Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW

oleh Muhammad Husain Haekal

 [Index | Bag. 1 | Bag. 2 | Bag. 3 | Bag. 4]

	BAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1                         (3/4)
	Muhammad Husain Haekal
 
	Serentak  pihak  Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah
	yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah
	penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi
	yang membunuh musuh, sudah  bukan  mereka  lagi  yang  menawan
	tawanan  perang.  Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang
	tertanam  dalam  jiwa  mereka  itu   kekuatan   moril   mereka
	bertambah,  sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula.
	Dalam hal ini firman Allah turun:
 
	"Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para  malaikat:  'Aku
	bersama  kamu.' Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu.
	Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam  hati  orang-orang  kafir
	itu.  Pukullah  bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap
	ujung jari mereka." (Qur'an, 8: 12)
 
	"Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka,  melainkan  Allah
	juga  yang  telah  membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan,
	sebenarnya bukan engkau yang melakukan  itu,  melainkan  Tuhan
	juga." (Qur'an, 8: 17)
 
	Tatkala  Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya
	dan  setelah  ternyata  pula  kemenangan   berada   di   pihak
	orang-orang   Islam,  ia  kembali  ke  pondoknya.  Orang-orang
	Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang  tidak
	terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
 
	Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang
	stabil kepada umat Islam  di  seluruh  tanah  Arab,  dan  yang
	merupakan   suatu   pendahuluan   lahirnya  persatuan  seluruh
	semenanjung  di  bawah  naungan  Islam,  juga  sebagai   suatu
	pendahuluan  adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas
	sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar  di  dunia,
	yang  sampai  sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh
	yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
 
	Bukan tidak  mungkin  orang  akan  merasa  kagum  sekali  bila
	mengetahui,  bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan
	sahabat-sahabatnya dan mengharapkan  terkikisnya  musuh  Tuhan
	dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia
	sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh  Banu  Hasyim
	dan   tidak   membunuh   orang-orang  tertentu  dari  kalangan
	pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan
	membunuh  setiap  orang  dari  pihak  Islam  yang dapat mereka
	bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat  begitu
	karena  ia  mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya
	pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih  besar
	daripada  akan  terpengaruh  oleh hal-hal serupa itu. Apa yang
	menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu
	yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak
	mula masa kerasulannya hingga  masa  hijrahnya,  sampai-sampai
	Abbas  pamannya  ikut  menyertainya  pada malam diadakan ikrar
	'Aqaba. Juga jasa orang lain  yang  masih  kafir  di  kalangan
	Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam
	pemboikotan, yang  oleh  Quraisy  dia  dan  sahabat-sahabatnya
	dipaksa  tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan
	oleh  mereka  itu  diputuskan.  Segala  kebaikan  yang   telah
	diberikan  oleh  mereka  masing-masing  oleh Muhammad dianggap
	sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus
	mendapat  balasan  sepuluh  kali  lipat.  Oleh karena itu oleh
	Muslimin   ia   dianggap   sebagai   perantara   bagi   mereka
	masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan
	Quraisy sendiri masih ada yang menolak  pemberian  pengampunan
	itu seperti yang dilakukan oleh Abu'l-Bakhtari - salah seorang
	yang ikut  melaksanakan  dicabutnya  piagam.  Ia  menolak  dan
	terbunuh.
 
	Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang.
	Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata  mereka
	tertumbuk  pada  salah  seorang  kawan  sendiri,  karena  rasa
	malunya ia segera membuang muka, mengingat  nasib  buruk  yang
	telah menimpa mereka semua.
 
	Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian
	mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan
	sebuah  perigi  besar  mereka  semua dikuburkan. Malam harinya
	Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya   sibuk   di   garis   depan
	menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga
	terhadap  orang-orang  tawanan.  Tatkala  malam  sudah   gelap
	Muhammad  mulai  merenungkan  pertolongan yang diberikan Tuhan
	kepada Muslimin yang dengan jumlah  yang  begitu  kecil  telah
	dapat  menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai
	kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja.  Dalam
	ia   merenungkan   hal   ini,   pada  waktu  larut  malam  itu
	sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
 
	"Wahai penghuni perigi!  Wahai  'Utba  b.  Rabi'a!  Syaiba  b.
	Rabi'a!  Umayya  b.  Khalaf!  Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ..." -
	Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang  dalam  perigi
	itu  satu satu. "Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan
	tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang
	telah dijanjikan Tuhanku."
 
	"Rasulullah,  kenapa  bicara  dengan  orang-orang  yang  sudah
	bangar?" kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
 
	"Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada  kamu,"
	jawab Rasul. "Tetapi mereka tidak dapat menjawab."
 
	Ketika  itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn
	'Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
 
	"Barangkali ada sesuatu  dalam  hatimu  mengenai  ayahmu,  Abu
	Hudhaifa"? tanyanya.
 
	"Sekali-kali  tidak, Rasulullah," jawab Abu Hudhaifa. "Tentang
	ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya.  Hanya
	saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa.
	Jadi saya harapkan sekali ia akan  mendapat  petunjuk  menjadi
	seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan
	teringat pula hidupnya dulu  dalam  kekafiran,  sesudah  makin
	jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya
	sedih."
 
	Tetapi Rasulullah menyebutkan  yang  baik  tentang  dia  serta
	mendoakan kebaikan baginya.
 
	Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan
	berangkat pulang menuju Medinah,  mulailah  timbul  pertanyaan
	sekitar  masalah  harta  rampasan, buat siapa seharusnya. Kata
	mereka yang melakukan  serangan:  kami  yang  mengumpulkannya;
	jadi  itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada
	waktu mereka mengalami kehancuran  kalau  tidak  karena  kami,
	kamu  tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
	Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu
	sekalian  tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami
	dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka,  ketika  tak
	ada  suatu  pihakpun  yang akan melindungi mereka. Tetapi kami
	kuatir adanya serangan musuh kepada  Rasulullah.  Oleh  karena
	itu kami lalu menjaganya.
 
	Tetapi  kemudian  Muhammad  menyuruh mengembalikan semua harta
	rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan  dimintanya  supaya
	dibawa  agar  ia  dapat  memberikan  pendapat  atau  akan  ada
	ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
 
	Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid  b.  Haritha  ke
	Medinah  guna  menyampaikan  berita  gembira  kepada  penduduk
	tentang kemenangan yang telah dicapai  kaum  Muslimin.  Sedang
	dia  sendiri  dengan  sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju
	Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang  telah
	diperolehnya  dari  kaum  musyrik,  dan diserahkan pimpinannya
	kepada Abdullah b. Ka'b.
 
	Mereka berangkat. Sesudah  menyeberangi  selat  Shafra',  pada
	sebuah  bukit  pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan
	perang yang sudah ditentukan Allah bagi  Muslimin  itu  dibagi
	rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada
	mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman
	Allah:
 
	"Dan  hendaklah  kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu
	peroleh, seperlimanya untuk Tuhan,  untuk  Rasul,  untuk  para
	kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang
	terlantar dalam perjalanan,  kalau  kamu  benar-benar  beriman
	kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
	pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua  golongan  itu
	saling  berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa."
	(Qur'an, 8: 41)
 
	Sebahagian besar  penulis-penulis  sejarah  Nabi  berpendapat,
	terutama  angkatan lamanya - bahwa ayat tersebut turun sesudah
	peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi,  dan  bahwa
	Muhammad  membaginya  secara  merata di kalangan Muslimin, dan
	bahwa  untuk  kuda  disamakannya  dengan  apa  yang  ada  pada
	penunggangnya,  bagian  mereka  yang  gugur  di Badr diberikan
	kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak
	ikut  ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan
	mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr  tapi  tertinggal  di
	belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul,
	juga mendapat bagian.  Dengan  demikian  rampasan  perang  itu
	dibagi  secara  adil.  Yang  ikut  bersama  dalam  perang  dan
	mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan
	yang  ikut  bersama-sama  dalam perang dan mendapat kemenangan
	itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu,  baik  yang
	di garis depan atau yang jauh dari sana.
 
	Sementara  kaum  Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua
	orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr
	bin'l-Harith  dan  yang  seorang  lagi  bernama  'Uqba  b. Abi
	Mu'ait.   Sampai   pada   waktu   itu   baik   Muhammad   atau
	sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu
	dalam menghadapi  para  tawanan  itu  yang  akan  mengharuskan
	mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan
	'Uqba ini keduanya  merupakan  bahaya  yang  selalu  mengancam
	Muslimin  selama  di  Mekah  dulu. Setiap ada kesempatan kedua
	orang ini selalu mengganggu mereka.
 
	Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka  sampai  di  Uthail
	para  tawanan  itu  diperlihatkan  kepada Nabi a.s. Ditatapnya
	Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian  rupa,  sehingga
	tawanan  ini  gemetar  seraya  berkata  kepada  seseorang yang
	berada di sampingnya:
 
	"Muhammad pasti akan membunuh  aku,"  katanya.  "Ia  menatapku
	dengan pandangan mata yang mengandung maut."
 
	"Ini  hanya karena kau merasa takut saja," jawab orang yang di
	sebelahnya.
 
	Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. 'Umair -  orang  yang
	paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
 
	"Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah
	seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia  akan
	membunuh aku."
 
	"Tetapi   dulu   kau  mengatakan  begini  dan  begitu  tentang
	Kitabullah dan tentang diri Nabi,"  kata  Mushiab.  "Dulu  kau
	menyiksa sahabat-sahabatnya."
 
	"Sekiranya  engkau  yang  ditawan  oleh  Quraisy,  kau  takkan
	dibunuh selama aku masih hidup," kata Nadzr lagi.
 
	"Engkau tak dapat dipercaya,"  kata  Mush'ab.  "Dan  lagi  aku
	tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus."
 
	Sebenarnya  Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia
	ingin memperoleh tebusan yang  cukup  besar  dan  keluarganya.
	Mendengar  percakapan  tentang  akan  dibunuhnya itu ia segera
	berkata:
 
	"Nadzr tawananku," teriaknya.
 
	"Pukul lehernya," kata Nabi  a.s.  "Ya  Allah.  Semoga  Miqdad
	mendapat karuniaMu."
 
	Dengan  pukulan  pedang  kemudian  ia  dibunuh oleh Ali b. Abi
	Talib.
 
	Pada   waktu   mereka   dalam   perjalanan   ke   'Irq'z-Zubya
	diperintahkan  oleh  Nabi  supaya  'Uqba  b.  Abi  Mu'ait juga
	dibunuh.
 
	"Muhammad," katanya, "siapa yang akan mengurus anak-anak?"
 
	"Api," jawabnya.
 
	Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh  'Ashim  b.
	Thabit, sumbernya berlain-lain.

	Sehari  sebelum  Nabi  dan  Muslimin  sampai  di Medinah kedua
	utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha  sudah  lebih
	dulu  sampai.  Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan
	yang berlain-lainan. Dan  atas  unta  yang  dikendarainya  itu
	Abdullah  mengumumkan  dan  memberikan  kabar  gembira  kepada
	Anshar  tentang  kemenangan  Rasulullah  dan  sahabat-sahabat,
	sambil   menyebutkan   siapa-siapa   dan  pihak  musyrik  yang
	terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang  sama
	sambil  ia  menunggang  Al-Qashwa',  unta kendaraan Nabi. Kaum
	Muslimin bergembira ria. Mereka  berkumpul,  dan  mereka  yang
	masih   berada   dalam  rumah  pun  keluar  beramai-ramai  dan
	berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
 
	Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang  Yahudi  merasa
	terpukul  sekali  dengan  berita  itu.  Mereka  berusaha  akan
	meyakinkan diri  mereka  sendiri  dan  meyakinkan  orang-orang
	Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
 
	"Muhammad    sudah    terbunuh    dan   teman-temannya   sudah
	ditaklukkan,"  tenak  mereka.  "Ini  untanya   seperti   sudah
	sama-sama  kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini
	masih di sana. Apa yang dikatakan  Zaid  hanya  mengigau  saja
	dia, karena sudah gugup dan ketakutan."
 
	Tetapi  pihak  Muslimin  setelah mendapat kepastian benar dari
	kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran  berita  itu,
	sebenarnya  mereka  malah  makin  gembira,  kalau  tidak  lalu
	terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka
	itu,  yakni  penstiwa  kematian  Ruqayya  puteri Nabi. Tatkala
	ditinggalkan  pergi  ke  Badr  ia  dalam  keadaan  sakit,  dan
	suaminya,   Usman   b.   'Affan,   juga   ditinggalkan  supaya
	merawatnya.
 
	Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad  yang  menang,  mereka
	merasa  sangat  terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi
	lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah  seorang
	pembesar Yahudi yang mengatakan:
 
	"Bari  kita  sekarang  lebih  baik  berkalang  tanah  daripada
	tinggal   di   atas   bumi   ini   sesudah   kaum   bangsawan,
	pemimpinpemimpin  dan  pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah
	suci itu mendapat bencana."
 
	Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum  tawanan-tawanan
	perang  sampai.  Setelah  mereka  dibawa  dan  Sauda bt. Zam'a
	isteri Nabi  baru  saja  pulang  melawati11  orang  mati  pada
	kabilah  Banu  'Afra',  tempat  asalnya,  dilihatnya Abu Yazid
	Suhail b.  'Amr,  salah  seorang  tawanan,  yang  kedua  belah
	tangannya  diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan
	diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
 
	"Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri.  Lebih  baik  mati
	sajalah dengan terhormat!."
 
	"Sauda!"   Muhammad   memanggilnya   dan   dalam  rumah.  "Kau
	membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!"
 
	"Rasulullah,"  katanya.  "Demi  Allah  Yang  telah  mengutusmu
	dengan  segala  kebenaran.  Saya  sudah tak dapat menahan diri
	ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat  di  tengkuk
	sehingga saya berkata begitu."
 
	Sesudah  itu  kemudian  Muhammad memisah-misahkan para tawanan
	itu  di  antara  sahabat-sahabatnya,  sambil  berkata   kepada
	mereka:
 
	"Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya."
 
	Hal  ini  kemudian  menjadi  pikiran  baginya,  apa yang harus
	dilakukannya terhadap mereka  itu.  Dibunuh  saja  atau  harus
	meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras
	dalam perang, orang yang kuat  bertempur.  Hati  mereka  penuh
	rasa  dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di
	Badr, serta  akibatnya  yang  telah  membawa  keaiban  sebagai
	tawanan  perang.  Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti
	mereka akan berkomplot dan  akan  kembali  memeranginya  lagi;
	kalau  dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam
	hati  keluarga-keluarga  Quraisy,  yang  bila  dapat   ditebus
	barangkali akan jadi tenang.
 
	Ia  menyerahkan  masalah  ini  ketangan  sahabat-sahabat  kaum
	Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan  terserah
	kepada    mereka.    Kalangan    Muslimin    sendiri   melihat
	tawanan-tawanan  ini  ternyata  masih  ingin  hidup  dan  akan
	bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
 
	"Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata mereka.
	"Dari kerabat kita ia orang Quraisy  yang  pertama,  dan  yang
	paling  lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak
	melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia."
 
	Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
 
	"Abu Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih pernah
	ayah,  saudara,  paman  atau  mamak  kita serta saudara sepupu
	kita.  Orang  yang  jauh  dari  kitapun  masih  kerabat  kita.
	Bicarakanlah  dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada
	kami atau menerima penebusan kami."
 
	Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha.  Tetapi  mereka
	kuatir  Umar ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
	Maka mereka mengutus beberapa  orang  lagi  kepadanya,  dengan
	menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar
	menatap mereka penuh  curiga.  Kemudian  kedua  sahabat  besar
	Muhammad   ini   berangkat   menemuinya.   Abu  Bakr  berusaha
	melunakkan dan meredakan kemarahannya.
 
	"Rasulullah," katanya. "Demi ayah dan ibuku. Mereka itu  masih
	keluarga  kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau
	saudara-saudara. Orang yang jauh dari  kitapun  masih  kerabat
	kita.  Bermurah  hatilah  kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan
	memberi kemurahan kepada kita.  Atau  kita  terimalah  tebusan
	dari  mereka,  semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api
	neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka  akan  memperkuat
	kaum  Muslimin  juga.  Semoga  Allah  kelak  membalikkan  hati
	mereka."
 
	Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri  dan  pergi
	menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
 
	"Rasulullah,"   katanya.   "Mereka   itu   musuh-musuh  Tuhan.
	Mendustakan tuan, memerangi tuan dan  mengusir  tuan.  Penggal
	sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir,
	pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah
	orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan."
 
	Juga Muhammad tidak menjawab.
 
	Sekarang  Abu  Bakr  kembali ke tempat duduknya semula. Begitu
	lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang  lebih
	lunak.  Disebutnya  adanya  pertalian  famili dan kerabat, dan
	kalau  para  tawanan  itu  masih  hidup,  diharapkannya   akan
	mendapat  petunjuk  Tuhan.  Sedang Umar kembali memperlihatkan
	sikapnya  yang  adil  dan  keras.  Baginya  lemah-lembut  atau
	kasihan tidak ada.
 
	Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali
	ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian  ia  kembali
	keluar.  Orang  ramai  segera  melibatkan diri dalam persoalan
	ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak
	kepada  Umar.  Nabi  mengajak mereka berunding, apa yang harus
	dilakukannya. Lalu dibuatnya  suatu  perumpamaan  tentang  Abu
	Bakr  dan  Umar.  Abu  Bakr  adalah seperti Mikail, diturunkan
	Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada  hambaNya.  Dan  dari
	kalangan  nabi-nabi  seperti  Ibrahim.  Ia sangat lemah-lembut
	terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri  ia  dibawa
	dan  dicampakkan  ke  dalam  api.  Tapi  tidak  lebih ia hanya
	berkata:
 
	"Cih! Kenapa kamu menyembah  sesuatu  selain  Allah?  Tidakkah
	kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67)
 
	Atau seperti katanya:
 
	"Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang
	membangkang kepadaku, Engkau Maha  Pengampun  dan  Penyayang."
	(Qur'an. 14: 36)
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1