Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [ Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 ]

	BAGIAN KEDUAPULUH EMPAT: PEMBEBASAN MEKAH                (2/3)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Disamping  Abbas,  yang  juga  berangkat menyongsong ialah Abu
	Sufyan bin'l-Harith b. 'Abd'l-Muttalib, sepupu Nabi,  Abdullah
	b.    Abi   Umayya   bin'l-Mughira,   anak   bibinya.   Mereka
	menggabungkan diri dengan  pasukan  Muslimin  di  Niq'l-'Uqab.
	Mereka berdua minta ijin akan menemui Nabi, tapi Nabi menolak.
 
	"Tidak  perlu  aku  kepada mereka," katanya kepada Umm Salama,
	isterinya, ketika ia mencoba membicarakan  masalah  dua  orang
	itu.  "Aku  sudah  banyak  menderita  karena anak pamanku itu.
	Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah mengatakan  yang
	bukan-bukan ketika ia di Mekah."
 
	Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia berkata:
 
	"Demi  Allah,  bagiku  hanyalah  aku  ingin diijinkan bertemu,
	atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja,
	sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
 
	Nabi   merasa  kasihan  kepada  mereka.  Kemudian  mereka  pun
	diijinkan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk Islam.

	Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya  yang  demikian
	rupa,  Abbas  b.  'Abd'l-Muttalib  sekarang  merasa  cemas dan
	terkejut sekali. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya
	selalu  kuatir  akan  bencana  yang  akan  menimpa  Mekah jika
	kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh
	jazirah  Arab  itu kelak menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru
	saja  ia  meninggalkan  Mekah,   meninggalkan   keluarga   dan
	handai-tolan, yang belum lagi terputus pertalian mereka karena
	Islam yang baru dianutnya itu? Boleh jadi ia  menyatakan  rasa
	kekuatirannya  itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan
	diperbuatnya kalau pihak Quraisy minta damai. Atau boleh  jadi
	juga sepupunya ini yang dengan senang hati membuka pembicaraan
	dengan Abbas dalam  hal  ini,  dan  diharapkannya  ia  menjadi
	seorang  utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan kepada
	sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga kelak dapat
	memasuki  Mekah tanpa sesuatu pertumpahan darah dan Mekah akan
	tetap  dalam  kesuciannya  seperti  dulu  dan   seperti   yang
	seharusnya akan demikian.
 
	Dengan duduk di atas seekor bagal3 putih kepunyaan Nabi, Abbas
	berangkat pergi ke daerah Arak, dengan harapan kalau-kalau  ia
	akan berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau
	dengan manusia siapa saja yang sedang pergi ke Mekah. Ia  akan
	menitipkan  pesan  kepada  penduduk  kota itu tentang kekuatan
	pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka  kelak  menemui
	Rasulullah  dan  minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota
	dengan kekerasan.
 
	Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr'z-Zahran, pihak  Quraisy
	sudah  mulai  merasakan  adanya  bahaya  yang sedang mendekati
	mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan b. Harb,  Budail  b.  Warqa'
	dan  Hakim  b.  Hizam  - masih kerabat Khadijah - mencari-cari
	berita serta mengajuk sampai seberapa jauh bahaya yang mungkin
	mengancam mereka itu.

	Sementara  Abbas  sedang  di  atas  bagal Nabi yang putih itu,
	tiba-tiba ia mendengar ada percakapan  antara  Abu  Sufyan  b.
	Harb dengan Budail b. Warqa' sebagai berikut:
 
	Abu  Sufyan:  "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan
	tentara seperti yang kita lihat malam ini."
 
	Budail: "Tentu itu api unggun Khuza'a  yang  sudah  dirangsang
	perang."

	Abbas  sudah  mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu dipanggilnya
	dengan nama julukannya:
 
	"Abu Hanzala!"
 
	"Abu'l-Fadzl!" gilir Abu Sufyan menyahut.
 
	"Abu Sufyan, kasihan engkau!" kata Abbas.  "Rasulullah  berada
	di  tengah-tengah  rombongan  itu.  Apa  jadinya Quraisy kalau
	mereka memasuki Mekah dengan kekerasan."
 
	"Apa yang harus kita perbuat!" kata Abu Sufyan. "Kupertaruhkan
	ibu-bapaku untukmu."4
 
	Oleh  Abbas  ia  dinaikkannya  di belakang bagal dan diajaknya
	berangkat  bersama-sama,  sedang  kedua  temannya   disuruhnya
	kembali  ke Mekah. Oleh karena ketika melihat bagal itu mereka
	sudah mengenalnya, dibiarkannya  ia  dengan  penumpangnya  itu
	lalu  di  hadapan  mereka, di tengah-tengah sepuluh ribu orang
	yang sedang memasang api unggun, yang sengaja  dipasang  untuk
	menimbulkan kegentaran dalam hati penduduk Mekah.
 
	Akan  tetapi  ketika  bagal  itu lalu di depan api unggun Umar
	bin'l-Khattab, dan Umar melihatnya, sekaligus ia mengenal  Abu
	Sufyan dan diketahuinya pula bahwa Abbas hendak melindunginya.
	Cepat-cepat ia pergi ke kemah Nabi dan dimintanya kepada  Nabi
	supaya batang leher orang itu dipenggal.
 
	"Rasulullah," kata Abbas. "Saya sudah melindunginya."

	Menghadapi situasi semacam itu dan waktu sudah malam pula, dan
	setelah terjadi perdebatan yang kadang sengit juga antara Umar
	dan Abbas, Muhammad berkata:
 
	"Bawalah  dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok bawa ke
	mari."
 
	Keesokan  harinya,  bilamana  Abu  Sufyan  sudah  dibawa  lagi
	menghadap  Nabi  dan  disaksikan  oleh  pembesar-pembesar dari
	kalangan Muhajirin dan Anshar - terjadi dialog demikian ini:
 
	Nabi: "Kasihan kamu Abu Sufyan! Bukankah sudah  tiba  waktunya
	sekarang  engkau  harus mengetahui, bahwa tak ada Tuhan selain
	Allah!?"
 
	Abu  Sufyan:  "Demi  ibu-bapaku!  Sungguh  bijaksana   engkau!
	Sungguh  pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga!
	Aku memang sudah menduga, bahwa tak ada  tuhan  selain  Allah,
	itu sudah mencukupi segalanya."
 
	Nabi: "Kasihan engkau Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba waktunya
	engkau harus mengetahui, bahwa aku Rasulullah!?"
 
	Abu  Sufyan:  "Demi  ibu-bapaku!  Sungguh  bijaksana   engkau!
	Sungguh  pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga!
	Tetapi mengenai hal ini, sungguh  sampai  sekarang  masih  ada
	sesuatu dalam hatiku."
 
	Sekarang  Abbas  campur  tangan.  Ia  bicara  dengan ditujukan
	kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima Islam  dan  bersaksi
	bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad pesuruhNya
	- sebelum batang lehernya dipenggal. Menghadapi hal  ini  buat
	Abu  Sufyan  tak  ada  jalan  lain ia harus menerima. Sekarang
	Abbas menghadapkan pembicaraannya kepada Nabi 'alaihissalam:
 
	"Rasulullah," katanya. "Abu Sufyan  orang  yang  gila  hormat.
	Berikanlah sesuatu kepadanya."
 
	"Ya," kata Rasulullah "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan,
	orang itu selamat, barangsiapa menutup  pintu  rumahnya  orang
	itu  selamat  dan  barangsiapa masuk ke dalam mesjid orang itu
	juga selamat."
 
	Ahli-ahli sejarah dan penulis-penulis riwayat hidup Nabi semua
	sepakat  tentang  terjadinya  peristiwa-peristiwa  itu.  Hanya
	sebagian mereka masih ada yang  bertanya-tanya:  Adakah  semua
	itu terjadi karena kebetulan saja? Kepergian Abbas kepada Nabi
	dengan maksud  hendak  pergi  ke  Medinah,  tiba-tiba  bertemu
	dengan   pasukan   tentara  Muslimin  di  Juhfa,  begitu  juga
	kepergian Budail b. Warqa' dan Abu Sufyan b. Harb  yang  hanya
	sekedar  mau  mengintai,  padahal  sebelum  itu Budail sendiri
	sudah ke Medinah dan melaporkan kepada  Nabi  apa  yang  telah
	terjadi terhadap Khuza'a dan dari Nabi diketahuinya bahwa Nabi
	akan membelanya. Adakah  dalam  kepergiannya  ini  Abu  Sufyan
	tidak  menyadari  bahwa  Muhammad  juga telah berangkat hendak
	menyerbu Mekah? Ataukah karena sesuatunya itu - sedikit banyak
	-  dengan suatu persepakatan yang sudah diatur lebih dulu, dan
	karena persepakatan itu pula, telah mempertemukan Abbas dengan
	Abu  Sufyan, dan bahwa Abu Sufyan sudah yakin - sejak ia pergi
	ke  Medinah  hendak  meminta  perpanjangan  waktu   Perjanjian
	Hudaibiya  dan  kembali  dengan  tangan kosong - bahwa tak ada
	jalan lain buat Quraisy akan dapat menahan Muhammad dan  yakin
	pula  ia  bahwa kalau ia membukakan jalan untuk pembebasan itu
	ia   akan   tetap   memegang   pimpinan   dan   mempertahankan
	kedudukannya  yang  penting di Mekah, dan bahwa apa yang telah
	menjadi persepakatan  mereka  itu  tidak  sampai  pula  kepada
	Muhammad  dan  kepada  orang-orang  yang berkepentingan dengan
	soal itu,  dengan  kenyataan  bahwa  Umar  sendiri  pun  telah
	bermaksud  hendak  membunuh Abu Sufyan? Besar sekali risikonya
	kita akan menjatuhkan vonis. Tetapi rasanya  kita  sudah  akan
	dapat  memastikan  -  untuk  memuaskan  hati kita - bahwa baik
	karena suatu  kebetulan  saja  yang  telah  menyebabkan  semua
	peristiwa  itu,  atau  karena  memang  sudah ada semacam suatu
	persepakatan, tapi yang terang kedua kejadian itu menunjukkan,
	betapa  cermat  dan  pandainya  Muhammad dapat menguasai suatu
	peperangan terbesar dalam sejarah Islam tanpa pertempuran  dan
	tanpa pertumpahan darah.

	Islamnya  Abu Sufyan itu tidak akan mengurangi kewaspadaan dan
	kesiap-siagaan Muhammad dalam menyiapkan diri hendak  memasuki
	Mekah.  Kalau  kemenangan  yang  di  tangan  Tuhan  itu memang
	diberikan kepada siapa saja yang  dikehendakiNya,  tapi  Tuhan
	akan  memberikan  pertolongan  hanya  kepada  orang yang sudah
	mengadakan persiapan, dan dalam segala  hal  dan  setiap  saat
	berjaga-jaga  terhadap  segala  kemungkinan.  Oleh  karena itu
	diperintahkannya supaya Abu Sufyan ditahan dulu di sela  wadi,
	pada  sebuah  jalan masuk gunung ke Mekah, sehingga bila nanti
	pasukan Muslimin lewat, ia akan melihatnya sendiri, dan  dapat
	pula  dengan  jelas  ia  melaporkan kepada golongannya, supaya
	jangan timbul perlawanan yang bagaimanapun bentuknya,  apabila
	ia dapat cepat-eepat kembali kepada mereka kelak.
 
	Bilamana  kemudian  kabilah-kabilah  itu  lewat di hadapan Abu
	Sufyan, yang sangat mempesonakan hatinya ialah batalion  serba
	hijau  yang  mengelilingi  Muhammad,  yang  terdiri  dari kaum
	Muhajirin dan Anshar, dan yang tampak hanyalah  pakaian  besi.
	Setelah mengetahui keadaan itu Abu Sufyan berkata:
 
	"Abbas,  kiranya  takkan  ada  orang  yang  sanggup menghadapi
	mereka itu. Abu'l-Fadzl, kerajaan kemenakanmu ini  kelak  akan
	menjadi besar!"
 
	Sesudah  itu  kemudian ia dibebaskan pergi menemui golongannya
	dan dengan suara keras ia berteriak kepada mereka:
 
	"Saudara-saudara  Quraisy!  Muhammad  sekarang  datang  dengan
	kekuatan  yang  takkan  dapat  kamu  lawan. Tetapi barangsiapa
	datang ke rumah Abu  Sufyan  orang  itu  selamat,  barangsiapa
	menutup  pintu  rumahnya,  orang  itu  selamat dan barangsiapa
	masuk ke dalam mesjid orang itu juga selamat!"
 
	Muhammad  sudah  berangkat  bersama   pasukannya   sampai   ke
	Dhu-Tuwa.   Setelah   dilihatnya   dari  tempat  itu  tak  ada
	perlawanan  dari  pihak  Mekah,  pasukannya   dihentikan.   Ia
	membungkuk  menyatakan  rasa  syukur  kepada Tuhan, yang telah
	membukakan pintu  Lembah  Wahyu  dan  tempat  Rumah  Suci  itu
	kepadanya  dan  kepada  kaum  Muslimin,  sehingga mereka dapat
	masuk dengan aman, dengan tenteram.
 
	Dalam pada itu Abu Quhafa (ayah Abu Bakr) -  yang  belum  lagi
	masuk  Islam waktu itu - meminta kepada cucunya yang perempuan
	supaya ia dibawa mendaki gunung  Abu  Qubais.  Sesampainya  di
	atas gunung, orang yang sudah buta itu bertanya kepada cucunya
	apa yang dilihatnya. Oleh cucunya  dijawab  bahwa  ia  melihat
	sesuatu  serba  hitam  berkelompok "ltu pasukan berkuda", kata
	orang tua itu.
 
	"Sekarang yang serba hitam itu sudah terpencar," kata  cucunya
	lagi.
 
	"Kalau  begitu  pasukan  berkuda itu sedang bertolak ke Mekah.
	Cepat-cepatlah bawa aku pulang ke rumah."
 
	Tetapi sebelum ia sampai ke rumahnya pasukan berkuda itu sudah
	lebih dulu sampai.

	Muhammad merasa bersyukur kepada Tuhan karena pintu Mekah kini
	telah terbuka. Tetapi  sungguhpun  demikian  ia  tetap  selalu
	waspada  dan  berhati-hati. Diperintahkannya pasukannya supaya
	dipecah menjadi  empat  bagian.  Diperintahkan  kepada  mereka
	semua  supaya  jangan  melakukan  pertempuran,  jangan  sampai
	meneteskan darah, kecuali jika sangat terpaksa sekali.  Zubair
	bin'l-'Awwam dalam memimpin pasukan itu ditempatkan pada sayap
	kiri dan diperintahkan  memasuki  Mekah  dari  sebelah  utara.
	Khalid   bin'l-Walid   ditempatkan   pada   sayap   kanan  dan
	diperintahkan supaya memasuki Mekah dari jurusan  bawah.  Sa'd
	b.  'Ubada  yang  memimpin orang Medinah supaya memasuki Mekah
	dari sebelah  barat,  sedang  Abu  'Ubaida  bin'l-Jarrah  oleh
	Muhammad   ditempatkan   ke   dalam   barisan   Muhajirin  dan
	bersama-sama memasuki Mekah dari bagian atas, di  kaki  gunung
	Hind.
 
	Sementara   mereka   sedang   dalam  persiapan  demikian  itu,
	tiba-tiba terdengar Said b. 'Ubada berkata:
 
	"Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya  segala  yang
	terlarang ..."
 
	Dalam  hal  ini  ia  telah melanggar perintah Nabi, bahwa kaum
	Muslimin tidak boleh membunuh penduduk Mekah. Oleh karena itu,
	ketika  Nabi  mengetahui  apa  yang  dikatakan  oleh Sa'd itu,
	terpikir olehnya akan mengambil bendera yang ada di  tangannya
	dan menyerahkannya kepada anaknya, Qais. Qais adalah laki-laki
	yang bertubuh besar, tapi ia lebih tenang dari ayahnya.
 
	Ketika pasukan sudah memasuki kota, dari pihak Mekah tidak ada
	perlawanan, kecuali pasukan Khalid bin'l-Walid yang berhadapan
	dengan perlawanan dari mereka yang tinggal  di  daerah  bagian
	bawah  Mekah. Mereka ini terdiri dari orang-orang Quraisy yang
	paling keras memusuhi Muhammad dan yang ikut serta dengan Banu
	Bakr melanggar Perjanjian Hudaibiya dengan mengadakan serangan
	terhadap Khuza'a. Mereka ini tidak  mau  memenuhi  seruan  Abu
	Sufyan.  Bahkan mereka telah menyiapkan diri hendak berperang,
	sementara yang  lain  dari  golongan  mereka  ini  juga  telah
	bersiap-siap  pula hendak melarikan diri. Mereka dipimpin oleh
	Safwan, Suhail dan  'Ikrima  b.  Abi  Jahl.  Bilamana  pasukan
	Khalid ini datang, mereka menghujaninya dengan serangan panah.
	Tetapi secepat  itu  pula  Khalid  berhasil  meneerai-beraikan
	mereka.  Sungguhpun  begitu dua orang dari anak buahnya tewas,
	karena mereka ini ternyata sesat jalan dan terpisah dari induk
	pasukannya,   sementara  pihak  Quraisy  kehilangan  tigabelas
	orang, menurut  satu  sumber,  atau  duapuluh  delapan  orang,
	menurut sumber yang lain.
 
	Melihat  malapetaka  yang  sekarang sedang menimpa mereka ini,
	Shafwan, Suhail dan 'Ikrima cepat-cepat angkat kaki  melarikan
	diri,  dengan  meninggalkan  orang-orang  yang  tadinya mereka
	kerahkan mengadakan perlawanan menghadapi kekuatan dan pukulan
	Khalid yang heroik itu. Dalam pada itu Muhammad dengan pasukan
	Muhajirin yang kini di atas sebuah dataran tinggi itu,  sedang
	menyusur  turun  menuju ke Mekah, dengan keyakinan hati hendak
	membebaskannya dalam keadaan aman dan damai.  Dilihatnya  kota
	itu  dengan  segala  isinya, dilihatnya pula kilatan pedang di
	bagian  bawah  kota   serta   pasukan   Khalid   yang   sedang
	mengejar-ngejar mereka yang menyerangnya itu. Disini ia merasa
	sedih sekali dan berteriak geram dengan  mengingatkan  kembali
	akan  perintahnya  untuk tidak mengadakan pertempuran. Setelah
	diketahuinya kemudian apa  yang  telah  terjadi,  teringat  ia
	bahwa yang sudah dikehendaki Tuhan itulah yang baik.

	Sekarang  Muhammad  berhenti  di  hulu  kota Mekah, di hadapan
	Bukit Hind. Di tempat  itu  dibangunnya  sebuah  kubah  (kemah
	lengkung),  tidak  jauh  dari  makam  Abu  Talib dan Khadijah.
	Ketika  ia  ditanya,  maukah  ia  beristirahat  di   rumahnya,
	dijawabnya:  "Tidak.  Tidak  ada  rumah yang mereka tinggalkan
	buat saya di Mekah," katanya. Kemudian ia masuk ke dalam kemah
	lengkung  itu,  ia  beristirahat dengan hati penuh rasa syukur
	kepada Tuhan, karena ia telah kembali dengan terhormat, dengan
	membawa  kemenangan  ke  dalam  kota,  kota  yang  dulu  telah
	mengganggunya menyiksanya dan mengusirnya  dari  keluarga  dan
	kampung  halamannya.  Ia  melepaskan pandang ke sekitar tempat
	itu,  ke  lembah  wadi   dan   gunung-gunung   yang   ada   di
	sekelilingnya.  Gunung-gunung,  tempat  ia  dahulu  tinggal di
	celah-celahnya, ketika tindakan Quraisy sudah begitu memuncak,
	begitu keras mengasingkan dia. Di pegunungan itulah, yang juga
	di antaranya Gua Hira, tempat ia menjalankan tahannuth  ketika
	datang  kepadanya  wahyu:  'Bacalah!  Dengan nama Tuhanmu Yang
	menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah.
	Dan  Tuhanmu  Maha  Pemurah.  Yang  mengajarkan  dengan  Pena.
	Mengajarkan kepada manusia  apa  yang  belum  diketahuinya..."
	(Qur'an, 96: 1-5)
 
	Ke   sekitar  gunung-gunung  itu  ia  melepaskan  pandang,  ke
	lembah-lembah, dengan rumah-rumah Mekah yang  bertebaran,  dan
	di  tengah-tengah  adalah  Rumah  Suci.  Begitu rendah hati ia
	kepada Tuhan, sehingga airmata menitik dari  matanya,  setitik
	airmata Islam dan rasa syukur demi Kebenaran Yang Mutlak, yang
	dalam segala soal kepadaNya jua akan kembali.
 
	Saat itu juga terasa olehnya bahwa tugasnya  sebagai  komandan
	sudah  selesai.  Tidak lama tinggal dalam kemah itu, ia segera
	keluar  lagi.  Dinaikinya  untanya  Al-Qashwa,  dan  ia  pergi
	meneruskan  perjalanan  ke Ka'bah. Ia bertawaf di Ka'bah tujuh
	kali  dan  menyentuh  sudut  (hajar  aswad)  dengan   sebatang
	tongkat5  di  tangan. Selesai ia melakukan tawaf, dipanggilnya
	Uthman b. Talha dan pintu  Ka'bah  dibuka.  Sekarang  Muhammad
	berdiri di depan pintu, orang pun mulai berbondong-bondong. Ia
	berkhotbah di  hadapan  mereka  itu  serta  membacakan  firman
	Tuhan:  "Wahai manusia. Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa
	dan bersuku-suku supaya kamu  saling  mengenal.  Tetapi  orang
	yang  paling  mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah
	orang yang paling takwa (menjaga diri dari  kejahatan).  Allah
	Maha mengetahui dan Maha mengerti." (Qur'an, 49: 13)
 
	Kemudian ia menanya kepada mereka:
 
	"Orang-orang  Quraisy.  Menurut  pendapat  kamu, apa yang akan
	kuperbuat terhadap kamu sekarang?"
 
	"Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu  yang  pemurah."
	jawab mereka.
 
	"Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!" katanya.
 
	Dengan  ucapan  itu  maka  kepada Quraisy dan seluruh penduduk
	Mekah ia telah memberikan pengampunan umum (amnesti).
 
	Alangkah indahnya pengampunan itu dikala  ia  mampu!  Alangkah
	besarnya jiwa ini, jiwa yang telah melampaui segala kebesaran,
	melampaui segala rasa dengki dan dendam  di  hati!  Jiwa  yang
	telah  dapat  menjauhi segala perasaan duniawi, telah mencapai
	segala yang diatas kemampuan insani! Itu orang-orang  Quraisy,
	yang  sudah  dikenal  betul  oleh Muhammad, siapa-siapa mereka
	yang pernah berkomplot hendak  membunuhnya,  siapa-siapa  yang
	telah  menganiayanya dan menganiaya sahabat-sahabatnya dahulu,
	siapa-siapa yang memeranginya di Badr dan di Uhud, siapa  yang
	dahulu mengepungnya dalam perang Khandaq? Dan siapa-siapa yang
	telah menghasut orang-orang Arab semua supaya melawannya,  dan
	siapa  pula,  kalau  berhasil,  yang  akan  membunuhnya,  akan
	mencabiknya sampai berkeping-keping kapan saja kesempatan  itu
	ada!?  Mereka  itu,  orang-orang  Quraisy  itu  sekarang dalam
	genggaman tangan Muhammad, berada di  bawah  telapak  kakinya.
	Perintahnya  akan  segera  dilaksanakan  terhadap  mereka itu.
	Nyawa mereka semua kini tergantung hanya di ujung bibirnya dan
	pada  wewenangnya  atas  ribuan balatentara yang bersenjatakan
	lengkap, yang akan dapat mengikis habis Mekah  dengan  seluruh
	penduduknya dalam sekejap mata!
	                                                  	Next >>>
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1