Sumber: Majalah Sabili
Edisi : Maret 2000
Tak bisa dipungkiri Gerakan Islam telah memberi sumbangsih besar dalam perkembangan Islam negeri ini. Jangan mundur hanya karena fitnah.
Dua dasawarsa terakhir, perkembangan Islam di Indonesia memang mencatat banyak
perubahan. Ada gerakan aktifis yang merujuk konsep Ikhwanul Muslimin (IM) yang
biasa diidentifikasi sebagai jamaah Tarbiyah. Ada juga yang berbendera Salafi,
Jama’ah tabligh (JT), Hizbu Tahrir (HT) dan lain-lain. Gerakan-gerakan ini
memang terinspirasi oleh gerakan serupa di luar negeri. Sementara gerakan lain
ada pula yang bersifat lokal. Mereka mengangkat label NII yang berhulu dari
gerakan DI/TII, Islam Jamaah (IJ), Hidayatullah dan sebagainya.
Diakui atau tidak, ragam
pergerakan ini memang menawarkan solusi dan metode yang berbeda dalam menegakkan
Islam. Ada yang lebih mengambil aspek politis, ada yang cenderung melihat pada
aspek spiritual, ada yang lebih memandang aspek pendidikan dan sebagainya. Tapi
biasanya, sifat fleksibel gerakan Islam yang bisa mengakomodasi berbagai aspek
itu yang lebih diterima di masyarakat.
Uraian berikut ini, memaparkan beberapa profil gerakan Islam kontemporer di luar
gerakan NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain yang sudah lebih dulu eksis
sebelum gerakan ini. .
Masih di tahun 1980-an, di beberapa
kota tiba-tiba muncul orang berpakaian gamis—baju panjang yang biasa dipakai
orang Arab. Ada pula yang berpakaian “takwa” (koko) dan berkopiah haji (putih).
Mereka umumnya memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Mereka juga murah senyum
dan ramah.
Pusat kegiatan kelompok ini adalah di
sebuah masjid tua, Kebon Jeruk, kawasan Gajah Mada Jakarta Kota. Setiap Kamis,
ribuan laki-laki berkumpul di masjid ini. Tak salah, mereka adalah aktivis
Jamaah Tabligh (JT). Mereka tak hanya dari Jakarta, tapi juga berdatangan dari
berbagai daerah. Bahkan dari luar negeri: India, Pakistan, Malaysia, dan
sebagainya.
Jamaah Tabligh yang didirikan oleh
Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi (1303-1364 H), di India, itu menekankan kepada
setiap pengikutnya agar meluangkan sebagian waktu untuk menyampaikan dan
menyebarkan dakwah. Di Indonesia, gerakan ini cukup banyak digandrungi para
pemuda. Di sejumlah kampus, aktivis gerakan Tabligh juga turut memunculkan
fenomena baru di kalangan mahasiswa. Di tengah hingar bingar kehidupan dunia,
banyak pemuda yang bergabung dalam gerakan ini, seperti memperoleh air di tengah
dahaga. Mereka bahkan banyak yang berasal dari kalangan terpelajar, pegawai
kantoran dan juga kalangan selebritis.
Bagaimana dengan masalah politik?
Kepada SABILI, salah satu anggota Dewan Syuro JT yang tak mau disebutkan namanya
menegaskan, “JT melakukan politik nabi-nabi. Tidak ada satu nabi pun yang
diutus Allah untuk mengganti dia jadi raja. Tapi yang ada di masyarakat, bekerja
di masyarakat untuk mengajar iman dan takwa. Setelah itu Allah sendiri yang
merubah. Yang menghancurkan Fir’aun itu, kerja Allah. Yang menghancurkan kaum
nabi Nuh, itu kerja Allah. Yang menghancurkan Namrud itu kerja Allah. Setelah
ada ketaatan baru Allah rubah.” Ia juga mengatakan bahwa khilafah Islamiyah
itu cita-cita setiap gerakan Islam. Tapi itu baru terwujud kalau umat Islam
sudah benar. “Khilafah di jaman Nabi datangnya setelah umat Islam itu benar.
Kalau umat Islam belum benar, takkan datang masa seperti itu. Itu dengan
sendirinya akan tegak.”
Di antara program JT adalah khuruj
atau keluar untuk berdakwah selama 3, 7, 40 hari atau 4 bulan. Tentu saja
meninggalkan pekerjaan, sanak keluarga di rumah, dan kewajiban lainnya. “Itu
ijtihad saja, dimaksudkan latihan bagi seorang muslim untuk berdakwah,” ujar
aktivis JT tadi. Ia menambahkan, “Semua orang Islam wajib untuk tabligh. Sama
artinyua dengan, semua orang Islam harus sholat, harus puasa di bulan Ramadhan,”
dan sebagainya.
Entah dari mana awal ceritanya, tiba-tiba saja kaum muda yang pada
1980-an menekuni Islam, dicap sebagai kelompok Tarbiyah. Seperti diketahui makna
Tarbiyah adalah pembinaan (pendidikan). Dan memang harus diakui, gerakan
pembinaan kembali pada Islam terjadi di awal 1980-an silam, dengan basis
kampus-kampus dan sekolah-sekolah umum.
Boleh jadi, kebangkitan gerakan Islam itu merupakan berkah terselubung atas
beberapa kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aspirasi Islam.
Sebut saja ketika pemerintah—melalui
Mendikbud Daoed Yoesoef—mengeluarkan kebijakan tentang NKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus), ditambah lagi peraturan bahwa seluruh ormas harus menggunakan
asas tunggal (astung) Pancasila (1984). Kebijakan ini jadi bumerang buat
pemerintah. Ketika kampus tak boleh lagi melakukan politik praktis, diam-diam
para mahasiswa-mahasiswi itu mengkaji Islam. Praktis, sewaktu HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) mencantumkan astung, berakibat ormas Islam ini pun tak lagi
diminati.
Akhirnya maraklah pengajian-pengajian
kampus. Para mahasiswi dengan anggunnya mengenakan jilbab, sementara kaum
prianya tak risih lagi menenteng Al-Qur’an di tangannya. Buku bacaan mereka
umumnya adalah karya tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin semisal Hasan Al Bana, Sayid
Qutub, Yusuf Qardhawi, Mustafa Masyhur, Fathi Yakan, Sa’id Ramadhan, dan
sebagainya. Jelas, pemikiran Ikhwan sangat mempengaruhi sikap dan gerakan mereka.
Tampak seperti lamban tapi pasti,
gerakan ini dari tahun ke tahun kian meroket. Banyak yang kepincut. Rata-rata
beranjak dari kampus. UI, IPB, ITB, Unpad, UGM, Unair dan sejumlah kampus beken
lainnya, baik negeri atau pun swasta seakan berbondong-bondong kembali pada
Islam. Stiker-stiker atau atribut yang mengampanyekan Islam
berseliweran dan ditempel di mana-mana. Intinya adalah kebanggaan terhadap
Islam.
Di sejumlah kampus negeri, katakanlah
Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta kini marak oleh mahasiswi
berjilbab, bak sebuah pesantren. Forkas, ketua Rohani Islam UI tahun 1997-1998
menggambarkan, bahwa perkembangan mahasiswi berjilbab di kampusnya memang luar
biasa. Apalagi, di fakultas yang didominasi oleh kaum hawa. “Untuk Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) bisa dikatakan pertumbuhan mahasiswi yang berjilbab
sebelum dan sesudah masuk UI bisa mencapai 20 persen. Sementara untuk Fakultas
Ilmu Keperawatan (FIK) perbandingannya bisa mencapai 90 persen,” ujar Forkas.
Bukan hanya kalangan kampus UI yang
ikut merasakan manfaat gerakan Islam. Masyarakat sekitar pun ikut menerima
berkah dari hidupnya aktivitas keislaman di UI. Forkas menambahkan, “Kita yang
tinggal di sekitar kampus memiliki program semacam desa binaan. Kita menyusun
program untuk memberi bantuan bimbingan belajar kepada para pelajar, menggarap
taman pendidikan al-Qur`an, program pendalaman keislaman untuk masyarakat
sekitar, pemberantasan buta huruf al-Qur`an dan sebagainya,” jelas Forkas yang
kini menjabat sebagai ketua departemen kaderisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia). Walhasil, masyarakat kampus dan luar kampus, tidak terlalu
terpengaruh oleh isu negatif yang muncul tentang gerakan Islam.
Tak jauh berbeda dengan fenomena di IKIP
yang kini mengubah namanya menjadi Universitas Negeri Jakarta. Menurut
Abdurrahman, yang alumni fakultas Bahasa dan Seni UNJ, pertambahan mahasiswi
berjilbab secara umum sekitar 50 persen dibanding ketika mereka baru memasuki
perkuliahan. Seperti rekan-rekannya di UI, para aktivis Islam di UNJ juga
memiliki program pembinaan masyarakat sekitar, seperti bazar, pembinaan TPA dan
semacamnya. Tapi, Abdurrahman mengakui bahwa informasi tentang NII belakangan
ini memang turut memunculkan sedikit kendala bagi kehidupan aktivitas Islam di
kampusnya. “Saya mendengar ada salah satu fakultas yang sekarang tidak boleh
lagi melakukan mentoring keislaman karena dicurigai sebagai bentuk lain dari NII,”
tutur Abdurrahman.
Di UI dan UNJ, gerakan Islam dari
kelompok Tarbiyah cukup subur. Bagi mereka, titik tolak perbaikan harus dimulai
dari individu, lalu keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Tapi, terlepas dari
kelompok gerakan Islam apapun yang membuat suasana itu, mereka telah memberi
bukti nyata yang positif tentang imej gerakan Islam kepada kalangan kampus dan
masyarakat.
Bila sementara kalangan mencoba mengaitkan kelompok Hidayatullah dengan
DI/NII, maka para aktivisnya akan menepisnya. “Hidayatullah bukan dilahirkan
oleh NII atau DI/TII, bukan pula dilahirkan oleh Ikhwan. Dia lahir atas
kesadaran kondisi umat Islam yang sedang terpuruk,” kata Abdul Manan, pimpinan
cabang Hidayatullah Jakarta.
Kelompok Hidayatullah yang dikenal
sebagai penerbit majalah bulanan Suara Hidayatullah didirikan oleh beberapa
tokoh di bawah pimpinan Abdullah Said, di Balikpapan pada 1970. Kalau sementara
kalangan menghubungkannya dengan NII atau DI/TII, harap maklum. Itu lantaran,
adanya kabar yang beredar, bahwa Abdullah masih punya hubungan kekeluargaan
dengan Kahar Muzakkar, tokoh DI/TII Sulsel.
Kini cabang-cabang atau pesantren
Hidayatullah menyebar di pelosok Nusantara. “Dari Sabang sampai Merauke, ada
140 cabang Hidayatullah,” papar pimpinan cabang Hidayatullah Jakarta Abdul
Manan. Tak dapat kita pungkiri, seperti diakui Manan, kelompok ini jelas
menginginkan tegaknya negara Islam dan khilafah Islamiyah. Meskipun begitu, ia
menambahkan keinginan tersebut juga harus diukur dengan kemampuan. “Sebagai
orang beriman harus ke sana semua, kalau enggak berarti imannya mandul.
Dipertanyakan keimanannya. Tapi kita harus melihat kemampuan,” kata Mannan.
Menurutnya strategi dakwah yang dilakukan
untuk mewujudkan khilafah Islamiyah juga dimulai dari diri sendiri, lalu rumah
tangga dan seterusnya. Meski menolak aksi kekerasan, Abdul Mannan menyebutkan
ummat Islam harus tetap dalam kondisi siap secara fisik untuk menghadapi
berbagai kemungkinan. “Rosul kalau khutbah tongkatnya itu pedang. Bukan
tongkat biasa. Berarti umat Islam waktu itu siap terus. Umat ini harus siap,
tapi jangan ofensif melainkan defensif. Kalau diserang ya lawan,” tutur Mannan
yang juga guru di pesantren Hidayatullah.
Berbeda dengan gerakan Islam lainnya, Hizbut Tahrir (HT)
terang-terangan memproklamirkan gerakannya sebagai partai politik Islam yang
dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khilafah Islamiyah.
Partai atau gerakan ini didirikan
oleh Syaikh Taqiyuddin Nabhani pada 1952 di kawasan bergolak, Timur Tengah.
Meski sementara kalangan menganggap aktivitas HT tergolong rahasia, namun
menurut para aktivisnya yang ada di Indonesia, HT bukanlah organisasi rahasia.
Di berbagai wilayah dakwahnya, HT beraktivitas dan berjuang secara terbuka untuk
membina umat dan mengoreksi penguasa agar mereka mau menerapkan Islam.
“Bila tokoh-tokoh HT sulit dikenal,”
itu katanya, “lantaran media massa sengaja tak mau mempublikasikan aktivitas
dan para tokoh pimpinan HT.” Menurut Anwar Iman, tokoh Syabab HT di Indonesia,
media massa bersikap seperti itu, disebabkan mengikuti larangan pemerintah
setempat untuk mempublikasikan HT.
Kenapa HT lebih menekankan
aspek politik ketimbang aspek lainnya? “Karena Islam itu sendiri sebenarnya
politik. Dalam arti, politik adalah ri’ayah syu’unil ummah, atau pengaturan
urusan kemaslahatan umat. Jadi bukan seperti terminologi yang berkembang di
masyarakat untuk merebut kekuasaan, menjegal lawan dan sebagainya,” tutur
Anwar.
Gerakan Hizbu Tahrir yang kini secara
mempublikasikan wadah gerakannya di Indonesia dengan nama Syabab Hizbu Tahrir,
memang tegas menekankan sasaran dakwahnya adalah negara Islam dan khilafah
Islam. Tapi langkah-langkah perjuangan HT jauh dari aspek kekerasan. Menurut
Anwar Iman, HT melakukan beberapa langkah. Pertama pembinaan pemikiran Islam
yang disebut shira’ul fikri. Selain itu, HT juga melakukan perjuangan politik
untuk mengontrol pemerintah atas kebijakan-kebijakan mereka. Kalau ini bisa
berlangsung dengan baik, dalam arti masyarakat telah memahami indahnya Islam,
tahap selanjutnya adalah pengambilalihan kekuasaan.
Toh meski lebih menekankan aspek politik,
tak berarti HT aktif dalam kancah pemilu. Mengapa? Menurut Anwar, HT memang
tidak menjadikan pemilu sebagai sarana memperjuangkan Islam. “Karena dalam
format demokrasi, pemilu menjadi sarana pemilihan wakil rakyat di legislatif
yang salah satu fungsinya memproduk undang-undang. Sementara dalam pandangan HT
yang berhak membuat adalah Allah. Walhasil, lembaga legislatif yang menjadi
bagian integral dalam proses demokrasi, secara syar’i tidak dibenarkan, karena
undang-undang adalah hak Allah,” tandasnya. Selain itu, HT juga menolak
penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuannya. “Menurut kami, sesuai dengan
sistem perjuangan Rosulullah, penggunaan senjata itu baru dilakukan setelah umat
Islam memiliki sebuah institusi.”
Dakwah Salafiyah boleh dibilang sebagai pelopor gerakan-gerakan
pembaruan yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan pemikiran di
dunia Islam. Dakwahnya menyerukan agar akidah Islam dikembalikan kepada asalnya
yang murni. Sebagian orang menyebut dakwah ini dengan nama Wahhabi, karena
dinisbatkan pada nama pendirinya: Muhammad bin Abdul Wahhab, dari Saudi.
Di mana pusat gerakan Salafi? “Tak ada
pusat. Pusat gerakan dakwah Salafi adalah para ulama. Pada dasarnya salafiyyun
adalah orang-orang yang senantiasa berjuang agar bisa meneladani para
salafus-sholih, sehingga poros gerakan salafiyah adalah para ulama. Kepada
merekalah mengacu segala bentuk perjuangan umat. Segala kasus yang mencuat dalam
berbagai persoalan, kita konsultasikan kepada para ulama tersebut,” Kata
Dja’far Umar Thalib, tokoh Salafi Yogyakarta.
Di Indonesia, Salafi pun mencoba
menyebarkan fikrahnya. Menurut Dja’far, para ulama Salafi dari berbagai
penjuru dunia sering mengadakan pertemuan, khususnya pada musim haji di Mina.
Segala permasalahan umat Islam di dunia dibahas dalam pertemuan itu. “Para
ulama salafi dari berbagai penjuru dunia sering mengadakan pertemuan, khususnya
pada musim haji di Mina. Segala permasalahan umat Islam di dunia, termasuk Ambon
kita bicarakan,” ujar tokoh salafi asal Yogya tersebut. Dja’far dengan
gerakan Salafinya, kini tengah mengkordinasi gerakan jihad untuk membela muslim
Maluku. Mereka membuka posko-posko pendaftaran laskar jihad ahlu sunnah wal
jama’ah di sejumlah tempat. Karena pemerintah tidak bisa diharapkan untuk
melindungi umat Islam yang tertindas, maka menurut Dja’far berdasarkan
pertemuan para ulama Salafi, wajib ain bagi umat Islam untuk melindungi
saudaranya.
Sebenarnya masih banyak gerakan Islam
yang mewarnai blantika kebangkitan Islam di Indonesia saat ini. Tak bisa
dilupakan kiprah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang boleh dibilang
sebagai penerus partai Masyumi, yang turut memberi warna kebangkitan tersendiri
bagi para pemuda kampus sampai saat ini. Tapi secara umum, tak ada yang
perlu ditakuti dari gerakan Islam. Apalagi bila dikaitkan bahwa upaya mengusung
dan menerapkan ajaran Islam secara konsisten adalah hak bahkan kewajiban setiap
muslim.
Yang tak kalah penting, bagaimana
agar ragam pergerakan itu tidak terpecah dalam kepentingan dan pandangan
masing-masing. Kecenderungan membanggakan kelompok, mengaku paling benar, tidak
menerima kritik, adalah bukti rapuhnya bangunan gerakan Islam sendiri. Seperti
dinyatakan dosen pasca sarjana IAIN Jakarta, DR. Hidayat Nur Wahid, “Islam itu
luas. Mungkin ada kelompok yang ingin menegakkan Islam seara utuh, tapi
kemampuan mereka terbatas. Ada yang bidang hukum, moral, pendidikan dan
sebagainya. Itu bisa-bisa saja. Asal tidak menafikan aspek lainnya.”
Lebih indah lagi bila semua unsur pergerakan itu bisa padu dan sinergis menjadi
sebuah kekuatan. Persatuan itulah yang insya Allah, akan membawa umat ke gerbang
kemenangan.