demikianlah  ketika  Said  bin  Abi
	Waqqash  dikirim  ke  daerah  Hijaz  dengan  membawa  8  orang
	Muhajirin menurut satu sumber atau  20  orang  menurut  sumber
	yang  lain.  Kemudian  mereka  kembali  karena  tidak  bertemu
	siapa-siapa.

	Alasan mereka ini  mereka  perkuat  lagi  dengan  menyebutkan,
	bahwa  Nabi  telah  berangkat  sendiri  sesudah duabelas bulan
	tinggal di Medinah, dengan menyerahkan  pimpinan  kota  kepada
	Sa'd  b.  'Ubada. Ia pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia
	bermaksud mencari Quraisy  dan  Banu  Dzamra;  tetapi  Quraisy
	tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
	Banu  Dzamra;  bahwa  sebulan  sesudah  itu  ia   pergi   lagi
	mengepalai  200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat
	dengan sasaran sebuah kafilah yang  dipimpin  o]eh  Umayya  b.
	Khalaf  yang  terdiri  dari  2.500  ekor unta dikawal oleh 100
	orang pasukan perang. Tapi  juga  sudah  tidak  bertemu  lagi,
	sebab  mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah
	yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia
	kembali  dari  Buwat  di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
	Medinah  diserahkan  kepada  Abu  Salama  b.  Abd'l-Asad,   ia
	berangkat  lagi  memimpin  kaum Muslimin yang terdiri dari dua
	ratus orang lebih sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'.  Ia
	tinggal  disana  selama  bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
	dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623  M.)
	sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan
	lewat.  Tetapi  ternyata  mereka  sudah   tidak   ada.   Dalam
	perjalanan   ini   ia  berhasil  dapat  mengadakan  perjanjian
	perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu
	Dzamra;  dan  bahwa  begitu ia kembali dan akan tinggal selama
	sepuluh  hari  lagi  di  Medinah,  tiba-tiba  Kurz  b.   Jabir
	al-Fihri,  orang  yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah
	dan Quraisy, datang ke  Medinah  merampok  sejumlah  unta  dan
	kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
	kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai  ia
	di  suatu  lembah  yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi
	Kurz sudah menghilang.

	Inilah yang disebut  oleh  penulis-penulis  sejarah  Nabi  itu
	dengan sebutan Perang Badr Pertama.
 
	Bukankah  semua  peristiwa  ini  sudah  dapat dijadikan bukti,
	bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad  -  memang  sudah
	memikirkan  akan  membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
	mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya -
	menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa
	dengan  mengirimkan  satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi
	pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
 
	Pertama,   mengadakan   pencegatan   terhadap  kafilah-kafilah
	Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
	sana  dalam  perjalanan  musim  panas,  dengan sedapat mungkin
	merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang  dagangan
	yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
 
	Kedua,  mengambil  jalur  kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke
	Syam  itu  dengan   jalan   mengadakan   perjanjian-perjanjian
	perdamaian  serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang
	jalan Medinah-Pantai Laut  Merah.  Hal  ini  akan  mempermudah
	pihak  Muhajirin  melakukan  serangan terhadap kafilah-kafilah
	Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat  melindungi
	mereka  dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
	kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan  yang  akan
	mencegah  kaum  Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat
	-bertindak terhadap orang-orang dan  harta-benda  mereka  itu.
	Adanya   satuan-satuan   yang   oleh   Nabi  a.s.  pimpinannya
	diserahkan masing-masing kepada Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith
	dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan
	yang telah diadakan  dengan  Banu  Dzamra,  Banu  Mudlij,  dan
	lain-lain,  memperkuat  maksud  tujuan kedua tadi, begitu juga
	pengambilan jalan penduduk  Mekah  ke  Syam  membuktikan  pula
	sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
 
	Bahwa  dengan  adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam
	bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
	oleh  pihak  Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy
	dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini  akan  membuat  orang
	jadi  sangsi  dan  harus  berpikir  lagi. Pasukan Hamzah tidak
	lebih dari 30 orang  dari  Muhajirin,  pasukan  'Ubaida  tidak
	lebih  dari  60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
	suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain  20  orang.
	Sedang  petugas-petugas  yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy
	biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad  tinggal  di
	Medinah    dan    mulai    mengadakan    persekutuan    dengan
	kabilah-kabilah  setempat  dan   dengan   daerah-daerah   yang
	berdekatan,  pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan
	perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd,  betapapun
	keberanian  mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
	namun persiapan yang  ada  pada  mereka  tidak  cukup  memberi
	semangat  untuk  melakukan  perang.  Bagi  mereka  ini  semua,
	kiranya  cukup  dengan  menakut-nakuti  Quraisy  saja,   tanpa
	mengadakan  perang;  kecuali  apa yang dilakukan orang tentang
	anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
 
	Disamping  itu  kafilah-kafilah  Quraisy  ini   dikawal   oleh
	penduduk  Mekah  yang  mempunyai  hubungan darah dan pertalian
	kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah
	bagi  mereka  itu  mau  saling  bunuh, atau satu sama lain mau
	melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah
	bersama-sama  ke  dalam  suatu  perang saudara, suatu hal yang
	selama tiga belas tahun terus-menerus,  dari  mulai  kerasulan
	Muhammad  sampai  pada  waktu  hijrahnya,  kaum  Muslimin  dan
	orang-orang  pagan  di  Mekah  sudah   mampu   menghindarinya.
	Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
	itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan  Khazraj
	sama-sama  berjanji  akan  melindungi  Muhammad.  Mereka tidak
	pernah memberikan janji kepadanya atau  kepada  siapapun  dari
	sahabat-sahabatnya   bahwa   mereka  akan  melakukan  tindakan
	permusuhan (agresi).

	Sungguhpun  sudah  begitu,  memang  tidak  mudah  orang   akan
	menyerah  begitu  saja  kepada  ahli-ahli  sejarah, yang dalam
	penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad
	kemudian  sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan
	dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya  memang
	sengaja  hendak  melakukan  perang. Oleh karena itu, dalam hal
	ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat  diterima
	akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode
	mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula  dengan
	kebijaksanaan   Rasul  yang  pada  masa  itu  didasarkan  pada
	prinsip-prinsip  persetujuan  dan  saling  pengertian   dengan
	pelbagai  macam  kabilah;  di  satu pihak guna menjamin adanya
	kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna  menjamin
	adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.

	Menurut  hemat  saya  adanya  satuan-satuan yang mula-mula ini
	tidak lain maksudnya  supaya  pihak  Quraisy  mengerti,  bahwa
	kepentingan  mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling
	pengertian dengan  pihak  Muslimin  yang  juga  dari  keluarga
	mereka,   yang   telah  terpaksa  keluar  dari  Mekah,  karena
	mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa  kedua
	belah  pihak  harus  menghindari adanya bencana permusuhan dan
	kebencian serta menjamin bagi  pihak  Islam  adanya  kebebasan
	menjalankan   dakwah   agama,  dan  bagi  pihak  Mekah  adanya
	keselamatan   dan   keamanan    perdagangan    mereka    dalam
	perjalanannya ke Syam.
 
	Sebenarnya  perdagangan  yang  dikirimkan dari Mekah dan Ta'if
	dan yang didatangkan ke  Mekah  dari  bagian  Selatan,  adalah
	perdagangan   yang  cukup  besar.  Sebuah  kafilah  adakalanya
	berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan  seharga  lebih  dan
	50.000  dinar.  Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap
	tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira  160.000
	pounsterling.  Apabila  bagi  pihak  Quraisy sudah pasti bahwa
	bahaya yang mengancam  perdagangan  ini  datangnya  dari  anak
	negeri  sendiri  yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini
	telah membuatnya berpikir-pikir dalam  hal  mengadakan  saling
	pengertian  dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
	diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
	melakukan  dakwah  agama  serta  kebebasan  memasuki Mekah dan
	melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling  pengertian  demikian
	ini  takkan  ada  kalau  Quraisy  tidak  dapat memperhitungkan
	kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
	kini    akan    mencegat   dan   menutup   jalan   lalu-lintas
	perdagangannya.
 
	Inilah yang menurut penafsiran saya  yang  menyebabkan  Hamzah
	dan  rombongannya  dari  kalangan  Muhajirin  kembali, setelah
	berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
	keduanya  dilerai  oleh  Majdi  b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
	satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah
	dengan  suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa
	mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian.  Juga
	ini  pula  yang  mengartikan  betapa  besarnya  hasrat  Nabi -
	setelah  melihat  kecongkakan  Quraisy  dan   sikapnya   dalam
	menghadapi  kekuatan  Muhajirin  - ingin mengadakan perdamaian
	dengan  kabilah-kabilah  yang  tinggal   di   sepanjang   rute
	perdagangan  itu  serta  mengadakan  persekutuan dengan mereka
	yang beritanya tentu akan sampai juga kepada  Quraisy.  Dengan
	itu  kalau-kalau  mereka  mau  insaf  dan  kembali  memikirkan
	perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.

	Pendapat  ini  kuat  sekali  landasannya,  yakni  bahwa  dalam
	perjalanan  Nabi  a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
	kalangan  Anshar  dari  penduduk  Medinah  yang  menyertainya.
	Padahal  Anshar  itu  hanya  berikrar untuk mempertahankannya,
	bukan untuk melakukan  serangan  bersama-sama.  Hal  ini  akan
	jelas  terlihat  dalam  Perang  Besar  Badr,  tatkala Muhammad
	kemudian  kembali  tanpa  melakukan  pertempuran,  yang   juga
	disetujui  oleh  orang-orang  Medinah.  Apabila  pihak  Anshar
	memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran  terhadap  ikrar
	mereka  jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
	ini tidak berarti  bahwa  mereka  juga  harus  ikut  memerangi
	penduduk  Mekah.  Bagi  ke  duanya  alasan berperang yang akan
	dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka  satu
	sama  lain,  tidak  ada.  Meskipun dalam perjanjian-perjanjian
	perdamaian yang diadakan Muhammad  guna  memperkuat  kedudukan
	Medinah  di  samping  melemahkan  tujuan  dagang  Quraisy  itu
	merupakan suatu  proteksi,  namun  hal  ini  samasekali  tidak
	berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha
	lain kearah itu.
 
	Jadi   pendapat   yang    mengatakan    bahwa    keberangkatan
	satuan-satuan  Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
	Waqqash  hanya  untuk  memerangi  Quraisy,  dan   menamakannya
	sebagai  suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga
	adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa',  Buwat  dan
	'Usyaira  tidak  lain  dan  suatu  penyerbuan,  adalah  sangat
	dibuat-buat,  yang   pada   dasarnya   sudah   tertolak   oleh
	keberatan-keberatan  yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis
	riwayat hidup Muhammad  yang  telah  mengambil  alih  pendapat
	tersebut  tidak  lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
	hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir  abad  kedua  Hijrah,
	dan    bahwa    mereka    sangat   terpengaruh   oleh   adanya
	peperangan-peperangan yang  terjadi  kemudian  sesudah  Perang
	Besar  Badr.  Segala  bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum
	itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka  anggap
	sebagai     peperangan,     yang     dikaitkan    pula    pada
	peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
 
	Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis  yang  memang  sudah
	mengetahui  adanya  sanggahan  demikian  ini,  meskipun  tidak
	mereka  sebutkan  dalam  buku-buku  mereka  itu.  Adapun  yang
	membuat  kita  menduga  mereka  sudah  mengetahui  hal  ini  -
	disamping usaha  mereka  menyesuaikan  diri  dengan  ahli-ahli
	sejarah  dari  kalangan  Islam  mengenai  tujuan Muhajirin dan
	terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula
	mereka   tinggal  di  Medinah  -  ialah  karena  mereka  sudah
	menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini  tujuannya
	tidak  lain  ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan
	bahwa  kebiasaan  merampok  sudah  menjadi  watak  orang-orang
	pedalaman  dan  bahwa  penduduk  Medinah  hanya  tertarik pada
	barang rampasan  dalam  mengikuti  Muhammad  dengan  melanggar
	janji mereka di 'Aqaba.

	Ini  adalah  pendapat  yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
	seperti juga penduduk Mekah - bukanlah  orang-orang  pedalaman
	yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai
	dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian,  merekapun
	lebih   suka  tinggal  menetap  dan  samasekali  mereka  tidak
	tertarik  melakukan  perang  kecuali  jika  ada  alasan   yang
	luarbiasa
 
	Sebaliknya   kaum   Muhajirin,   mereka   berhak   membebaskan
	harta-benda mereka  dari  tangan  Quraisy.  Tetapi  sungguhpun
	begitu  mereka  bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya
	peristiwa Badr. Juga  bukan  itu  pula  yang  telah  mendorong
	dikirimnya    satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi   yang
	mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang  ini  memang  belum
	diundangkan     dalam     Islam,     sedang    Muhammad    dan
	sahabat-sahabatnya  bertindak  bukanlah  dengan   tujuan   ala
	pedalaman   (badui)   seperti  diduga  oleh  kaum  Orientalis,
	melainkan  apa  yang  sudah  berlaku  dan  dilaksanakan   oleh
	Muhammad  dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang
	yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya  ada  kebebasan
	berdakwah   sebagaimana   mestinya.   Nanti   penjelasan   dan
	pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak  lebih
	jelas   di   depan   kita,   bahwa   tujuan   Muhammad  dengan
	perjanjian-perjanjian  itu  ialah  guna  memperkuat   Medinah,
	supaya  jangan  ada  jalan  bagi  pihak Quraisy dalam mengejar
	kehendaknya itu, atau  mencoba  melakukan  kekerasan  terhadap
	kaum  Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika
	hendak mengembalikan orang-orang Islam  dari  Abisinia.  Dalam
	pada  itu  ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan
	pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah  untuk  agama  Allah
	tetap  dijamin,  dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah
	bagi Allah.

	Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi  bersenjata  ini
	barangkali  masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad.
	Barangkali maksudnya akan  menakut-nakuti  orang-orang  Yahudi
	yang   tinggal   di   Medinah   dan   sekitarnya.  Kita  sudah
	menyaksikan, bahwa ketika Muhammad  baru  sampai  di  Medinah,
	pihak   Yahudi  berhasrat  hendak  merangkulnya.  Akan  tetapi
	setelah   mereka   mengadakan   perjanjian   perdamaian    dan
	persetujuan  akan  kebebasan  mengadakan  dakwah  agama  serta
	melaksanakan  upacara  dan  kewajiban  agama,  begitu   mereka
	melihat  keadaan  Muhammad  yang  stabil  dan panji Islam yang
	megah dan menjulang tinggi,  mulai  mereka  membalik  memusuhi
	Nabi  dan  berusaha  hendak  menjerumuskannya.  Kalaupun dalam
	melakukan permusuhan ini mereka tidak  berterus-terang  karena
	dikuatirkan  kepentingan  perdagangan  mereka  akan jadi kacau
	bila sampai terjadi perang saudara  antara  penduduk  Medinah,
	atau  karena  masih  memelihara  perjanjian  perdamaian dengan
	mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara  guna
	menyebarkan   fitnah   di  kalangan  orang-orang  Islam  serta
	membangkitkan   kebencian   antara   Muhajirin   dan   Anshar,
	membangunkan  kembali  kedengkian  lama antara Aus dan Khazraj
	dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat
	dalam persajakan.

	Kaum  Muslimin  sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka
	serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai  mereka
	dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih
	berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari  mesjid  secara
	paksa.  Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
	Dan akhirnya Nabi a.s. menolak  mereka  sesudah  diusahakannya
	meyakinkan  mereka  dengan  alasan dan bukti. Sudah tentu pula
	apabila   orang-orang   Yahudi   Medinah   dibiarkan   berbuat
	sekehendak  hati,  mereka  akan  terus  menjadi-jadi dan terus
	berusaha mengobarkan  fitnah.  Dari  segi  istilah  kecermatan
	diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan
	terhadap kelicikan mereka itu saja,  tapi  harus  pula  supaya
	mereka  berasa  bahwa  Muslimin  juga punya kekuatan yang akan
	dapat   menumpas   setiap   fitnah    yang    ada,    membasmi
	jaringan-jaringan    fitnah    serta    mengikis   sampai   ke
	akar-akarnya. Cara  yang  paling  baik  untuk  membuat  mereka
	merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta
	menghadapkannya  pada   benterokan-benterokan   senjata   pada
	beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi
	hancur, yang oleh pihak Yahudi  memang  diinginkan,  dan  juga
	diinginkan oleh pihak Quraisy.
	                                                       Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1